Mata Fei Lung menyipit saat dia melihat Xi Feng mendekat. "Wah, wah, wah," dia berkata dengan nada menghina. "Lihat siapa yang memutuskan untuk muncul. Kupikir kamu akan terlalu takut untuk pergi ke hutan lagi, Xi Feng."
"Aku di sini untuk mengumpulkan kayu bakar, seperti yang kamu tahu," jawab Xi Feng, suaranya tetap stabil meskipun getaran di anggota tubuhnya terasa. Dia tahu dia mungkin masih kalah, tapi dia tidak mau menunjukkan rasa takutnya. Dia tidak akan memberi mereka kepuasan. "Oh, aku tahu," kata Fei Lung, seringainya melebar. "Tapi kupikir kita bisa bersenang-senang seperti jaman dulu. Kau tahu, sedikit... reuni." Dia menunjuk ke teman-temannya, yang mulai mengelilingi Xi Feng, mata mereka berbinar karena kebencian. Xi Feng merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Dia ingat terakhir kali dia berada di hutan ini, terakhir kali dia melihat Fei Lung. Itu adalah pertemuan yang brutal, pertarungan yang lebih pantas disebut penyiksaan. Pemukulan itu bahkan membuat Xi Feng yang lama menemui kematian, kematian yang membawa Xi Feng yang baru ke kehidupan baru yang aneh ini. Dia tahu dia tidak bisa bersikap sentimental sekarang. Dia harus berjuang, dia harus bertahan hidup. Dia mencengkeram kapaknya lebih erat, buku-buku jarinya memutih. Dia harus melindungi tubuh ini, kehidupan yang sekarang menjadi miliknya. Fei Lung, merasakan tekad Xi Feng, terkekeh. "Kamu seorang pemberani, Xi Feng. Tapi keberanian tanpa kekuatan hanyalah kebodohan. Kamu masih tetap lemah seperti biasanya." Udara hutan dipenuhi aroma pinus dan tanah lembap, keheningan hanya dipecahkan oleh gemerisik dedaunan dan napas tak beraturan dari kedua sosok saling berhadapan yang terjebak dalam ketegangan yang menegangkan. Fei Lung, wajahnya berkerut dalam campuran rasa tidak percaya dan marah, menatap Xi Feng, matanya menyipit. Xi Feng bergerak. Tanpa Xi Feng sadari, aura yang menindas telah muncul dari tubuhnya dan langsung menekan Fei Lung. Fei Lung yang sebelumnya berpikir, akan melihat Xi Feng yang lemah, kini mulai berpikir ulang. "Aura luar biasa darinya... bangkit dari kematian.. Mungkinkah dia diberi kesaktian oleh para dewa saat ajal sempat menjemputnya?" tanya Fei Lung yang mulai merasakan ketakutan. "Bagaimana kamu bisa hidup, Xi Feng?" dia menatap Xi Feng dengan tatapan mencorong. "Aku melihatmu mati. Aku menghajarmu hingga berkeping-keping... Aku melihat kekuatan hidupmu padam." Xi Feng bertemu dengan tatapannya, ekspresinya tidak dapat dibaca. Dia tahu Fei Lung cukup kebingungan, apalagi setelah melihat tubuh Xi Feng yang sangat sehat. Pikirannya berjuang untuk menerima kenyataan mustahil yang ada di hadapannya. Xi Feng masih hidup, meski baru saja dibunuh oleh pria ini beberapa hari yang lalu. "Kamu melihat apa yang ingin kamu lihat," jawab Xi Feng, suaranya tenang dan terukur. "Kamu melihat Xi Feng yang lemah, yang bisa dengan mudah kamu hancurkan. Tapi kamu tidak melihat Xi Feng yang sebenarnya, orang yang menolak dikalahkan, orang yang akan bangkit kembali, lebih kuat dari sebelumnya." Dia mengambil satu langkah ke depan, gerakannya disengaja dan percaya diri. Dari rasa pasrah, kini Xi Feng jadi berani. Dia bisa merasakan keraguan yang memancar dari Fei Lung, ketidakpastian yang telah menggantikan kesombongannya yang biasa. "Kau membunuh Xi Feng yang lama," lanjutnya, suaranya menjadi tajam, "tetapi kau tidak bisa membunuhku. Kamu tidak membunuh semangat yang membara dalam diriku. Kamu tidak membunuh keinginan untuk bertahan hidup, keinginan untuk melawan, keinginan untuk membalas dendam." Dia terdiam, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, membiarkan mereka tenggelam dalam pikiran Fei Lung, menggerogoti kepercayaan dirinya, dan menabur benih keraguan. "Kamu pikir kamu adalah penguasa nasibku," kata Xi Feng, suaranya rendah dan berbahaya, " tapi kamu salah. Kamu salah karena meremehkanku, salah berpikir kamu bisa menghapusku begitu saja dari keberadaan. Aku adalah Xi Feng, dan aku di sini untuk tinggal." Dia melihat ketakutan di mata Fei Lung, itu secercah keraguan yang menggantikan kesombongannya yang biasa. Dia tahu dia telah berhasil, bahwa dia telah menggoyahkan keyakinan Fei Lung akan dirinya yang tak terkalahkan. Fei Lung terhuyung mundur, matanya membelalak. Dia belum pernah menemui hal seperti ini, seorang pria yang bisa menentang kematian itu sendiri tanpa terlihat terluka. Dia belum pernah menghadapi lawan yang bisa bangkit dari abu, lebih kuat dan lebih bertekad dari sebelumnya. Dia tahu dia menghadapi musuh yang berbeda, musuh yang tidak terikat oleh keterbatasan dunia fisik, musuh yang bisa menentang takdir itu sendiri. Dia tahu dia sedang menghadapi seorang pejuang sejati, seorang pria yang tidak akan hancur, seorang pria yang tidak akan dikalahkan. Dia telah meremehkan Xi Feng, dan sekarang dia menanggung akibatnya. Dia telah meremehkan kekuatan jiwa manusia, kekuatan ketahanan, kekuatan balas dendam. Dia tahu dia berada di luar jangkauannya, bahwa dia sedang menghadapi lawan yang sulit dia kalahkan. Tapi, kepercayaan dirinya kembali muncul. Hutan adalah medan perangnya, dan dia siap berperang. Dia menerjang ke depan, tinjunya mengarah ke wajah Xi Feng. Xi Feng secara naluriah mengangkat kapaknya dan menangkis serangan itu. Kekuatan tumbukannya mengirimkan gelombang kejut ke lengannya, hampir melepaskan kapak dari genggamannya. Xi Feng tahu dia tidak bisa menang dalam konfrontasi langsung. Dia perlu menggunakan akalnya, ketangkasannya, pengetahuannya tentang hutan. Dia perlu mengeksploitasi kesombongan Fei Lung, rasa percaya dirinya yang berlebihan. Dia menghindari serangan lain, angin bersiul melewati telinganya. Dia merasakan kapak terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah. Dia tidak punya pilihan selain bertarung dengan tangan kosong. Dia ingat teknik seni bela diri yang telah dia pelajari, gerakan rumit, serangan tepat, kekuatan energi spiritual. Dia menyalurkan kekuatan batinnya, memfokuskan pikirannya, memanfaatkan ingatan Xi Feng yang asli, anak laki-laki yang telah dipukuli dengan begitu kejam, dibunuh tanpa ampun. Dia melepaskan serangkaian pukulan dan tendangan, gerakannya sangat cepat. dan kuat. Dia mengejutkan Fei Lung, yang telah meremehkannya, yang menganggap dia masih sama lemahnya. Pertarungan itu kacau, anggota badan dan pukulan kabur. Xi Feng, yang dipicu oleh kemarahan dan keputusasaan, bertarung dengan keganasan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Dia mendaratkan pukulan pada rahang Fei Lung, membuatnya terhuyung mundur. Fei Lung, wajahnya berkerut kesakitan dan marah, meraung marah. Dia menerjang lagi, matanya menyala karena amarah yang dingin dan penuh perhitungan. Dia bukan lagi sekadar pengganggu, dia adalah seorang pemangsa, seorang pemburu yang terpojok dan putus asa. Xi Feng tahu dia sedang menghadapi ancaman nyata, bahaya yang tidak bisa dia anggap remeh. Dia harus melawan, dia harus bertahan hidup. Ini adalah pertarungan untuk hidupnya, pertarungan untuk masa depannya. Dia menghindari tendangan kuat, angin dari hantaman itu melewatinya. Dia merasakan sakit yang membakar di sisi tubuhnya saat tinju Fei Lung terhubung dengan tulang rusuknya. Dia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan. Dia tahu dia tidak bisa melanjutkan ini. Dia kalah, kalah kelas, kalah persenjataan. Dia membutuhkan jalan keluar, cara untuk melarikan diri dari pertemuan mematikan ini. Dia melihat sekeliling dengan panik, matanya mengamati lantai hutan. Dia melihat sebatang kayu tumbang, kulitnya kasar dan keriput. Dia melihat peluang. Fei Lung yang semakin percaya diri, menerjang ke depan, gerakan tubuhnya kabur. Xi Feng mengambil batang kayu itu, menggunakannya sebagai perisai terhadap serangan Fei Lung. Dia merasakan dampak pukulan Fei Lung, kekuatan serangannya, tapi dia tetap teguh. Kayu itu terlempar dari tangannya, kini, mau tidak mau, Xi Feng menggunakan teknik dan kultivasi yang dia pelajari dari buku yang dijual si penjual buku.Xi Feng mengayunkan pukulannya dengan sekuat tenaga. Dia merasakan pukulan itu terhubung dengan dada Fei Lung, membuat Fei Lung tersandung ke belakang.Dia melihat ekspresi terkejut di wajah Fei Lung, kilatan keraguan dan kesakitan ada di matanya. Xi Feng tahu dia telah membuatnya lengah, bahwa dia telah menggoyahkan kepercayaan diri lawannya.Xi Feng memanfaatkan keunggulannya, gerakannya menjadi lebih lancar, lebih percaya diri. Dia merasakan energi spiritual mengalir melalui nadinya, mendorong setiap gerakannya.Dia mendaratkan pukulan ke perut Fei Lung, dampaknya mengirimkan gelombang rasa sakit ke seluruh tubuh Fei Lung. Xi Feng menindaklanjutinya dengan tendangan ke dada lawannya, persis dengan teknik yang dia pelajari dari buku. Ini membuat Fei Lung terjatuh ke tanah.Fei Lung terbaring di sana, terengah-engah, matanya dipenuhi rasa tidak percaya. Dia telah dikalahkan, oleh orang yang dia anggap lemah, orang yang ingin dia hancurkan.Fei Lung, wajahnya berkerut karena campur
Dia meluncurkan dirinya ke arah Fei Hok, gerakannya merupakan upaya putus asa untuk mengulur waktu, untuk menciptakan celah, untuk menemukan cara untuk melarikan diri. Namun Fei Hok terlalu kuat, gerakannya terlalu cepat, serangannya terlalu kuat.Xi Feng terlempar ke belakang, tubuhnya terbentur pohon, napasnya tersengal-sengal. Dia merasakan sakit yang menusuk di dadanya, rasa sakit yang membakar menyebar ke seluruh tubuhnya.Dia tahu dia kalah, bahwa dia akan dikalahkan, bahwa dia akan menghadapi konsekuensi dari tindakannya.Tepat ketika dia berpikir semua harapan telah hilang, sesosok muncul dari bayang-bayang, kehadirannya menjadi mercusuar harapan dalam kegelapan.Sosok yang baru datang itu adalah si penjual buku, pria yang menjual buku itu kepadanya, pria yang sepertinya menyimpan sebuah rahasia, suatu pengetahuan yang di luar pemahamannya.Dia berdiri di hadapan Fei Hok, matanya bersinar dengan intensitas yang aneh. Dia tidak berbicara, namun kehadirannya merupakan kekuatan
Fang Chen telah bepergian dengan penjual buku selama dua hari, berjalan melalui medan terjal dan hutan lebat, untuk menuju tempat bernama Gunung Bangau. Penjual buku, seorang pria sederhana dengan wajah tenang, yang kadang bersikap aneh saat melihat wanita cantik yang lewat dengan kereta kuda. Dia bertingkah seperti remaja lelaki yang tengah puber saat melihat wanita di kereta. Dia bahkan bersiul untuk menarik perhatian wanita itu, tapi cuma dibalas dengan penutupan tirai jendela kereta kuda, oleh wanita itu. Namun, Fang Chen menghormati penjual buku karena pengetahuannya yang luas, sering berbagi cerita tentang teks kuno dan sejarah yang terlupakan selama perjalanan mereka.Pada pagi hari ketiga, saat matahari mulai terbit, mengeluarkan cahaya keemasan di lanskap, mereka bertemu dengan sekelompok perampok. Para perampok, bertingkah mengancam, muncul dari bayang-bayang dengan ekspresi muram dan senjata terhunus. Pemimpin mereka, seorang pria kekar dengan bekas luka di pipinya, me
DUAAAARRRRasa sakit yang membakar di tubuh Xi Feng adalah hal pertama yang dia sadari. Kemudian dia kehilangan kesadarannya. Entah berapa lama waktu berlalu. Dia perlahan sadar. Dia berbaring di permukaan yang dingin dan keras, penglihatannya kabur dan dunia di sekitarnya berupa kaleidoskop warna yang memusingkan. Bau logam yang tajam memenuhi lubang hidungnya, dia masih berada di dalam pesawat, puing-puingnya berputar dan mengerang di sekelilingnya. Dia mencoba untuk bergerak, tetapi anggota tubuhnya terasa berat dan tidak responsif.Kemudian, rasa sakitnya mereda, digantikan oleh mati rasa yang aneh. Dia membuka matanya, dan dunia pun bergeser. Keadaan di pesawat telah hilang, digantikan oleh lantai tanah yang kasar. Dia berada di ruangan kecil dengan penerangan remang-remang, udaranya dipenuhi aroma dupa dan sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Dia mencoba untuk duduk, dan gelombang mual melanda dirinya. Dia lemah, ruangan ini asing. Bahkan tubuhnya asing, otot-ototnya sakit
Xi Feng bergegas berangkat ke alun-alun pasar, jantungnya berdebar kencang karena campuran harapan dan rasa gentar. Dia tidak tahu apakah penjual buku itu masih ada, apakah bukunya masih tersedia, atau apakah ilmu yang dikandungnya benar-benar sekuat yang diklaim sang penjual. Tapi dia harus mencoba, dia harus mengambil kesempatan ini, dia harus menemukan cara untuk menyamakan kedudukan.Dia tiba di alun-alun pasar, udaranya dipenuhi aroma rempah-rempah dan hiruk pikuk pedagang yang menjajakan dagangannya. barang dagangan. Dia mengamati kios-kios yang penuh sesak, matanya mencari wajah familiar dari wajah penjual buku itu.Karena hanya penjual buku itu harapannya dia tidak bisa berharap pada teknik ilmu di sekte Cahaya Ilahi karena dia pasti kalah dengan apa yang telah diterima oleh Fei Lung. Dia menemukannya di sudut, kiosnya tampak kerdil jika dibandingkan dengan tampilan yang lebih mewah dari tetangganya. Dia membungkuk di atas meja, wajahnya tertutup janggut tebal, matanya berb
Fang Chen telah bepergian dengan penjual buku selama dua hari, berjalan melalui medan terjal dan hutan lebat, untuk menuju tempat bernama Gunung Bangau. Penjual buku, seorang pria sederhana dengan wajah tenang, yang kadang bersikap aneh saat melihat wanita cantik yang lewat dengan kereta kuda. Dia bertingkah seperti remaja lelaki yang tengah puber saat melihat wanita di kereta. Dia bahkan bersiul untuk menarik perhatian wanita itu, tapi cuma dibalas dengan penutupan tirai jendela kereta kuda, oleh wanita itu. Namun, Fang Chen menghormati penjual buku karena pengetahuannya yang luas, sering berbagi cerita tentang teks kuno dan sejarah yang terlupakan selama perjalanan mereka.Pada pagi hari ketiga, saat matahari mulai terbit, mengeluarkan cahaya keemasan di lanskap, mereka bertemu dengan sekelompok perampok. Para perampok, bertingkah mengancam, muncul dari bayang-bayang dengan ekspresi muram dan senjata terhunus. Pemimpin mereka, seorang pria kekar dengan bekas luka di pipinya, me
Dia meluncurkan dirinya ke arah Fei Hok, gerakannya merupakan upaya putus asa untuk mengulur waktu, untuk menciptakan celah, untuk menemukan cara untuk melarikan diri. Namun Fei Hok terlalu kuat, gerakannya terlalu cepat, serangannya terlalu kuat.Xi Feng terlempar ke belakang, tubuhnya terbentur pohon, napasnya tersengal-sengal. Dia merasakan sakit yang menusuk di dadanya, rasa sakit yang membakar menyebar ke seluruh tubuhnya.Dia tahu dia kalah, bahwa dia akan dikalahkan, bahwa dia akan menghadapi konsekuensi dari tindakannya.Tepat ketika dia berpikir semua harapan telah hilang, sesosok muncul dari bayang-bayang, kehadirannya menjadi mercusuar harapan dalam kegelapan.Sosok yang baru datang itu adalah si penjual buku, pria yang menjual buku itu kepadanya, pria yang sepertinya menyimpan sebuah rahasia, suatu pengetahuan yang di luar pemahamannya.Dia berdiri di hadapan Fei Hok, matanya bersinar dengan intensitas yang aneh. Dia tidak berbicara, namun kehadirannya merupakan kekuatan
Xi Feng mengayunkan pukulannya dengan sekuat tenaga. Dia merasakan pukulan itu terhubung dengan dada Fei Lung, membuat Fei Lung tersandung ke belakang.Dia melihat ekspresi terkejut di wajah Fei Lung, kilatan keraguan dan kesakitan ada di matanya. Xi Feng tahu dia telah membuatnya lengah, bahwa dia telah menggoyahkan kepercayaan diri lawannya.Xi Feng memanfaatkan keunggulannya, gerakannya menjadi lebih lancar, lebih percaya diri. Dia merasakan energi spiritual mengalir melalui nadinya, mendorong setiap gerakannya.Dia mendaratkan pukulan ke perut Fei Lung, dampaknya mengirimkan gelombang rasa sakit ke seluruh tubuh Fei Lung. Xi Feng menindaklanjutinya dengan tendangan ke dada lawannya, persis dengan teknik yang dia pelajari dari buku. Ini membuat Fei Lung terjatuh ke tanah.Fei Lung terbaring di sana, terengah-engah, matanya dipenuhi rasa tidak percaya. Dia telah dikalahkan, oleh orang yang dia anggap lemah, orang yang ingin dia hancurkan.Fei Lung, wajahnya berkerut karena campur
Mata Fei Lung menyipit saat dia melihat Xi Feng mendekat. "Wah, wah, wah," dia berkata dengan nada menghina. "Lihat siapa yang memutuskan untuk muncul. Kupikir kamu akan terlalu takut untuk pergi ke hutan lagi, Xi Feng.""Aku di sini untuk mengumpulkan kayu bakar, seperti yang kamu tahu," jawab Xi Feng, suaranya tetap stabil meskipun getaran di anggota tubuhnya terasa. Dia tahu dia mungkin masih kalah, tapi dia tidak mau menunjukkan rasa takutnya. Dia tidak akan memberi mereka kepuasan."Oh, aku tahu," kata Fei Lung, seringainya melebar. "Tapi kupikir kita bisa bersenang-senang seperti jaman dulu. Kau tahu, sedikit... reuni."Dia menunjuk ke teman-temannya, yang mulai mengelilingi Xi Feng, mata mereka berbinar karena kebencian. Xi Feng merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Dia ingat terakhir kali dia berada di hutan ini, terakhir kali dia melihat Fei Lung. Itu adalah pertemuan yang brutal, pertarungan yang lebih pantas disebut penyiksaan. Pemukulan itu bahkan membuat Xi Fe
Xi Feng bergegas berangkat ke alun-alun pasar, jantungnya berdebar kencang karena campuran harapan dan rasa gentar. Dia tidak tahu apakah penjual buku itu masih ada, apakah bukunya masih tersedia, atau apakah ilmu yang dikandungnya benar-benar sekuat yang diklaim sang penjual. Tapi dia harus mencoba, dia harus mengambil kesempatan ini, dia harus menemukan cara untuk menyamakan kedudukan.Dia tiba di alun-alun pasar, udaranya dipenuhi aroma rempah-rempah dan hiruk pikuk pedagang yang menjajakan dagangannya. barang dagangan. Dia mengamati kios-kios yang penuh sesak, matanya mencari wajah familiar dari wajah penjual buku itu.Karena hanya penjual buku itu harapannya dia tidak bisa berharap pada teknik ilmu di sekte Cahaya Ilahi karena dia pasti kalah dengan apa yang telah diterima oleh Fei Lung. Dia menemukannya di sudut, kiosnya tampak kerdil jika dibandingkan dengan tampilan yang lebih mewah dari tetangganya. Dia membungkuk di atas meja, wajahnya tertutup janggut tebal, matanya berb
DUAAAARRRRasa sakit yang membakar di tubuh Xi Feng adalah hal pertama yang dia sadari. Kemudian dia kehilangan kesadarannya. Entah berapa lama waktu berlalu. Dia perlahan sadar. Dia berbaring di permukaan yang dingin dan keras, penglihatannya kabur dan dunia di sekitarnya berupa kaleidoskop warna yang memusingkan. Bau logam yang tajam memenuhi lubang hidungnya, dia masih berada di dalam pesawat, puing-puingnya berputar dan mengerang di sekelilingnya. Dia mencoba untuk bergerak, tetapi anggota tubuhnya terasa berat dan tidak responsif.Kemudian, rasa sakitnya mereda, digantikan oleh mati rasa yang aneh. Dia membuka matanya, dan dunia pun bergeser. Keadaan di pesawat telah hilang, digantikan oleh lantai tanah yang kasar. Dia berada di ruangan kecil dengan penerangan remang-remang, udaranya dipenuhi aroma dupa dan sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Dia mencoba untuk duduk, dan gelombang mual melanda dirinya. Dia lemah, ruangan ini asing. Bahkan tubuhnya asing, otot-ototnya sakit