"Jangan berpikiran buruk, ingat ada kembar yang masih membutuhkan kasih sayangmu dan perhatian yang leih darimu. Terlebih Asi yang melimpah, karena bukan hanya satu anak yang kamu susui!" Mama Rumi mencoba menenangkanku dan itu tidak membuatku lebih baik."Iya, Ma." Aku hanya bisa berkata dengan lirih.Ketakutan itu terus saja menghantuiku, bagaimana aku bisa jika harus menjadi janda untuk yang kedua kalinya. Apa aku sanggup menjalankannya seperti dulu, saat Mas Attar menceraikan demi wanita lain. Ah, entahlah, kenapa aku menjadi melow seperti ini. Aku pun menjadi takut kalau rasa curigaku ini akan menjadi boomerang pada hubunganku dan Hilman."Banyak-banyak istigfar, ya. Kita doakan agar pernikahan kalian langgeng hingga maut memisahkan kalian," ujar Mama Rumi yang masih melihat aku terdiam.Aku mengangguk, lalu melangkah pergi setelah berpamitan pada mama untuk ke kamar. Mama hanya menepuk pundakku, memintaku untuk tenang menghadapi Hilman yang berubah lebih baik.***Setelah berhar
Ada desiran aneh dalam hatiku, dan juga rasa takut dengan ketenangan yang dia ucapkan. Ingin bertanya lebih padanya, tapi aku sendiri lebih takut. Hilman membuatku serba salah dan tidak bisa berbuat banyak, aku sudah meminta Radit untuk mengikuti Hilman beberapa waktu lalu. Tidak ada yang aneh dengan suamiku itu, dia hanya fokus dipekerjaannya. Selesai kerja dia langsung pulang dan menghabiskan waktunya bersama kami, lalu perubahannya karena apa dan kenapa dia meminta bapak untuk membereskan perkakas di rumah?Ah, makin banyak hal yang tidak bisa aku pikirkan. Karena Hilman bukan seperti dia yang selama ini aku kenal. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk anak, dan memperbaiki ibadahnya. Bukan aku tidak suka, akan tetapi merasa aneh dengan perubahannya yang sudah dua bulan lalu kurasakan. meski tidak secara spontan, tapi tetap membuatku tidak nyaman."Jangan pernah berpikiran buruk padaku, aku selalu setia padamu sejak dulu. Kamu saja yang tidak pernah melirikku," Kekehan khas
Hilman bergeming, dalam keheningan yang dia ciptakan. Tidak ada candaan lagi dari bibirnya, wajah yang biasanya riang, kini diam membisu. Pucat pasi, tidak ada warna legamnya bola mata yang dia miliki."Na," sapa ibu.Tubuhku seakan tidak mampu, untuk bergerak. Kenyataan ini sangat menyakitiku, bagaimana bisa dia pergi seenaknya saja. Tidak memperdulikanku, bahkan membiarkan anak-anaknya sedirian. "Yang sabar, ya, Yumna. Doakan agar suamimu diterima dengan baik di sisinya dan mendapatkan tempat yang layak, ikhlaskan dia agar jalannya lapang," Bapak merangkul pundakku dengan sangat erat."Dia jahat padaku, Pak. Bisa kembalikan dia, aku tidak ingin dia pergi. Bagai mana aku tanpanya," lirihku. "Bang, bangun! Kasian anak-anak, aku selalu bergantung padamu. Bahkan saat aku masih menjadi istri Mas Attar. Bang, bangun!" Aku hanya bisa meratap.Tubuhku sudah tidak berdaya, tenagaku seolah-olah pergi menghilang. Aku hanya bisa tergugu dan meringkuk, menatap tubuh di depanku yang terbujur kak
Aku menatap dua bayi yang sedang ada di ayunannnya masing-masing, lalu menatap Aqila yang tersenyum padaku. Setetes demi setetes air mata mengalir tanpa bisa kuhalangi. Benar apa yang dikatakan oleh bapak, aku harus bisa menata hati, agar bisa menyelamatkan mental anakku. Masa depan mereka masih panjang, dan aku harus berjuang demi mereka. Akulah harapan mereka satu-satunya di dunia ini. Jika aku terpuruk, bagaimana mereka menjalani kehidupan yang keras."Kamu bisa, Yumna," ujar ibu dengan menepuk pundakku."Pasti kami bisa, Bu. Karena kalian selalu ada di sisiku," lirihku.Ibu memeluk dan membelai kepalaku dengan lembut, kemudian mengecup kepalaku berkali-kali. Aku tahu, ibu menyalurkan kekuatan tanpa kata dan aku hanya bisa mengeratkan pelukan.Ibu pun berllalu, sepertinya menyusul bapak. Mungkin mereka ingin melihat kebun yang sudah lama terbengkalai atau yang dititipkan oleh orang terpercaya.Aqila menghampiriku, tapi sepertinya dia ragu untuk mendekat. Aku tidak ingat, apa saja y
Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Aqila kini sudah dewasa, dan si kembar sudah bisa membuatku sangat bangga dengan kehadiran mereka. Ibu dan bapak sudah wafat lima tahun yang lalu, mereka selalu menemaniku dalam suka dan duka dan mereka sudah lelah dan Tuhan lebih sayang pada mereka.Radit sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, hanya sesekali mereka datang berkunjung. Melepaskan kerinduan dan nostalgia bersama, mengenang semua yang kami lalui dengan banyaknya suka dan duka.Mbak Naura pun sudah bahagia dengan keluarganya, mereka pindah ke luar pulau yang cukup jauh. Kami hanya bisa bertukar kabar melalui telepon dan sesekali melakukan video call. Sering kali Mbak Naura bertanya tentang Mas Attar, tapi aku tidak mengetahui kabar apapun tentang ayahnya Aqila tersebut."Ma, seharusnya mama sudah waktunya pensiun dan beristirahat leih banyak di rumah. Untuk cafe, biarkan Om Radit saja yang mengurusnya," Aqila yang baru saja pulang kerja duduk di sampingku."Ini adalah kenangan te
Setelah mendapatkan ijin dariku, Aqila beserta kembar mencari keberadaan Mas Attar. Kembar membantu Aqila dengan alasan menjaga kakak satu-satunya, mereka hanya takut jika ayah Aqila akan berbuat jahat lagi pada Aqila. Meski Aqila sudah menolak mereka dan meminta mereka untuk tidak ikut campur, si kembar tetap kekeh ingin membantu, membuat Aqila pasrah dengan kelakuan dua remaja yang sangat tampan. "Kakak mulai pencarian di mana?" tanya Candra dengan wajah keponya. Sedangkan Catra sibuk dengan tugasnya yang belum selesai dikerjakan, Aku sendiri sedang memeriksa pengeluaran dan pemasukan cafe setiap minggunya. "Bagaimana kita cari di rumah lama papa Attar saja?" usul Catra yang masih berkutat dengan tugas-tugasnya. Aqila mendekati Catra dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh adiknya, dan sedikit memberikan jeweran di telinganya. "Selesaikan dulu, baru ikut bergabung!" kesal Aqila dan Catra hanya meringis. "Tapi yang dikatakan Catra bener loh, Kak!" Candra membela adiknya yang
''Ah, iya. Aku lupa kalau kami belum makan,'' ujar Radit dengan mengusap tengkuknya.Radit mendekati anak-anaknya dan mengajak mereka ke luar rumah, untuk membeli makanan, Karena tidak mungkin untuk masak di saat ini."Duduk, Nit!" pintaku lirih.Dengan ragu, Nita duduk di depanku. Aku tahu, jika jarak antara kami sangat jauh. Semua wanita pasti seperti itu jika hatinya tersakiti, akan mereka ingat untuk selamanya, meskipun hanya kesalahan yang tidak disengaja."Maaf, Mbak," cicitnya.Seulas senyum hangat kuberikan padanya, agar keadaan tidak semakin menegang. Rasa bersalah pun selalu menghantuiku, bukan tanpa sebab aku memarahinya dulu, tapi mungkin Nita salah menafsirkan amarahku atau aku yang salah mengucapkan kata-kata saat amarahku meluap."Maafkan kesalahan, Mbak, ya. Mungkin kamu masih menyimpan dendam pada, Mbak dan belum bisa memaafkan kesalahan yang Mbak lakukan dulu. Jika ada salah yang belum termaafkan, Mbak mohon, kamu bisa dengan ikhlas melepaskan kesalahan Mbak yang ter
"Kabar terakhir yang kami dapat, setelah papa Attar keluar dari penjara dia sempat tinggal di rumah yang dulu pernah ditingali mama dan papa, tapi hanya dua bulan. Lalu papa pergi, entah ke mana," jawab Candra.Radit mendekati Aqila dan mengusap lembut kepala keponakannya itu, dan memintanya untuk bersabar dalam mencari seseorang yang telah lama tidak ada kabarnya."Apa kamu sudah punya kekasih, sampai harus segera mencari papamu?" tanya Radit untuk menggoda keponakannya."Om selalu saja menggodaku, aku hanya tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Bagaimanapun Papa Attar tetap papaku, meski dia pernah menyakiti kami. Setidaknya aku harus tahu kehidupannya saat ini membaik atau memburuk, dan apakah dia masih membenciku," liri Aqila, yang membuat Radit terdiam, begitu juga yang lainnya.Semua diam, larut dalam lamuman masing-masing. Seakan-akan tidak tahu harus bagaimana mengakhiri situasi yang cukup menegangkan ini. Hingga anak-anak Radit datang dan membuat kedua kembar memberikan reak
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli