"Yuni ditinggal sendirian nggak apa-apa, Yah?"
"Kan sudah ada perawat di rumah. Jangan khawatir," jawab ayahnya.Herman kembali bercakap-cakap dengan Darwis di bangku depan. Mereka membicarakan proyek mega mal yang akan segera dibangun untuk menyaingi mal milik Volker.Yuna keringat dingin mendengar mereka bicara. Ia pikir setelah keluar dari Kota Jawara, ia tidak akan bersinggungan lagi dengan Eric atau keluarganya. Rupanya, memang benar apa kata berita, Volker memiliki banyak usaha di setiap kota."Yuna... Kita sudah sampai." Darwis membukakan pintu di samping Yuna."Oh, maaf. Aku melamun.""Kamu suka masakan barat?" tanya Darwis selagi mereka berjalan memasuki restoran mewah."Um, aku nggak punya pantangan makanan.""Dia itu rakus dan bisa makan apa saja." Herman menimpali."Ayah!" Wajah Yuna merona.Darwis tertawa singkat. "Bagus kalau begitu. Aku suka dengan orang yang nggak pilih-pilih makanan."Yuna memutar bola mata. Apa hubunganny"Jangan terlalu serius, Yuna. Kamu nggak perlu tegang begitu." Darwis tertawa, diikuti oleh Herman."Lakukan apa pun yang kamu inginkan mulai sekarang. Kamu jangan khawatir masalah uang lagi," kata Herman, "tapi ayah nggak melarang kalau kamu mau menikah. Ayah juga ingin cepat-cepat punya cucu."Yuna tidak tahu harus menanggapi apa. Untungnya, pelayan restoran menyela mereka dengan hidangan yang dipesan."I-ini...."Mata Yuna terbelalak mendapati hidangan yang mirip sekali dengan apa yang ia buat untuk Diana. Setelah mencicipi sedikit, ia semakin yakin jika makanan itu sungguh ciptaannya.'Seharusnya restoran Nyonya Diana belum dibuka, bukan?'"Ada apa, Yuna? Apa kamu nggak suka makanannya?" tanya Darwis."N-nggak. Suka sekali.""Katanya, ini resep turun-temurun milik keluarga Volker. Kamu tahu mereka, bukan? Mereka yang punya restoran ini."Yuna semakin tidak mengerti. Diana tidak pernah mengatakan akan membuka restoran di kota lain. Ia sendiri p
Eric Volker masih berkutat pada dokumen-dokumen yang menumpuk di atas meja. Selama sebulan, ia menghabiskan hampir seharian di kantor Volker. Tidur hanya empat jam, lalu kembali menyelesaikan pekerjaan.Baru beberapa hari ini saja pekerjaan Eric jauh lebih ringan. Karena ia memang sengaja cepat-cepat menyelesaikan semua masalah perusahaan. Kemudian, ia akan mencari Yuna sendiri.Suara deringan ponsel membuyarkan konsentrasi Eric. Ia mengumpat, namun tetap mengangkat telepon itu."Di mana, Ric? Kamu bertemu Yuna?" tanya Emilia dengan nada curiga."Di kantor. Masih tanya? Sudah, aku sibuk!"Eric mematikan ponselnya. Bukan hanya karena sibuk yang menjadikan alasan Eric tidak pulang-pulang ke rumah. Eric lama-lama muak bertemu dengan kakaknya itu.Entah sejak kapan Eric jadi sedikit membenci Emilia. Mungkin dari dua minggu lalu ketika Emilia memaksa Eric datang hanya karena curiga dirinya sedang bersama Yuna.Emilia menggores nadinya sampai dilarikan ke rumah
Eric menghubungi nomor yang digunakan Yuna berulang kali, namun tidak ada sahutan. Selang lima panggilan, nomor itu sudah tidak aktif lagi.Meskipun saat ini Eric sangat gelisah, ia tidak kehilangan akal. Eric bergegas mengerahkan anak buah untuk melacak nomor yang digunakan Yuna. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, salah satu anak buahnya berhasil menemukan lokasi terakhir dari nomor itu."Di mana dia sekarang?""Di Kota Sukamaya, Tuan. Waktu menghubungi Anda tadi, posisinya tidak jauh dari Istana Volker."'Dia sedekat itu dengan Kak Billy, tapi kenapa Kak Billy nggak memberitahu?'"Kirim orang ke sana sekarang juga dan cari di mana tempat tinggal, kegiatannya, dan apa pun semua yang dia lakukan!""Baik, Tuan." Pria itu menunduk hormat lalu bergegas pergi menjalankan perintah Eric.Setelah itu, Eric menelepon Billy untuk menanyakan Yuna. Sebab, Billy berjanji jika ia akan mencari keberadaan Yuna. Seharusnya, Billy sudah mengerahkan anak buahnya
"Sepertinya, Tuan Billy tahu kalau dibuntuti, Tuan. Dari tadi hanya berputar-putar tidak jelas.""Tch, ke hotel dulu. Aku lelah sekali." Eric memijat-mijat keningnya.Sampai di hotel pun Eric tidak bisa memejamkan mata. Padahal, matanya sudah kemerahan dan kepalanya berdenyut-denyut. Ia akhirnya beranjak dari tempatnya karena tidak tahan menunggu kabar anak buahnya.Eric berkeliling di lingkungan tempat sinyal Yuna ditemukan. Sepanjang jalan, Eric hanya merenungkan apa yang ingin ia sampaikan ketika bertemu dengan Yuna lagi. Yang jelas, Eric ingin minta maaf dan menceritakan semuanya sendiri. Meskipun Yuna sudah tahu.Langkah Eric semakin berat. Tidak terasa ia telah berjalan selama berjam-jam. Ia pun duduk di muka toko tutup.Orang-orang berlalu lalang di depannya. Eric lantas teringat peristiwa malam itu, ketika Emilia menyuruh Yuna pulang jalan kaki sampai di kediaman Volker. Andai saja informannya tidak memberi tahu, Eric pasti tetap mengira Yuna sengaja
"Selamat ulang tahun, Yuna," bisik Darwis."Terima kasih, Mas. Mana kadonya?" Yuna mendorong mundur Darwis yang masih betah memeluknya."Mau kado apa? Mobil? Rumah? Jalan-jalan ke luar negeri? Atau ... kencan denganku?"Yuna mencubit perut Darwis sambil mengikik geli. "Apaan, sih, Mas! Yang biasa-biasa aja lah ... Aku nggak mau kado yang mahal-mahal."Darwis mengusap-usap puncak kepala Yuna. Mulutnya terbuka akan mengucap sesuatu. Tetapi, seberkas cahaya terang dari mobil menyinari mereka berdua."Siapa itu, Mas?" Yuna memejamkan mata."Nggak tahu." Darwis mengangkat tangan di depan wajah untuk menghalangi silau cahaya itu.Sesaat kemudian, mobil itu berlalu pergi. Pria yang duduk di kursi belakang dalam mobil masih menatap Yuna dari kaca spion. Hingga mobil yang dinaikinya menikung dan sosok yang telah lama dicari dan dirindukannya tidak lagi terlihat."Ternyata, begini akhirnya." Eric menghela napas. "Aku terlambat.""Mau langsung ke hotel, Tuan?""Ya." Eric menjeda selama beberapa
Darwis bersiul-siul di depan cermin sambil menyisir rambutnya. Disemprot pula cairan wangi-wangian banyak-banyak. Diakhiri dengan mengambil salah satu dari deretan panjang jam tangan mewah di lemari kaca.Sebelum meninggalkan kamar luas itu, ia mengedipkan sebelah mata ke pantulan dirinya sendiri di cermin. Suasana hatinya hari ini tampak sangat bagus. Sebab, rencananya akan segera berakhir."Halo, Yuna, sudah siap-siap?" tanya Darwis melalui telepon."Udah, Mas. Aku tunggu dari tadi kenapa lama sekali?""Ini baru di perjalanan. Lima menit lagi sampai. Sabar ya, cinta ..."Yuna menutup telepon tanpa menjawab."Ckckck, lagi-lagi ditolak. Kurang apa aku? Tampan dan kaya, baik hati pula." Bukannya marah, Darwis justru tertawa.Sesuai ucapannya, Darwis sampai di rumah Yuna lima menit kemudian. Ia tidak perlu lagi repot-repot membukakan pintu untuk Yuna seperti biasa. Yuna yang baru saja duduk di sampingnya, menatap sedikit keheranan."Wangi sekali, Mas. N
"Tuan, Nona Yuna ada di ..."Eric menghentikan ucapan bawahannya dengan lambaian tangan. Saat ini, ia tengah menyesap alkohol di sebuah bar. Seorang wanita mendatangi Eric lalu duduk di sebelahnya. "Tuan, apa Tuan butuh teman malam ini?""Sudah berapa kali kamu menyentuh lelaki?" tanya Eric.Wanita itu jelas tersinggung oleh ucapannya. Semua orang tahu dia kupu-kupu malam. Namun, dia tidak suka dengan tatapan menghina pria yang sedang digodanya."Kenapa? Apa kamu marah dengan pertanyaanku?" Eric memicingkan mata."Nggak, Tuan." Wanita itu kembali tersenyum menggoda."Kenapa nggak jawab pertanyaanku? Berapa kali kamu tidur dengan lelaki?""Itu ..." Wanita itu bingung menjawab, ia pun tidak bisa menghitungnya."Pergi," ketus Eric."Tuan," Bawahan Eric masih berdiri menunggu untuk bicara. Wajahnya tampak khawatir."Tch, mengganggu sekali. Mau bilang apa?""Nona Yuna dibawa pergi ke villa oleh pria itu, Tuan."Eric tertegun sesaat, kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Sudah sejauh itu te
"Diam!" Eric mendorong tubuh Darwis yang masih terkekeh-kekeh geli.Darwis seketika menatap Eric dengan sangat serius. "Kamu berani membentak dan mendorongku sekarang?""Saat ini aku sedang menahan kesabaran!""Lepaskan saja kesabaranmu. Tunggu apa lagi?" cibir Darwis, "Cepat pukul aku. Sini pukul."Darwis maju mendekati Eric seraya menyodorkan pipinya. Sementara Eric hanya mengepalkan tangan dengan gemetaran. Kalau pria di depannya orang lain, ia mungkin akan menghajarnya sampai babak belur. Tapi, pria di depannya adalah sosok yang sangat dihargainya selama ini. Mana mungkin ia bisa melayangkan tinjunya?"Kenapa diam saja? Cepat pukul!" Darwis mengambil kepalan tangan Eric dan memukulkan di wajahnya sendiri."M-mas ... udah cukup, Mas."Bayangan Eric menghajar Aldo malam itu kembali terngiang dalam benak Yuna. Kakinya serasa lumpuh sampai ia jatuh terduduk. Untungnya, ada sofa di belakangnya."Ya sudah kalau nggak mau memukulku. Aku pergi saja." Darwis kembali terkekeh-kekeh."Mas D
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k