Alena berdiri di depan cermin besar yang ada di kamar hotel Alvino. Ya. Setelah kejadian menyebalkan beberapa saat yang lalu, Alvino menariknya ke dalam kamar sebelah untuk bertukar tempat. Alena diminta tidur di kamar yang dia sewa, sedangkan Alvino sekamar dengan Sanjaya. "Arrrgh, Vino rese!" raungnya lagi. Jari Alena masih sibuk menyentuh satu persatu tanda merah yang dibuat Alvino di sekitar lehernya. Rasa gelenyar yang ditinggalkan pria dingin tersebut juga masih bertalu-talu di dalam dadanya. Ah, benarkah Alvino masih pria yang dingin itu? Setelah beberapa saat yang lalu sukses membuat panas seluruh saraf tubuh Alena. Alena jadi meragukan Alvino masih seperti Alvino yang dulu. Apalagi mengingat sebrutal apa saat Alvino mencumbunya tadi.Alena kembali memijat dahinya dan berjalan mundur hingga terduduk di tepi ranjang. Alena masih tidak percaya dengan apa yang baru saja Alvino lakukan padanya. Lebih tidak percaya lagi pada dirinya sendiri yang justru tidak menolak keberadaan A
Alena terjaga saat tangannya terasa kebas. Salah, bukan hanya kebas, tapi juga terasa basah. Alena membuka matanya yang terasa agak berat karena sebenarnya masih mengantuk. Dan pertama kali yang dilihatnya saat membuka mata adalah wajah Alvino yang tertidur berbantalkan telapak tangannya yang berada di dalam genggaman pria tersebut. Dahi Alena mengernyit. Dia tidak berani bergerak karena takut Alvino terbangun. Meski rasa kebas dan kesemutan sudah menjalar hingga bahu di kedua tangannya. 'Dia ngapain tidur di sini? Pakai bantalan tangan aku pula. Dan lagi sejak kapan juga dia ke sininya?' Alena melirik jam tangan yang dipakai Alvino. Dia teringat jam tangan itu adalah jam tangan yang pernah diberikan Alena sepuluh tahun yang lalu saat Alvino ulang tahun. Sedikit terkejut karena tidak menyangka Alvino masih memakainya. Apalagi saat itu Alvino terlihat cuek saja, seakan tidak menghargai pemberian darinya. Siapa sangka jika Alvino justru memakainya hingga sekarang. 'Kamu gak semiskin
"Papa kok dari kemarin sore gak telpon rumah sama sekali? Gak biasa-biasanya deh. Mana tadi pagi juga gak langsung angkat telepon dari aku." "Maaf ya, Ma. Kemarin habis makan malam, aku ketiduran sampai bangun kesiangan. Gak tau juga tumben nyenyak banget aku tidurnya, Ma. Maaf banget ya." 'Gimana gak nyenyak, orang kamu dikasih obat tidur sama Alena. Ah, pasti sekarang kamu justru berpikir nyenyaknya tidur semalam karena habis dilayani daun muda seperti Alena. Dasar suami gak ada akhlak!'Zahera kembali memainkan peran seakan tidak tahu apa yang sedang dilakukan suaminya di pulau seberang. Dia sudah meneror suaminya dengan spam call sejak pagi. Dan baru sekarang suaminya menelpon balik. Zahera melihat suaminya sedang berada di dalam mobil. Dia yakin Sanjaya sengaja menelponnya saat sudah keluar dari kamar hotel supaya Zahera tidak curiga karena mereka pasti akan melakukan panggilan video. "Kok diam aja, Ma? Jangan marah dong, Ma. Kan aku gak sengaja. Kalau aku gak ketiduran, aku
"Maaf." Sanjaya menggenggam tangan kanan Alena yang berada di atas pahanya. Mereka masih berada di dalam mobil setelah Sanjaya meminta ijin untuk menghubungi istrinya. Alena terpaksa harus mendengarkan obrolan Sanjaya dengan Zahera di telepon, dengan menahan mual karena kebohongan yang dibuat Sanjaya. Baru kali ini Alena merasa sangat jijik dengan perbuatan Sanjaya. Stigma tukang selingkuh yang sempat diragukannya sekarang terlihat dengan sangat jelas.Sanjaya menatap lekat-lekat pada Alena seperti menunggu gadis itu memberikan tanggapan atas permintaan maafnya barusan."Aku merasa bersalah, Mas. Aku sebenarnya gak mau jadi pelakor. Aku gak mau rusak kebahagiaan rumah tangga Mas Jaya. Tapi semalam kita justru…" Alena tidak melanjutkan kalimatnya. Membiarkan Sanjaya berasumsi sendiri dengan kalimat lanjutannya. 'Padahal semalam aku gak ngapa-ngapain sama dia. Justru aku yang diapa-apain sama si Vino,' lanjutnya dalam hati. "Kamu gak salah, Baby. Aku yang salah. Aku akan pikirkan
"Aku udah enakan, Ma. Gak usah dibawa ke sini makan malamnya. Biar aku ikut makan malam di meja makan sama mama dan Abi." "Jangan dipaksain, Za. Kalau cuma pengen makan sama mama dan Abi, kita bisa kok bawa semua makanannya ke sini. Jadi kita sama-sama makan di kamar kamu aja." Zahera tertawa dengan paksaan ibu mertuanya. Bahkan sampai membuat ide dengan kerelaan makan bersama di kamar, hanya demi Zahera tetap istirahat di sana. Padahal biasanya, Mama Anita paling anti kalau ada yang makan di dalam kamar kecuali memang sedang sangat sakit. "Tapi aku sungguh sudah sehat, Ma. Nih, suhu tubuh aku sudah normal. Tadi dicek tekanan darahnya sama mama juga udah naik kan? Gak ngedrop lagi. Aku capek lho, Ma. Rebahan dari pagi. Pengen lenturin otot-otot juga." "Huh, kamu tuh selalu aja keras kepala. Susah banget dibilanginnya," keluh Mama Anita yang kemudian menurut dan membantu Zahera berjalan menuju ruang makan. "Perempuan kan gak boleh sakit lama-lama, Ma." "Kamu lagi nyindir mama ya?
Dering ponsel Zahera berbunyi saat dirinya tengah kelepasan menangis di meja makan setelah membahas kemenangan atas taruhannya dengan Mama Anita. Abimanyu yang berada di sebelah mamanya dan melihat siapa yang menghubungi ponsel Zahera, lekas menekan tombol hijau untuk menerimanya. "Pa, mama lagi angis," adu Abimanyu begitu mengangkat telepon.Abimanyu memang sudah fasih mengadukan apapun pada papanya. Terlebih sesuatu yang berhubungan dengan Zahera. Abimanyu akan memastikan papanya bisa berbuat sesuatu untuk sang mama. "Apa? Mama nangis kenapa, Bi?" Sanjaya segera mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Zahera menghapus jejak air matanya dengan cepat. Dia tidak mau Sanjaya melihatnya sedang menangis. Meski suaminya itu tidak akan tahu penyebab mengalirnya air mata Zahera. "Kamu sih, istri sakit malah cuek aja," sentak Mama Anita ikut menimpali meski wajahnya tidak terekam di layar ponsel."Aku baru sempat pegang ponsel, Ma. Ini aja aku baru masuk mobil mau pulang ke kont
"Dia lagi…" Alena terperanjat melihat siapa yang berkunjung di rumah kontrakan Sanjaya. Karena merasa bukan tempat tinggalnya sendiri, Alena menjadi was-was untuk membukakan pintu saat ada yang berkunjung. Tapi setelah mendengar ketukan pintu tidak lekas berhenti, akhirnya Alena memutuskan untuk mengintipnya terlebih dahulu sebelum memutuskan membuka pintu atau tidaknya. Dan lagi-lagi Alena harus terkejut karena menemukan Alvino yang berdiri di depan pintu kontrakan Sanjaya, dengan tangan yang tidak berhenti mengetuk daun pintunya. "Ck! Mau apa lagi sih orang itu!"Alena sedikit menghentakkan kakinya saat berjalan mendekati arah pintu. Rasa kesal dan tidak percaya bercampur di otaknya. Kemudian membuka pintu lebar-lebar yang disambut senyum Alvino yang terlihat menyebalkan di matanya. "Ayo, makan malam," ajaknya membuat Alena memicingkan mata. "Apaan sih, dateng-dateng ngajakin makan." "Ya daripada dateng-dateng diajak ribut. Kan enakan makan bareng daripada ribut terus. Udah j
Alena tidak bisa menyembunyikan kegugupannya saat Alvino mengatakan jika mereka saat ini makan malam dalam rangka berkencan. 'Bisa-bisanya dia bilang kencan tapi mukanya datar gitu. Sial! Mana aku jadi baper gini,' sesal Alena dalam hatinya. Rasa senang sesaatnya kalah dengan rasa kesal karena merasa dipermainkan Alvino. Dia merasa Alvino sedang mengolok-oloknya dengan mengatakan mereka sedang berkencan, tapi Alvino tidak melakukannya dengan sungguhan. Wajahnya terlalu datar untuk menunjukkan jika mereka memang sedang berkencan. "Kok diem aja?" tegur Alvino kemudian. "Udah laper, nunggu makanan datang aja." Alena beralasan. "Kan sudah diganjal susu almond. Emang masih kurang?" "Ya kurang lah," jawab Alena dengan cepat. Alvino mengedarkan pandangannya. Dia tahu pesanan mereka masih lama karena warung tenda tersebut cukup ramai. Terlebih mereka pesan banyak makanan dan proses masaknya pasti tidak sebentar. "Ada tukang cilok. Kamu mau gak?" Alena mengangguk dengan antusias. Memb
'Ini maksudnya apa?' batin Zahera. Pertanyaan tersirat dari Evander Lim kepada Zahera tentu saja membuatnya sangat syok. Apalagi dengan tatapan dalam dari ketiga putra yang dimaksudkan oleh pria paruh baya tersebut. Zahera hanya bisa menoleh ke kanan kiri menyembunyikan kebingungannya. Sedangkan Abimanyu dan Alvino yang diam saja justru terlihat lebih tenang dan tidak sebingung Zahera saat ini. Pertama kalinya Liam tahu jika Zahera adalah kakaknya Alvino, dia sempat terkejut juga. Tapi itu tidak membuatnya mundur untuk mendekati Zahera dan anaknya. Tiga bulan ke belakang Alvino maupun Abimanyu sudah menjadi saksi bagaimana Leon, Lim dan Liam sama-sama berusaha mendekati Zahera dengan berbagai cara. Zahera memang terlihat menanggapi ketiganya dengan sama baiknya. Sayangnya tidak lantas membuat Zahera berpikir terlalu jauh tentang tujuan dari pendekatan ketiganya. "Za, ketiga putra Tante suka sama kamu sudah dari lama. Kamu gak sadar ya?" ujar Liana dengan nada menggoda. Zahera ha
Sejak pulang dari pengadilan agama, Sanjaya tidak banyak bicara meskipun Alea dan Mama Anita terus mengajaknya berbicara. Sanjaya masih syok dengan apa yang didengarnya dari Alena. Dia baru sadar jika selama ini Alena tidak benar-benar tertarik dan ada rasa dengannya. Dan Sanjaya dibuat sangat sakit hati. 'Padahal aku sungguh sayang sama dia,' batin Sanjaya masih tidak menerima takdirnya. Sanjaya sama sekali tidak menyangka jika Alena bersandiwara hanya untuk membantu Zahera memiskinkan dirinya. Benar-benar miskin karena semua aset yang dimilikinya dulu, kini sudah beralih nama menjadi milik Zahera, Abimanyu dan juga Alena. Satu-satunya yang masih dimiliki Sanjaya hanyalah pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan yang sudah beralih nama menjadi milik Zahera dan nantinya akan diwariskan kepada putra semata wayang mereka. 'Aku tidak masalah jika harus memberikan hartaku untuk mereka karena aku memang menyayanginya. Tapi kenapa harus ditinggalkan oleh mereka semua?' Sanjaya sudah bera
"Langsung ke rumah saja, Liam. Kita bicara di rumah!" perintah Evander Lim pada putra bungsunya setelah mengetahui sesuatu yang lain dari Liana — istrinya. Awalnya Evander Lim hanya tengah memberitahu kepada istrinya mengenai kedua putranya yang menyukai wanita yang sama. Tapi begitu tahu siapa wanita yang dimaksud, Liana semakin heboh karena jelas dia juga mengenal Zahera, bahkan sempat ingin menjodohkannya kepada Leon dan tanggapan Leon juga cukup positif. Evander Lim dan Liana tidak pernah menyembunyikan masalah sekecil apapun. Mereka lebih suka saling terbuka dan menyelesaikan semua permasalahan bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Ini kenapa ketiga putraku malah kecantol satu janda yang sama?" gumam Evander Lim sambil menepuk dahinya. Kemudian dia keluar dari dalam ruangan kerja putranya untuk pulang karena pertemuan dan diskusi tentu berubah haluan ke rumah yang juga dihadirkan putra lainnya dan juga sang istri. Evander Lim dan Liam sampai hampir bersamaan. Sebenarnya Li
"Papa?" Belum sempat Zahera bertanya maksud dari Evander Lim mengatakan putranya yang lain itu siapa, suara sahutan dari belakangnya seakan menjawab kebingungannya dengan kebingungan yang lain. 'Papa? Mas Liam panggil Paman Lim dengan sebutan papa? Maksudnya, Mas Liam dan Dokter Lui itu saudaraan?' batin Zahera menatap bergantian antara Liam dan Evander Lim seakan tidak percaya dengan apa yang didengar. Padahal jika Zahera jeli dan memperhatikan detail garis wajah Evander Lim dengan Liam maupun Lui sama-sama memiliki garis wajah yang cukup mirip. Sama-sama berwajah oriental utamanya keturunan dari Negeri Gingseng. Liam menyampirkan blazer milik Zahera tanpa peduli papanya sudah menatap curiga pada mereka. Liam akan pura-pura tidak tahu jika kedua orang di depannya sudah saling kenal. Zahera sendiri sempat tersentak dengan perlakuan manis Liam meski sudah beberapa kali mendapatkannya sejak mereka kenal. Tapi disaksikan oleh Paman Lim seperti ini tentu saja membuat Zahera merasa ca
Jika di luar, Liam dan Zahera sedang bersenang-senang menikmati wahana flyboard, maka Robin di perusahaan menjadi tumbal untuk mengerjakan pekerjaan yang menggunung. Pertemuan dengan klien hari ini jelas harus dibatalkan semuanya. Karena Robin yang bekerja sendirian tidak mungkin meninggalkan perusahaan untuk sebuah pertemuan. "Ah sialan! Punya bos gak ada akhlak memang. Ini maksudnya aku dilatih buat jadi CEO apa gimana?" Robin tidak berhenti mengumpat sejak membaca pesan dari Liam jika dirinya dengan Zahera tidak akan ke kantor hari ini. Meskipun Liam menjanjikan libur untuk besok kepada Robin, tapi tetap saja bekerja sendirian untuk pekerjaan tiga orang sungguh sesuatu sekali. Meskipun begitu, sebenarnya Robin tidak sungguh-sungguh membenci sepupunya. Dia hanya merasa kesal karena dikerjain oleh Liam dan Zahera. Ya walaupun Robin sangat yakin jika biang keroknya tetap saja Liam. Zahera tidak mungkin dengan sengaja meninggalkan pekerjaan jika bukan karena terpaksa. Di tengah ke
"Mabal yuk?" "Mabal?" Zahera sempat loading saat Liam tiba-tiba mengajaknya mabal. Paham jika Zahera tidak mengerti bahasa gaul yang sedang dikatakannya, Liam pun segera menjelaskan jika dirinya ingin mengajak Zahera bolos kerja hari ini. Zahera sampai tertawa mendengarnya. Baru ini dia melihat seorang bos mengajak karyawannya untuk sengaja membolos dari pekerjaannya. Dia mengira Liam hanya bercanda, tapi nyatanya Liam bersungguh-sungguh saat kembali mengatakannya. "Bukanlah hari ini cukup berat? Aku bisa ajak kamu ke suatu tempat yang bagus, yang bisa bikin kamu teriak-teriak memacu adrenalin dan yang jelas happy setelah pulang dari sana. Mau?" Zahera menoleh dalam diam. Menatap lekat pada Liam yang dari wajah hingga tatapan matanya tidak ada gurauan dengan ajakannya. Semua diucapkan dengan nada serius juga ekspresi yang diperlihatkan. Zahera bingung menjawabnya. Meskipun sebenarnya Zahera bukan tipe yang suka mangkir dari tanggung jawab, tapi saat ini sejujurnya dia memang but
Sanjaya tidak mengindahkan peringatan dari Alena. Dia tetap berjalan maju dan membuat Alena melakukan hal sebaliknya. Sanjaya bahkan berani memojokkan Alena, karena merasa diabaikan setelah tahu Alena sudah berada di Jakarta. "Apa maksudnya kamu bicara begitu, Lena?" hardik Sanjaya.Untuk pertama kalinya Alena melihat Sanjaya yang bersikap kasar padanya. Alena menyembunyikan rasa takut dengan memperlihatkan galeri ponselnya yang berisi video dewasa yang pernah dikirim Alea padanya. Tindakannya itu cukup membuat Sanjaya mengalihkan pandangan dengan memberikan tatapan nyalang pada Alea. Sanjaya sangat marah dengan kelancangan Alea yang sudah membuat Alena menjauhinya. Padahal tanpa video itu pun sebenarnya Alena pasti menjauhinya karena misinya selama ini sudah selesai. Tapi kini Alena punya pengalihan amarah Sanjaya dengan memfokuskan Sanjaya pada Alea. "Ini gak seperti yang kamu pikir, Alena. Alea menjebakku dengan memberikan obat ke minumanku saat itu. Kamu harus percaya sama aku
Sidang putusan perceraian Zahera dan Sanjaya sudah selesai dibacakan. Mulai hari ini, sepasang suami istri yang sudah menikah sekitar sepuluh tahun lamanya itu akhirnya kembali menjadi orang asing seperti sebelumnya. Alena mendadak mendapatkan panggilan alam dan ijin ke toilet terlebih dahulu kepada Alvino. Alena menjadi orang pertama yang keluar dari ruang sidang. Sempat terkejut saat mendapati Liam ada di luar duduk seakan sedang menunggu seseorang. "Alena?" "Liam?" "Bukannya di dalam sedang ada sidang perceraian-" Liam memotong ucapannya dan tidak melanjutkan. Alena seakan paham dengan tatapan curiga dari Liam. Segera menjelaskan meski tidak sepenuhnya diterangkan sejelas-jelasnya."Aku temannya Mbak Zahera yang baru selesai sidang barusan," ujar Alena. "Eh, aku ke toilet dulu ya, udah di ujung soalnya," sambungnya tidak ingin dicecar pertanyaan lebih banyak lagi dari ini. Liam mengangguk mempersilakan. Alena terburu-buru bukan hanya karena sudah tidak tahan untuk membuang ha
"Za, kamu sudah siap?" Zio bertanya dengan memandang Zahera sangat dalam. Zahera yang masih berada di antara alam pikiran dan kenyataan hanya terdiam. Indera pendengarannya merekam pertanyaan dari sang pengacara dengan jelas. Tapi proses menyampaikan hingga ke dalam otaknya begitu lambat. "Za, hakimnya sudah siap," tegur Zio lagi membuat Zahera menarik diri ke alam nyata. "Iya, Mas. Aku juga sudah siap," ujar Zahera akhirnya bisa mengulas senyum tipis. "Tuhan tahu mana yang baik buat kita semua, Kak," ujar Alvino mengelus ringan bahu Zahera yang berbalut blazer berwarna hijau tosca. "Semua akan baik-baik saja, Mbak. Semangat!" ucap Alena ikut memberi Zahera semangat. Zahera kembali tersenyum. Kini senyumnya sedikit terlihat lebih tulus dan manis daripada yang tadi. "Aku tahu. Ini semua akan segera berlalu, dan aku selalu bersemangat. Kalian tahu itu dengan sangat kan?" Semua yang mendengar mengangguk dengan senyum terbaik untuk memberikan energi positif kepada Zahera sebelum m