***Maira tak menghiraukan pandangan Feni yang dari tadi meliriknya. Ia lebih mengkhawatirkan pandangan Nayla yang tak ada dibalik mobil."Pulanglah! Kasihan Nayla sudah menunggu," jawab Maira lirih tapi penuh penekanan membuat Zian kecewa karena jawaban gadis itu tak nyambung dari pertanyaannya. Zian melengos sambil mengusap dadanya. Kecewa? Sudah pasti! Mengapa gadis disampingnya ini selalu menutup diri darinya. Sabar, Zi!Namun saat dirinya ingat aksi nekatnya di mall tadi, seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya.Ia tak mau putus asa. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Zian menguatkan tekadnya. Keinginan yang lama ia pendam, bisa dekat dengan Annisa Humaira, mahasiswi pekerja keras yang dari awal melihatnya langsung mencuri hatinya. Satu-satunya gadis acuh dan tak mengindahkan keberadaannya. Jika sampai dirinya melanjutkan studinya ke Amerika dan ia belum juga bisa mengungkapkan cintanya pada Maira ia akan sangat menyesal. 'Aku harus segera mengungkapkan cintaku!'"Aku tunggu
***Mata Maira merah menahan amarah. Hidungnya kembang kempis dengan deru napas yang naik turun. Namun ia hanya mampu diam dan menunduk. Ia tak mau mengotori mulutnya dengan kata-kata kasar pada pria angkuh dan galak itu. Andai ia bukan kakaknya Feni ia pilih berlari pulang.Hati Maira yang baru saja tertawa melihat tingkah adiknya kini harus tersulut emosi lagi karena abangnya.'Mulut pedasnya itu! Ah! Tapi apa salahnya? Dia mengatakan hal yang benar kan? Memang aku ini hanya penjual cilok. Sabar, Mai! Kenapa harus tersinggung coba?' Dalam kepalanya yang masih menunduk, Maira mencoba menjerang senyumnya meski sulit untuk menguatkan hatinya."Mas Radit gak boleh gitu! Meskipun ia penjual cilok, tapi cantik kan?" ujar Feni untuk mencairkan ketegangan yang semakin menguar.Glek!Raditya menelan salivanya. Memang tidak salah yang dikatakan adiknya. Memang dari tadi pagi ia sudah terpesona pada gadis penjual cilok ini. Ah! Takdir yang manis! Ia bahkan lebih manis dari Aina-mantan istrinya
***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k
***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang
"Jangan, Om! Tolong lepaskan saya!" rintih Maira dengan lengan menahan sakit karena dari tadi pria yang lebih matang dari gadis SMA itu menggenggam tangannya begitu kencang."Tak apa, Humaira! Om akan melakukannya secara halus dan pelan-pelan. Tenang saja, ya." Maira menggeleng cepat dengan tatapan mata yang minta dikasihani."Tidak! jangan, Om! Aku mohon!" Suara Maira bergetar.Tes!Buliran bening lolos dengan begitu derasnya dari pelupuk mata Maira dalam gelapnya ruangan itu membuat dadanya sesak. Gadis yang baru kemarin menerima ijazah SMA-nya itu sangat takut pada pria yang biasanya menjadi tamu Ibunya.Pria itu menggandeng Maira dengan paksa ke kamar sewa yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Maira pun semakin kaget dan takut saat pria yang tak ia ketahui namanya itu tiba-tiba mematikan lampu karena geram melihat gadis remaja itu memohon."Tidak akan ada kesempatan lepas pagi ini, Humaira! Aku sudah menunggu lama untuk saat ini!" geramnya sambil melepas kancing seragam Maira."Ti
*** (Assalamualaikum, Mai!) sapa ibu Maira di seberang. "Ibu! Tolong Maira! Om tamu Ibu membawa aku ke kamar sewa." Dengan suara lirih yang bergetar Maira sangat berharap Ibunya datang menyelamatkan kesuciannya yang selama ini ia jaga. (Iya, Mai! Ibu akan segera ke sana!) Ibu Maira langsung menutup sambungan ponselnya. "Ibu ...," panggil Maira di sela-sela Isak tangisnya. Di luar, Om itu masih saja mengoceh yang entah bicara apa, Maira sudah tak peduli pada ucapan dan tangan atau badan pria menjij*kkan itu, yang tak berhenti berulah pada pintu. Maira begitu muak saat ingat lelaki yang ia benci dalam diamnya itu melecehkan dirinya. Saat ia membawa Ibunya pergi saja rasanya sudah muak dan ingin menggampar apalagi saat ini dirinya langsung yang kena sentuhan tangan dan bibir yang tak punya ad*b itu. 'Oh, Tuhan! Apa salahku yang tak punya Ayah ini? Aku hanya mengandalkan tangan seorang Ibu. Disaat gadis seusiaku datang ke sekolah diantar oleh Ayahnya, aku merasa iri. Kepala ini tak
***Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."Tes!Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om A
*** "Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni. Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit. 'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu. "Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri. "Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak. 'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri .
***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang
***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k
***Mata Maira merah menahan amarah. Hidungnya kembang kempis dengan deru napas yang naik turun. Namun ia hanya mampu diam dan menunduk. Ia tak mau mengotori mulutnya dengan kata-kata kasar pada pria angkuh dan galak itu. Andai ia bukan kakaknya Feni ia pilih berlari pulang.Hati Maira yang baru saja tertawa melihat tingkah adiknya kini harus tersulut emosi lagi karena abangnya.'Mulut pedasnya itu! Ah! Tapi apa salahnya? Dia mengatakan hal yang benar kan? Memang aku ini hanya penjual cilok. Sabar, Mai! Kenapa harus tersinggung coba?' Dalam kepalanya yang masih menunduk, Maira mencoba menjerang senyumnya meski sulit untuk menguatkan hatinya."Mas Radit gak boleh gitu! Meskipun ia penjual cilok, tapi cantik kan?" ujar Feni untuk mencairkan ketegangan yang semakin menguar.Glek!Raditya menelan salivanya. Memang tidak salah yang dikatakan adiknya. Memang dari tadi pagi ia sudah terpesona pada gadis penjual cilok ini. Ah! Takdir yang manis! Ia bahkan lebih manis dari Aina-mantan istrinya
***Maira tak menghiraukan pandangan Feni yang dari tadi meliriknya. Ia lebih mengkhawatirkan pandangan Nayla yang tak ada dibalik mobil."Pulanglah! Kasihan Nayla sudah menunggu," jawab Maira lirih tapi penuh penekanan membuat Zian kecewa karena jawaban gadis itu tak nyambung dari pertanyaannya. Zian melengos sambil mengusap dadanya. Kecewa? Sudah pasti! Mengapa gadis disampingnya ini selalu menutup diri darinya. Sabar, Zi!Namun saat dirinya ingat aksi nekatnya di mall tadi, seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya.Ia tak mau putus asa. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Zian menguatkan tekadnya. Keinginan yang lama ia pendam, bisa dekat dengan Annisa Humaira, mahasiswi pekerja keras yang dari awal melihatnya langsung mencuri hatinya. Satu-satunya gadis acuh dan tak mengindahkan keberadaannya. Jika sampai dirinya melanjutkan studinya ke Amerika dan ia belum juga bisa mengungkapkan cintanya pada Maira ia akan sangat menyesal. 'Aku harus segera mengungkapkan cintaku!'"Aku tunggu
***~Kediaman Hanni~"Ayo, Mas! Buruan telpon adikmu!" titah Hanni pada Raditya yang baru selesai mandi."Iya-iya, Ibukku tersayang ..." Raditya meraih ponselnya disamping MacBook-nya. Baru menyalakan layar ponselnya, sudah berdering duluan.Raditya melirik Ibunya sembari tersenyum. "Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nih, bocah telpon!" Raditya menggeser gagang telpon warna hijau dan wajahnya berubah menjadi serius dan sedikit menegang. Hanni jadi ikut cemas."Share lok! Mas akan jemput kamu!" Tak berapa lama ia memutus panggilannya."Motornya mogok, Buk! Aku akan jemput dia!" Hanni mengangguk cepat dan menoleh kearah Aira yang kini bermain dengan ART-nya."He'em, buruan jemput, Mas! Kasihan adekmu. Mana mendung gelap begini.""Siap, Bu komandan!" Hanni sedikit tersenyum mendengar kekonyolan Raditya. Sudah punya anak juga masih saja bisa menggoda Ibunya.Raditya menaruh ponselnya kesakunya setelah mendapat pesan Wh*tsApp lokasi keberadaan Feni dan temannya.'Mana tega aku biarin Feni susah
*** Maira kembali gusar saat merasakan deru napas yang naik turun teratur menyapu sela-sela rambutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Hatinya berkecamuk berbagai rasa. Darahnya mengalir dengan begitu derasnya. Ingin marah tapi kenapa tak bisa? Ingin menangis tapi kenapa tak lagi meneteskan air mata? Zian memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan tangannya dikepala Maira. Aroma shampo dirambut mahasiswi jurusan hukum yang lama dicintainya dalam diam itu menguar dan masuk dalam indra penciumannya. Menenangkan pikirannya. Namun tidak dengan degup jantungnya yang seperti genderang ditabuh sangat cepat membuat darahnya memanas dan mengalir deras. Berbagai rasa membuncah didadanya. 'Ya Tuhan, kenapa dia tak melepasku?' batin Maira mulai was-was lagi. Dalam perasaannya yang semakin membuncah, Zian sadar tak boleh melewati batasan. Ia ingin menjaga gadis yang dicintainya itu tanpa merusaknya. Ia membuka matanya dan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Maira dengan tatapan yang dalam, d
***Maira ingin menyentak tangan Zian yang masih menggandeng jemarinya dan ingin berteriak minta tolong. Namun ia masih memikirkan nasib Zian kalau sampai dia dikeroyok massa. Maka namanya juga kampus mereka akan tercoreng.Zian menatap Maira yang tak henti-hentinya menitikkan air mata. 'Apakah dia ketakutan padaku?''Ya Tuhanku! Tolong lindungi aku!' batin Maira tiada berhenti berharap agar mahasiswa ekonomi itu melepaskannya tanpa harus ia berteriak minta tolong.Maira tersentak kaget karena tangan kekar Zian menghapus air bening yang menetes ke pipinya. Maira memejamkan mata, tubuhnya gemetar ketakutan. Keringat dingin mengucur dari setiap pori-porinya. Terlintas kembali dalam benaknya kejadian beberapa tahun silam saat ia dilecehkan oleh Om Bram. Rahang kecilnya mengeras. Semua pria memang brengsek! Hatinya menjerit memanggil nama Ibunya. Lidahnya terasa kaku dan kelu."Maaf, aku membuat kamu ketakutan," desis Zian saat melihat Maira yang begitu ketakutan. Tangan yang tadi menghap
***"Tahu! Hati Mas emang bahannya kayaknya beda sama kebanyakan hati manusia pada umumnya deh!" Raditya mencebik merutuki adiknya dalam hati."Terima aja lah Mbak-Mbak temennya mas Dandi keburu bangkotan itu punya Mas. Lagian mereka gak kalah cantik sama Mbak Aina kok," ledek Feni sambil berlari ke kamarnya lagi sebelum Mas-nya itu mengamuknya. Bisa gawat kalau macan tidur Masnya itu bangun."Sialan tuh mulut! Dikuliahin malah ngehina Mas-nya," teriak Raditya tanpa mau mengejar Feni."Kenapa harus temennya mas Dandi jika ada penjual cilok yang mandiri dan menggemaskan? Huft! Sepertinya aku gak bisa berhenti memikirkan gadis cilok tadi." Sesimpul senyum terbit menghiasi wajah Raditya. "Maira ..." Raditya menyugar rambutnya kebelakang. Hatinya berdesir saat mulutnya menyebut nama Maira."Papa ... Aiya mau maem!" Aira menarik lengan Raditya meminta makan."Oke, Sayang!" Tangan Raditya mengusap-usap kepala Aira dengan bibir tersenyum, ia ingat tadi pagi Maira juga mengelus-elus kepala A
***"Kakinya berdarah," jawab Zian lalu berbalik pergi. Maira yang dari tadi mengintip dari jendela membuka kamar dan hendak mencuci kakinya di kran yang tak jauh dari kamarnya supaya tak ada kuman dan cepat kering lukanya.Betapa kagetnya Maira saat mendapati Zian duduk di kursi kecil yang biasa Maira duduki saat membuat dagangan. "Z-zi-ann??" "Duduklah, Mai. Aku akan mengobati lukamu." Zian mengangkat tubuhnya dan memberikan tempat yang barusan didudukinya."Saya sudah gak apa-apa, kok." Maira menolak halus demi mendapati Nayla yang sudah berdiri didepan Maira dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada dengan pandangan tak suka."Nanti kalau gak segera diobati akan infeksi," cetus Zian."Iyakah? Gak semengerikan itu lah, Sayang. Toh hanya luka lecet doang," cicit Nayla."Iya, besok juga kering kok, Zian. Pergilah dan teruskan apel kamu." Maira hendak masuk ke kamar tapi Zian berdiri didepannya."Annisa Humaira! Kapan sih kamu peduli pada dirimu sendiri? Kalau kamu acuh pada diri