Bab 4
Mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, aku terlalu larut dalam lamunan. Pintu rumahnya juga terkunci dengan rapat. Semua itu hanya khayalanku saja, tidak tahu apa yang mereka lakukan di dalam.
Aku tidak ingin gegabah, bodohnya aku karena tadi tidak sempat mengabadikan momen itu. Setidaknya itu bisa aku jadikan bahan untuk mempermalukan wanita itu.
Bagaimana mungkin aku mengingat untuk menyimpan bukti, hatiku saja begitu perih melihat dengan mata kepala sendiri apa yang selama ini Mas Hasbi sembunyikan.
Di mataku dia lelaki alim, romantis dan sangat penyayang. Tapi ternyata dibalik sikapnya dia sama dengan lelaki lain di luaran, bajing*n!
Aku tidak terima ini, Mas. Aku akan membuatmu berlutut dan menyesali apa yang sudah kamu lakukan padaku.
Lututku rasanya masih lemas tapi aku harus segera pergi dari sini. Setidaknya sudah kukantongi alamat rumahnya. Aku bersumpah akan membuat lont* itu malu, di depan keluarga dan teman-temannya.
Apa Mbak Tyas tahu kalau wanita yang dekat dengannya itu sudah menggoda suamiku?
Aku bertanya-tanya. Nanti aku akan mengorek informasi soal wanita bernama Vivi itu dari Mbak Tyas.
***
[Mas, aku sudah di rumah. Kamu di mana? Masih di rumah Mbak Tyas?]
Pesan yang kukirim pada Mas Hasbi.
Ting!
Ternyata dia membalas pesan dengan cepat.
[Aku sedang dijalan menuju rumah.]
Baguslah, jadi dia tidak berlama-lama di tempat wanita murahan itu.
Sambil menunggunya pulang aku memutuskan untuk mandi. Tidak etis jika aku harus mengamuk dan menyiksa wanita itu seperti dalam lamunan.
Aku wanita berkelas, bukan levelku membasmi pelakor dengan cara kekerasan. Lebih baik membuatnya mundur dengan cara elegan, rasanya tidak rela mengotori tanganku dengan menyentuh wanita rendahan seperti dia.
Kamu itu cantik, Ambar. Bahkan lebih cantik dari wanita itu, kamu harus bisa memikat kembali suamimu. Kalau wanita lain saja bisa membuat Mas Hasbi terpesona, kenapa aku sebagai istrinya tidak bisa melakukan itu.
Bermonolog di depan cermin sambil merias wajah dengan makeup tipis.
Bukankah memang harus indah dipandang jika dihadapan suami? Ya, mungkin itu jarang aku lakukan karena Mas Hasbi selalu mengatakan jika dia menyukai aku tanpa riasan apapun.
Aku tidak yakin wanita itu mengandung anak Mas Hasbi, bisa saja dia hamil oleh lelaki dan tapi meminta tanggung jawab pada suamiku. Mas Hasbi itu 'kan orangnya sangat polos dan bisa saja dibodohi
Aku terus bergumam sibuk dengan pikiran sendiri. Masih menanamkan pikiran positif meski hatiku sebenarnya berontak.
Saat mendengar deru suara mobil, dengan cepat aku melangkah keluar untuk menyambutnya.
Cklek!
Kutarik pintu untuk menyambut kedatangan Mas Hasbi.
Senyum yang menghiasi wajahku langsung luntur saat melihat sosok yang membuat darahku mendidih kini berdiri di hadapanku. Dia tidak datang sendiri tapi dengan seorang balita berusia satu tahun di gendongannya.
"Apa-apaan ini?" Batinku menjerit, tangan sudah mengepal kuat.
Aku masih terpaku untuk beberapa saat hingga Mas Hasbi bersuara.
"Kita bicara di dalam." Raut wajah lelaki terlihat serius.
Kami sudah duduk di ruang tengah. Mas Hasbi terlihat beberapa kali menarik nafas panjang, aku diam saja.
"Aku buatkan minum dulu," ucapku lalu bangkit. Bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa untuk sekarang, aku ingin tahu apakah Mas Hasbi akan mengatakan kejujuran atau menyembunyikannya.
Saat kembali ke ruang tamu, mereka sama-sama terdiam. Tidak ada obrolan sama sekali, hanya terdengar celotehan riang dari anak yang digendong wanita itu. Aku bahkan tidak sudi menyebut namanya.
"Mbak ini yang kemarin ada di rumah Mbak Tyas ya? Temannya Mbak Tyas?" Aku memecah keheningan mencoba basa-basi meski rasanya tidak sudi.
Dia menunduk, tidak menjawab dengan ucapan tapi malah menggelengkan kepala.
"Dia bukan teman Mbak Tyas," ujar Mas Hasbi.
"Lalu siapa? Teman kamu?" tanyaku.
Kamu beruntung karena aku bersikap tenang, Mas. Mungkin jika wanita lain yang ada di posisi ini pasti sudah mengamuk.
"Dia … istriku."
Deg!
Rasanya seperti disambar petir di siang bolong, lututku lemas, dadaku bergemuruh. Air mata yang dari tadi mencoba kutahan akhirnya jebol juga.
Aku kira Mas Hasbi dan wanita itu tidak sampai menikah, aku pikir mereka ada dalam hubungan yang haram. Tapi ternyata dugaanku salah.
"Jangan bercanda, Mas!"
"Maaf." Dia menunduk tidak berani menatapku.
"Hahaha … untuk apa minat maaf? Aku tidak ingin mendengar kata maaf, aku ingin penjelasan!"
"Aku dan Nafisha sudah dua tahun menikah."
Hatiku terasa ditusuk ribuan jarum. Rasanya nafasku sudah mulai sesak, pandangan buram oleh air mata.
"Dua tahun? Kamu menyembunyikan ini selama dua tahun? Dimana hatimu, Mas. Tega kamu melakukan ini padaku!" Tidak bisa lagi menahan emosi, aku berteriak. Menghujamnya dengan pukulan tapi dia tetap diam.
"Mbak–"
Tatapan tajamku kini mengarah pada wanita itu. Beraninya dia memanggilku.
"Pergi! Pergi dari rumahku!" teriakku.
"Ambar …."
"Diam, Mas. Aku menerimanya masuk sebagai tamu bukan madu!"
Tubuhku langsung merosot ke lantai setelah melihat Mas Hasbi dan wanita itu keluar dari rumah.
Tidak bisa lagi menahan sesak dalam dada, aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli omongan tetangga yang mendengar teriakanku.
Argh! Bajing*n kamu, Mas!
Kemarahan membuat tenaga terisi penuh, semua foto pernikahan yang terpanjang langsung aku copot dan lempar hingga menghantam dinding.
Prang!
Pyar!
Kesetiaanku selama ini kau balas dengan ini, Mas? Dimana hatimu, dimana otakmu? Kamu tidak tahu diri, selama ini aku membantu kamu merintis usaha dari bawah dan sekarang kamu malah membawa wanita lain!
Kamu pikir aku akan diam diperlakukan seperti ini? Aku akan membuat kalian hancur!
Ku tendangan dengan keras vas yang berada di dekat jendela hingga membentur kaca dan membuatnya pecah.
Aku tidak peduli, hatiku sakit!
Sikap lembut yang rencananya akan kulakukan tidak pedulikan lagi.
Melampiaskan amarah setidaknya membuatku bisa sedikit waras. Apa yang diakuinya sungguh diluar dugaanku. Aku tidak menyangka dia akan bermain sejauh itu.
"Ambar, kamu kenapa?"
Bukan tidak mendengar, rasanya tenggorokanku tercekat sulit untuk bicara. Hanya air mata yang terus mengalir deras.
Bu Lia langsung memelukku, aku hanya diam dengan tubuh yang bergetar di dalam pelukannya. Mungkin ia tahu saat ini aku tidak sedang baik-baik saja.
"Mas Hasbi … Mas Hasbi selingkuh. Dia tega, Bu. Dua tahun dia bermain di belakangku." Semua itu mengalir begitu saja dari mulutku setelah tadi sulit untuk bicara.
"Astagfirullah. Ya Allah … kenapa Hasbi tega sekali."
Aku memejamkan mata saat merasa kepala ini berputar lalu semuanya jadi gelap.
***
"Sayang."
Sayup-sayup aku bisa mendengar suara dan juga sentuhan lembut di pipi.
Kepalaku masih pening dan berat. Rasanya sulit untuk membuka mata.
"Bagaimana perasaan kamu?"
Itu suara Mas Hasbi.
Langsung ku paksakan untuk membuka mata. Pertama kali yang kutangkap adalah wajah cemasnya.
"Perasaan? Kamu bertanya soal perasaan aku, Mas? Kamu sehat?" Aku malah balik bertanya dengan tatapan sengit.
"Maaf, aku benar-benar–"
"Apa, kamu ingin mengatakan khilaf? Iya? Mana ada khilaf bertahun-tahun, memang kamu saja yang tidak cukup dengan satu wanita! Kamu pikir kamu siapa? Kamu punya apa sampai berani memiliki dua istri, apa kamu mampu adil dan menafkahi keduanya?"
Mas Hasbi terlihat mengurut pangkal hidungnya. Jika sudah seperti ini kutebak jika dia sedang emosi tapi sebisa mungkin menahannya.
Dia tidak pantas untuk emosi dan marah karena di sini aku yang tersakiti. Bukan dia!
"Sayang, mas bisa jelaskan. Semua ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan."
Dia mencoba menyentuh tanganku tapi dengan cepat kutepis.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu, Mas!"
Dia tertegun, tangannya melayang di udara.
"Kenapa masih di sini, cepat bereskan semua barang-barang kamu dan pergi dari rumahku. Dan satu lagi … jangan pernah bawa semua fasilitas yang ayahku berikan."
Mas Hasbi kaget, ia pasti tidak menyangka aku akan seperti ini. Selama ini aku memang royal padanya tapi semua yang pernah aku dan ayahku berikan akan kuminta kembali. Salahnya karena sudah berani menghancurkan hatiku.
"Sayang .. tolong jangan seperti ini. Mas minta maaf."
Aku menyeringai.
"Apa maafmu itu bisa menyembuhkan luka di hatiku? Apa maafmu itu bisa mengembalikan waktumu yang terpakai saat kamu bersama dengan wanita itu?"
Mas Hasbi terdiam.
"Tidak bisa 'kan? Kalau begitu cepat pergi sebelum kamu menyesal."
"Tenangkan dulu pikiranmu, setelah itu aku akan kembali. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan kamu."
Bersambung ….
Tenang? Aku bahkan tidak bisa tenang setelah apa yang terjadi. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu. Tidakkah dia tahu hancurnya perasaanku. Dadaku bahkan masih terasa begitu sesak.Tidak. Aku tidak boleh memperlihatkan keterpurukan dan emosiku di depan mereka, itu sama saja memperlihatkan jika aku kalah. Untuk kali ini aku akan mengalah tapi bukan berarti memaafkannya, kesalah yang Mas Hasbi lakukan itu sungguh tidak bisa dimaafkan karena dia selingkuh selama usia pernikahan kami.Wanita itu juga pasti akan senang melihatku langsung mundur. Harta, itu pasti yang diinginkannya. Tidak ada wanita manapun yang ingin dimadu atau menjadi madu, aku yakin dia bahkan tidak mencintai Mas Hasbi.Beberapa hari ini aku membuat diriku pulih dulu karena memang setelah kejadian itu tidak bohong, aku jatuh sakit. Terdengar lemah memang, tapi wanita mana yang akan menerima begitu saja saat tahu suaminya diam-diam memiliki istri lain.Setiap hari Mas Hasbi mengantarkan makanan tapi tidak pernah sekalipu
“Sayang ….” Mas Hasbi seperti sulit untuk menentukan.“Pilihan ada ditanganmu, jangan berpikir jika aku memaksa, Mas. Silahkan saja pilih sesuai isi hatimu.” Meliriknya sekilas sebelum melanjutkan sarapan.Meski tidak pernah memiliki nafsu makan tapi setidaknya aku jangan sampai tumbang lagi karena hal ini. Beberapa hari sampai tidak bekerja. Memang kehidupanku jadi kacau tapi takkan kubiarkan berlarut seperti ini.“Aku … akan meninggalkan Nafisha. Tapi tunggu sampai dia melahirkan.”“Terserahmu.”Rasaku pada Mas Hasbi bahkan tidak langsung hilang meski dia sudah jelas berkhianat. Kecewa dan benci sudah pasti ada tapi tidak mudah menghilangkan begitu saja cintaku padanya.“Apa boleh aku kembali.”“Kalau kau datang sendiri pintu rumahku terbuka.” Kursi berderit saat aku berdiri, menaruh piring di tempat cucian kotor. Dia tidak mengekori saat aku masuk ke dalam kamar.Rasanya masih tidak percaya dengan badai besar yang menerjang rumah tanggaku. Kenapa harus ada cobaan seberat ini? Siapa
“Oh, temannya Mbak Tyas.”Kemarin Mbak Tyas mengatakan jika wanita ini adalah orang yang membantunya menyiapkan acara syukuran. Aku jadi mencurigai Mbak Tyas.Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Mbak Tyas tahu dan mencoba menutupi atau dia tidak tahu dan sama denganku yang dibodohi oleh Mas Hasbi. Tidak mungkin juga menuduh tanpa bukti, jika tidak benar jatuhnya fitnah.Tidak boleh gegabah dan menciptakan masalah baru.“Vivi sudah mau pulang?”“Iya, Bu. Mungkin beberapa hari tidak kesini karena suamiku pulang,” ucapnya lalu melirik sekilas pada Mas Hasbi yang memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku antar Vivi dulu ya, Bu.”Aku masih diam melihat Mbak Tyas dan wanita itu keluar. Mas Hasbi berdiri mematung di tempatnya. Mungkin jika aku tidak datang dia yang akan mengantarkan istrinya itu pulang.“Kasihan ya suaminya kerja di luar kota. Kenapa dia tidak ikut saja? Sedang hamil pasti tidak mudah tinggal sendirian.”“Makanya biasa ibu memintanya datang kesini, kasihan kalau sendirian di rumahn
“Tidak, bukan seperti itu maksudku.”“Kamu juga ingin aku merawat anak itu? Kamu pikir hatiku ini batu hah?”Apa yang dipikirkannya itu? Sungguh tidak masuk akal. meski bayinya memang tidak bersalah tapi aku tidak akan pernah mau merawat bayi itu. Ibunya masih ada, kenapa harus aku yang merawatnya.Dia pikir hal ini akan membuatku luluh? Aku bahkan semakin marah.“Siapa tahu dengan mengasuh bayi bisa memancing agar dirimu bisa cepat hamil. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung.”Sebelah sudut bibiku terangkat, “Tidak perlu.” Kusodorkan kertas yang berada di atas nakas.Setelah melakukan pemeriksaan sebelum ke kantor tadi, aku tahu alasan tubuhku belakangan ini begitu lemas. Bukan hanya karena masalah dengan Mas Hasbi tapi karena memang kondisiku. Mungkin jika ketahuan lebih awal Mas Hasbi tidak akan membawa wanita itu dan aku akan semakin lama dibohonginya.“Ka-kamu ha-mil, sayang.” Wajahnya terlihat syok, detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya.Entah harus bahagia atau tid
Aku menggigit bibir menahan tawa melihat wajah ketakutan Mas Hasbi, dia pasti tahu jika ucapan ayah tidak pernah main-main. Ayah selalu bersikap tegas, dulu saja Mas Hasbi tidak mudah mendapatkan restu ayah dan sekarang dia memperlakukanku seperti ini.“Mana mungkin, mana mungkin aku berani menyakiti Ambar. Aku akan menjaganya, Yah.”“Ayah percaya padamu. Sebentar lagi statusmu akan bertambah.”“Sudah, Yah. Ayah datang-datang langsung menceramahi Mas Hasbi. Ayo duduk dulu, aku buatkan minum.”“Biar aku saja yang buatkan, sayang. Ayah mau teh atau kopi?” Mas Hasbi begitu sigap.Lihat saja, sejauh apa aku membalasmu, Mas. Aku bukan orang penyabar yang menunggumu mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau perbuat. Tidak ada larangan membalas perbuatanmu itu, sah sah saja. Tapi memang lebih baik membalas kejahatan dengan kebaikan namun sayang hatiku sepertinya tidak selapang itu.“Teh saja, tidak usah pakai gula.”Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Mas Hasbi yang su
[Aku tidak membelikan apapun untuk Ambar!]Akhirnya pesan balasan dari Mas Hasbi muncul juga. Sudah pasti akan ada adu mulut diantara mereka jika saja salah satu tidak ada yang mengalah.[Tidak apanya. Jelas-jelas dia memamerkan gelangnya itu, dia bilang itu pemberian darimu.] -Nafisha.[Aku tidak membelikannya, paling dia beli sendiri. Sudahlah jangan meributkan hal seperti ini, kalau mau ya tinggal beli.] -Mas Hasbi.[Kirim uangnya, uang yang kemarin kamu kirim sudah habis.] -Nafisha.[Habis? Kamu menggunakannya untuk apa? Seharusnya cukup untuk satu bulan, jangan terlalu boros.Aku sudah keluar banyak uang untuk rumah itu.] -Mas Hasbi.Apa jangan-jangan uang tabungan kami yang dipakainya untuk membelikan rumah wanita itu. Aku tidak akan ikhlas.Aku yang menemani Mas Hasbi dari bawah dan dia yang menikmati hasil kerja keras suamiku? Enak saja.Soal barang-barang yang sudah kuberikan pada ibu mertua dan juga saudara Mas Hasbi yang lain tak akan kuambil kembali karena memang pantang ba
Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia sampah macam dia. Tapi fakta tak bisa kupungkiri, lelaki itu adalah ayah dari anakku.Kuhela nafas berkali-kali, memikirkan ini bisa membuat tekanan darah naik. Bagaimana pun sekarang kesehatanku lebih penting, jangan sampai kehamilan ini bermasalah gara-gara dia.Sekarang yang terpenting aku harus membuatnya percaya jika aku memang sudah menerimanya kembali, jika tidak seperti itu akan sulit bagiku merebut sertifikat rumahnya.[Sayang, pedangan rujak tidak jualan. Bagaimana?] Dia mengirimkan pesan disertai foto tempat biasa penjual rujak itu mangkal.Baru saja akan membalas pesannya, aku malah mendapat panggilan video dari Mas Hasbi.Layar ponsel penuh dengan wajahnya sebelum kamera beralih ke kamera belakang dan memperlihatkan dengan jelas lapak itu yang kosong.“Apa aku harus cari di tempat lain?” tanyanya.“Hm, cari yang dekat pasar kalau begitu.” Itu jelas lebih jauh tapi resikonya memang
Bab 13Menikahi Ambar bukan keinginanku, atas desakan Ibu dan juga Mbak Tyas aku melakukan ini. Bahkan aku harus rela meninggalkan Nafisha.Mendiang ayahku memiliki banyak hutang pada rentenir membuat keluargaku hidup serba kekurangan.Di tengah himpitan ekonomi ibu meminta agar aku mendekati Ambar, wanita yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ambar adalah anak semata wayang Pak Suseno, pemilik usaha properti yang cabangnya sudah ada dimana-mana.Awalnya aku menolak karena memiliki Nafisha, tapi tidak tega melihat kondisi keluargaku sendiri yang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Berpikir mungkin ini memang jalan yang terbaik, bukan tidak pernah mencoba mencari pinjaman ke tempat lain tapi siapa yang mau memberikan pinjaman tanpa ada jaminan, saat itu kami hanya tinggal di rumah kontrakan.Mendekati Ambar tidaklah mudah, dia bukan wanita yang luluh oleh sebuah rayuan. Aku sendiri bahkan kagum padanya karena tidak seperti wanita pada umumnya yang akan luluh oleh ketampanan.
POV Ambar“A-apa ini?”“Perlu aku bacakan?” Aku meraih kertas itu dari tangan Mas Hasbi, “ini surat cerai, kita akan berpisah! Apa masih kurang jelas, Mas?”Mas Hasbi menggeleng, “ti-tidak, aku tidak ingin kita berpisah. Bukankah kita sudah memulai semuanya dari awal, kamu sudah memaafkanku bukan?”"Ya, aku memang sudah memaafkanmu, Mas. Tapi bukan berarti aku mau menerimamu kembali. Awalnya memang aku pernah berpikir seperti itu namun saat aku akan melakukannya semakin banyak kebusukanmu yang terbongkar jadi aku tidak bisa mengambil keputusan lain selain berpisah.Aku juga lelah selalu dihubungi oleh istri mudamu itu, dia menelpon kadang memaki kadang juga mohon-mohon agar membujukmu untuk bisa rujuk dengannya.”Ya, Nafisha meang melakukan itu. Terlihat jelas jika dia tidak ingin berpisah dari Mas Hasbi, aku pun tidak ingin memperebutkan lelaki seperti Mas Hasbi. Dia sudah pernah berkhianat sekali dan masih ada kemungkinan dia melakukan hal yang sama kedepannya dan aku tidak mau samp
POV Hasbi“Ka-kamu ….”“Hari juga aku menjatuhkan talak padamu, kamu bukan istriku lagi.” Sekian lama menahan akhirnya bisa juga aku mengucapkan itu.“Mas.”“Maaf, Nafisha. Tapi selama ini aku sudah sabar, dari awal ini memang salah. Jangan khawatir soal anak, aku tidak akan lepas tanggung jawab. Tolong segera urus sertifikat itu, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Ambar jika tahu kamu menggadaikan sertifikat itu.”Nafisha menahan tanganku, “mas, aku tidak mau berpisah denganmu. Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu.”Aku tersenyum sinis, “kau yang mau mengorbankan dirimu sendiri, bukan aku yang meminta.”Tidak peduli melihat Nafisha yang menangis sesegukan. Aku sudah sangat pusing, dia begitu menyusahkan. Tidak pernah sekalipun dia berubah. Jika bukan karena ancaman, dan juga anak aku mungkin dari dulu sudah meninggalkannya.Pulang ke rumah Ambar sudah menungguku, menyambut dengan senyum manis.“Mas mau dibuatkan minum apa?”Bukannya bertanya soal sertifikat dia malah menawark
POV Hasbi“Ya, keluargaku semua tahu soal ini. Aku … membelikannya rumah. Tapi aku akan mengambilnya kembali. Aku mengakui semua kesalahanku.”Tak berani menatapnya, aku menunduk. Pasrah dengan apa reaksi Ambar.Apa yang sudah kulakukan memang sangat keterlaluan. Dia pasti berpikir aku tidak tahu diri.Aku tersentak saat dia tiba-tiba kembali menggenggam tanganku, “Aku kecewa padamu dan juga pada keluargamu, Mas. Kuberikan waktu untukmu mengembalikan apa yang bukan hakmu. Aku tidak akan marah dan mengadukan ini pada ayah.”Kondisi ayah mertuaku memang terlihat baik tapi jika dia tahu hal seperti ini bisa saja kondisi kesehatannya langsung menurun.“Aku akan mengambilnya sekarang juga.”Ambar menahan tanganku, “Kamu sudah lelah dari tadi pulang pergi terus, Mas. Masih ada besok.”Senyumnya membuatku lega.Aku malu, sangat malu karena menyia-nyiakan wanita sebaik Ambar. Setelah ini aku tidak akan lagi berbuat hal yang macam-macam, tidak peduli dengan ancaman Nafisha. Jika memang dia ing
Bab 13Menikahi Ambar bukan keinginanku, atas desakan Ibu dan juga Mbak Tyas aku melakukan ini. Bahkan aku harus rela meninggalkan Nafisha.Mendiang ayahku memiliki banyak hutang pada rentenir membuat keluargaku hidup serba kekurangan.Di tengah himpitan ekonomi ibu meminta agar aku mendekati Ambar, wanita yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ambar adalah anak semata wayang Pak Suseno, pemilik usaha properti yang cabangnya sudah ada dimana-mana.Awalnya aku menolak karena memiliki Nafisha, tapi tidak tega melihat kondisi keluargaku sendiri yang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Berpikir mungkin ini memang jalan yang terbaik, bukan tidak pernah mencoba mencari pinjaman ke tempat lain tapi siapa yang mau memberikan pinjaman tanpa ada jaminan, saat itu kami hanya tinggal di rumah kontrakan.Mendekati Ambar tidaklah mudah, dia bukan wanita yang luluh oleh sebuah rayuan. Aku sendiri bahkan kagum padanya karena tidak seperti wanita pada umumnya yang akan luluh oleh ketampanan.
Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia sampah macam dia. Tapi fakta tak bisa kupungkiri, lelaki itu adalah ayah dari anakku.Kuhela nafas berkali-kali, memikirkan ini bisa membuat tekanan darah naik. Bagaimana pun sekarang kesehatanku lebih penting, jangan sampai kehamilan ini bermasalah gara-gara dia.Sekarang yang terpenting aku harus membuatnya percaya jika aku memang sudah menerimanya kembali, jika tidak seperti itu akan sulit bagiku merebut sertifikat rumahnya.[Sayang, pedangan rujak tidak jualan. Bagaimana?] Dia mengirimkan pesan disertai foto tempat biasa penjual rujak itu mangkal.Baru saja akan membalas pesannya, aku malah mendapat panggilan video dari Mas Hasbi.Layar ponsel penuh dengan wajahnya sebelum kamera beralih ke kamera belakang dan memperlihatkan dengan jelas lapak itu yang kosong.“Apa aku harus cari di tempat lain?” tanyanya.“Hm, cari yang dekat pasar kalau begitu.” Itu jelas lebih jauh tapi resikonya memang
[Aku tidak membelikan apapun untuk Ambar!]Akhirnya pesan balasan dari Mas Hasbi muncul juga. Sudah pasti akan ada adu mulut diantara mereka jika saja salah satu tidak ada yang mengalah.[Tidak apanya. Jelas-jelas dia memamerkan gelangnya itu, dia bilang itu pemberian darimu.] -Nafisha.[Aku tidak membelikannya, paling dia beli sendiri. Sudahlah jangan meributkan hal seperti ini, kalau mau ya tinggal beli.] -Mas Hasbi.[Kirim uangnya, uang yang kemarin kamu kirim sudah habis.] -Nafisha.[Habis? Kamu menggunakannya untuk apa? Seharusnya cukup untuk satu bulan, jangan terlalu boros.Aku sudah keluar banyak uang untuk rumah itu.] -Mas Hasbi.Apa jangan-jangan uang tabungan kami yang dipakainya untuk membelikan rumah wanita itu. Aku tidak akan ikhlas.Aku yang menemani Mas Hasbi dari bawah dan dia yang menikmati hasil kerja keras suamiku? Enak saja.Soal barang-barang yang sudah kuberikan pada ibu mertua dan juga saudara Mas Hasbi yang lain tak akan kuambil kembali karena memang pantang ba
Aku menggigit bibir menahan tawa melihat wajah ketakutan Mas Hasbi, dia pasti tahu jika ucapan ayah tidak pernah main-main. Ayah selalu bersikap tegas, dulu saja Mas Hasbi tidak mudah mendapatkan restu ayah dan sekarang dia memperlakukanku seperti ini.“Mana mungkin, mana mungkin aku berani menyakiti Ambar. Aku akan menjaganya, Yah.”“Ayah percaya padamu. Sebentar lagi statusmu akan bertambah.”“Sudah, Yah. Ayah datang-datang langsung menceramahi Mas Hasbi. Ayo duduk dulu, aku buatkan minum.”“Biar aku saja yang buatkan, sayang. Ayah mau teh atau kopi?” Mas Hasbi begitu sigap.Lihat saja, sejauh apa aku membalasmu, Mas. Aku bukan orang penyabar yang menunggumu mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau perbuat. Tidak ada larangan membalas perbuatanmu itu, sah sah saja. Tapi memang lebih baik membalas kejahatan dengan kebaikan namun sayang hatiku sepertinya tidak selapang itu.“Teh saja, tidak usah pakai gula.”Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Mas Hasbi yang su
“Tidak, bukan seperti itu maksudku.”“Kamu juga ingin aku merawat anak itu? Kamu pikir hatiku ini batu hah?”Apa yang dipikirkannya itu? Sungguh tidak masuk akal. meski bayinya memang tidak bersalah tapi aku tidak akan pernah mau merawat bayi itu. Ibunya masih ada, kenapa harus aku yang merawatnya.Dia pikir hal ini akan membuatku luluh? Aku bahkan semakin marah.“Siapa tahu dengan mengasuh bayi bisa memancing agar dirimu bisa cepat hamil. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung.”Sebelah sudut bibiku terangkat, “Tidak perlu.” Kusodorkan kertas yang berada di atas nakas.Setelah melakukan pemeriksaan sebelum ke kantor tadi, aku tahu alasan tubuhku belakangan ini begitu lemas. Bukan hanya karena masalah dengan Mas Hasbi tapi karena memang kondisiku. Mungkin jika ketahuan lebih awal Mas Hasbi tidak akan membawa wanita itu dan aku akan semakin lama dibohonginya.“Ka-kamu ha-mil, sayang.” Wajahnya terlihat syok, detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya.Entah harus bahagia atau tid
“Oh, temannya Mbak Tyas.”Kemarin Mbak Tyas mengatakan jika wanita ini adalah orang yang membantunya menyiapkan acara syukuran. Aku jadi mencurigai Mbak Tyas.Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Mbak Tyas tahu dan mencoba menutupi atau dia tidak tahu dan sama denganku yang dibodohi oleh Mas Hasbi. Tidak mungkin juga menuduh tanpa bukti, jika tidak benar jatuhnya fitnah.Tidak boleh gegabah dan menciptakan masalah baru.“Vivi sudah mau pulang?”“Iya, Bu. Mungkin beberapa hari tidak kesini karena suamiku pulang,” ucapnya lalu melirik sekilas pada Mas Hasbi yang memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku antar Vivi dulu ya, Bu.”Aku masih diam melihat Mbak Tyas dan wanita itu keluar. Mas Hasbi berdiri mematung di tempatnya. Mungkin jika aku tidak datang dia yang akan mengantarkan istrinya itu pulang.“Kasihan ya suaminya kerja di luar kota. Kenapa dia tidak ikut saja? Sedang hamil pasti tidak mudah tinggal sendirian.”“Makanya biasa ibu memintanya datang kesini, kasihan kalau sendirian di rumahn