"Tentu saja aku!" jawab Hilman, dan matanya tetap memandangku."Kamu mau menikah dengan siapa Hilman?" tanya wanita yang baru saja datang. "Siapa wanita yang membuat kamu melupakanku? Siapa wanita yang berani mengambilmu dariku?" Sederet pertanyaan dilontarkan oleh wanita yang tidak kuketaui."Sudahlah, Rin. Siapapun yang aku pilih, bukan urusan kamu. Kita sudah sama-sama dewasa, dan kamu sudah tahu keputisanku apa!" jawab Hilman tegas, tanpa menatap wanita itu.Aku merasa berada di tengah-tengah perang dunia kedua, diam salah, ingin pergi pun salah. Aku anya bisa menunduk dan kembali fokus dengan ponselku.Wanita yang di sapa Rin oleh Hilman, masuk ke dalam dan langsung mendekati Hilman. Mungkin wanita itu belum melihatku atau memang sengaja tidak mau melihatku, aku sih enggak begitu memperdulikannya. Lagi pula, itu urusan mereka, setidaknya aku masih ada tanggung jawab di sini."Aku enggak mau putus dari kamu, mamaku sudah merestui kita. Kamu harus melamarku, Hilman," ujar wanita it
Rasa kesalku berpindah pada lelaki berpakaian serba hijau ini, di tambah dengan wajahnya yang datar dan mengesalkan."Dasar cewek gila!" makinya."Dasar cowok aneh!" balasku, dan aku meletakkan kertas yang kupungut ke tangannya dengan kasar.Aku berdiri dan segera berlalu dari yang masih memungut sisa kertas yang bertebaran, tadinya aku ingin membantunya hingga selesai, tapi mulutnya terlalu pedas untuk seorang dokter. Ya, aku tahu dia seorang dokter dari pakaian yang dia kenakan."Yumna, kamu mau ke mana?" tanya Tante Rumi, yang baru datang.Apes sekali diriku, yang ingin menjauh dari Hilman, malah mendapatkan kejadian tidak menyenangkan dua kali. Ditambah harus kembali bertemu dengan mamanya Hilman, aku memilih tenggelam ke dalam dasar bumi untuk saat ini."Aku mau beli minuman dan cemilan, Tan," jawabku bohong."Ini Tante sudah bawain, tadi tante baru ingat. Jadi Tante buru-buru ke sini," ujarnya membuatku menghela napas panjang.Tante Rumi kembali menarik tanganku dan mengajakku u
"Apa kamu yakin?" tanya bapak dengan raut wajah yang tidak percaya dan aku hanya mengangguk saja. Kemudian berlalu dari depan bapak, untuk menemui Aqila. Aku tidak menceritakan tentang bagaimana kondisiku di sana dan apa saja yang terjadi, tidak ingin kembali dicap sebagai pelakor dan tidak ingin membebani pikiran bapak saat ini. Aqila sepertinya sedang rindu padaku, karena dia sangat manja dan tidak mau lepas dari pelukanku. Atau mungkin dia merasakan hatiku yang sedang gundah. Aku tidak memiliki perasaan lebih pada Hilman, hanya saja tidak menyukai kondisi ini. Keadaan yang membuat kami harus dalam situasi yang sangat sulit. "Yumna, boleh ibu masuk," ujar ibu lirih. "Sini, Bu. Aqila sepertinya sedang merindukanku yang beberapa hari ini sangat sibuk," ucapku sebelum ibu menanyakan hal yang membuatku pusing. "Bagaimana usaha kamu?" tanya ibu. "Semua aku serahkan ke Radit, Bu. Biar dia yang mengelola sepenuhnya, untuk urusan cafe. Saat ini, Yumna fokus di usaha yang lain." Aku mem
"Maksud bapak apa?" tanyaku dengan cemberut. "Seperti yang bapak bilang tadi, semua yang menanam modal, ikut bekerja untuk memajukan cafe, lah kamu cuma diem aja," terang bapak dengan gayanya yang cool. Aku tertunduk, memang benar apa yang bapak katakan. Akan tetapi, aku belum siap untuk bertemu kembali dengan Hilman, yang hingga saat ini dia tidak meminta maaf padaku apalagi mencabut keinginanya untuk melepaskan lamarannya. Saat ini, aku tidak tahu apa status kami. "Apa kamu masih mengharapkan Attar?" tanya bapak yang membuat hatiku tersinggung. Bagaimana mungkin, bapak mempunyai pikiran seperti itu padaku. Apa karena aku tidak mau dengan Hilman, meski Radit sudah mengatakan jika aku hanya salah paham? Tidak ada kesalah paham dalam diriku, karena aku yang merasakan dan mengalami. Bukan bapak, ibu atau bahkan Radit. Bisa saja, Hilman berkata aku sedang salah paham, tapi semua yang kulewati bukanlah kesalah pahaman seperti yang mereka katakan. "Atau kamu masih cemburu dengan Hilma
"Mbak kenal saya?" tanyaku.Aku benar-benar tidak mengenalinya sama sekali, tapi sepertinya dia sangat tidak senang bertemu denganku disituasi seperti ini, wajahnya sangat tergambar jelas ketidak sukaannya."Kamu Yumna, istri Attar, kan?" tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.Benar dugaanku, dia salah satu teman Mas Attar. mata wanita itu menelisik penampilanku dari atas hingga bawah, lalu satu sudut bibirnya dia tarik, membentuk lingkaran sabit. Senyum yang terukir, bukan senyum bahagia, tapi senyum ejekan. Bahkan, matanya terlihat menyipit dan terdengar dengkusan darinya."Bukan istri, Mbak. Tepatnya mantan istri, kami sudah lama berpisah!" celetukku. "Permisi, saya pamit dulu," ujarku kemudian."Apa karena Attar bangkrut, kamu meninggalkan Attar?" cibirnya, membuatku menarik napas panjang. "Jadi cewek jangan terlalu matre, kasian yang jadi suaminya," tambahnya, membuat kaki diam terpaku."Tahu apa mbak, tentang keluarga saya?" tanyaku dengan nada kesal.Kemudian dia berdecih
"Woy, jangan kabur!" teriak seseorang."Kejar! Kejar!" timpal yang lain.Aku tidak menghiraukan mereka, mencoba menyingkirkan motor yang menimpa kakiku. Rasa sakit mulai menjalar tiba-tiba di tangan dan kakiku, tapi masih bisa kutahan."Kamu baik-baik saja?" tanya seorang ibu-ibu, yang menghampiriku.Aku hanya meringis, menahan sakit karena belum bisa menyingkirkan motor yang ada di atas kakiku. Datang beberapa orang dan langsung membantuku, barulah motorku dapat disingkirkan dari atas kaki."Aduh! Ini harus di bawa ke rumah sakit!" celetuk seorang wanita, kulihat dia memakai seragam rumah sakit."Siapa yang tanggung jawab?" tanya yang lain."Saya tidak apa-apa kok, saya bisa mengurus diri sendiri," ujarku, yang melihat wajah-wajah kebingungan di depanku.Saat aku akan berdiri, rasa sakit yang teramat sangat terasa di kaki yang tadi tertimpa motor dan hal itu membuat mereka yang melihatku makin mengiba."Saya akan mengantarnya," ujar sesorang dari balik kerumunan.Aku mengenali suara
Jangankan aku, perawat lelaki yang ada di bawah kakikupun terkejut karena mendengar suara Hilman yang menggelegar. Dengan ragu, perawat itu maju mendekati Hilman. "Ada apa, Pak?" tanya perawat itu dengan pandangan aneh. "Eh--i ... itu," jawab Hilman gelagapan. Perawat itu, menatap tidak percaya pada lelaki yang berdiri dengan tidak tenang di sampingku itu, kemudian dia mengernyitkan dahinya. Lalu, terdengar suaranya yang sumbang dan aku tahu, dia sedang mengejek Hilman. "Enggak boleh pegang istri anda?" tanya perawat itu dengan senyum dikulum. Mendengar tanya dari perawat tersebut, timbul rasa haru dan membuatku tersenyum kaku, tidak menyangka reaksi Hilman sedemikiannya padaku. Padahal perawat itu hanya menjalankan tugasnya semata. "Apa tidak ada perawat wanita?" tanya Hilman dengan pandangan menunduk. Perawat itu sepertinya mengerti akan kegusaran dari Hilman, kemudian dia memanggil suster untuk memeriksa keadaan kakiku. Sekilas kulirik Hilman, yang diam dan menghadap ke arah
Seminggu dirawat, dengan begitu banyak cinta dan perhatian dari semua orang yang aku sayangi. Termasuk Hilman, dan juga keluarganya. Namun, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak memperlihatkan kebahagiaanku. "Mbak, sudah boleh pulang hari ini," ujar Radit dengan wajah semringah, begitu pula kedua orang tuaku yang menemaniku hari ini, sedangkan Aqila dititipan ke mantan mertuaku dan Mbak Naura yang memilih berdiam di rumah. Untuk urusan usahanya masih di handle, tapi tidak dilakukan seorang diri. "Kamu pinjam mobil Mbak Naura, untuk membawa mbakmu pulang, ya," titah bapak dan diangguki oleh Radit. Saat Radit akan keluar dan memenuhi apa yang diminta bapak, pintu kamar terbuka dan suara yang sangat kukenal terdengar oleh kami. "Apa boleh saya saja yang mengantar kalian?" tanyanya masih di balik pintu. Ingin mengutuk, tapi hanya bisa berdiam diri. Pasti dia selalu dibela oleh bapak, dan ibu. Sudah kuminta untk tidak datang lagi, tapi apa ini! Aku membuang muka ke arah lain, malas
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli