Dua mata Gemintang berlinang. Meski begitu ia menatap dalam ke arah Bu Ningrum dan Baskara, seolah menuntut penjelasan yang sejelas-jelasnya. Dada wanita itu kini bergerak naik turun, tak kuasa menahan sesak yang sejak siang ia tahan. Sementara itu Baskara dan Bu Ningrum bungkam. Keduanya bergeming, seolah tak punya jawaban yang memadai untuk pertanyaan itu. Bertahun-tahun ia percaya dengan keluarga ini, tetapi ketika mendengar penjelasan Manggala tadi, dia kecewa. Entah niat mereka baik ataupun sebaliknya, Gemintang tetap perlu tahu maksud mereka melakukan ini semua. "Selama ini dia melakukan banyak hal untukku, tetapi kalian semua hanya pura-pura tak melihat. Kalian tahu dia datang, tak peduli dengan kesalahan yang dia lakukan sebelumnya, tetapi dia masih memiliki itikad baik untuk memperbaiki hubungan ini, tapi ternyata, baik ibu, ataupun kau, Bas ... tidak ada yang memberitahuku!” Gemintang menatap mereka dengan air mata yang mengalir deras. Tumpah sudah semua penyesalan dan pe
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Gemintang langsung bertolak ke kota J. Meski rasanya berat meninggalkan si kembar, dia tahu bahwa pertemuannya dengan Janu lebih mendesak. Dia harus menyelesaikan segala masalah di antara mereka terlebih dahulu, agar ketika kembali bersama anak-anak, tidak ada lagi beban yang membayangi. Keputusannya sudah bulat, kali ini semuanya harus diakhiri dengan kejelasan.Dengan segala keperluan yang telah disiapkan oleh Manggala, perjalanannya berjalan lancar. Semua urusan akomodasi dan transportasi sudah diatur olehnya, sehingga Gemintang bisa langsung menuju rumah sakit tempat Janu dirawat tanpa kendala.Sepupu Januartha itu pun menunggu Gemintang di sebuah koridor tak jauh dari ruangan Janu.“Aku turut senang, akhirnya kamu mau datang, Gemintang,” sapa Manggala pelan ketika melihat Gemintang berjalan mendekat. "Oh, ya, mana Maura? Dia tidak jadi ikut?"Gemintang menggeleng sebagai jawaban, mengulum senyum tipis. "Dia masih ujian. Lusa akan menyusul ke sini
Kabin pengangkut itu berhenti di lantai yang dituju Gemintang. Pintu terbuka, dan Manggala segera memandunya menyusuri lorong pendek dengan langkah cepat. Tidak ada percakapan, hanya suara langkah mereka yang terdengar di sepanjang lorong itu.Ruang Mandevilla nomor 1090 kini ada di hadapannya. Pintu putih dengan plakat kamar VIP itu terlihat tertutup rapat. Sejenak, Gemintang ragu, tetapi Manggala yang berdiri di sampingnya, mencoba meyakinkannya."Silakan langsung masuk saja, ini bukan jam istirahat. Siapapun boleh berkunjung," ucap Manggala sambil tersenyum tipis. Gemintang ingin bicara tetapi Manggala lebih cepat menyahut. "Aku akan tunggu di bawah. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, kau bisa meneleponku," tambahnya, sebelum pergi meninggalkan Gemintang yang masih terpaku di depan pintu.Gemintang menatap papan putih itu sekali lagi. Perasaannya bercampur aduk—gugup, marah, rindu—semuanya menjadi satu. Ia meremas kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Dengan napas yang
Gemintang menggeleng keras, air matanya semakin deras mengalir. “Apa pun yang membuatmu bahagia, itulah yang membuatku lega. Sekalipun itu berarti berpisah dariku dan mengakhiri pernikahan kita. Aku akan memberikan kebebasan yang kamu minta. Kamu hanya perlu menandatangani berkasnya. Aku akan minta Manggala mengurus semuanya.”"Mas, ini bukan hanya soal aku. Ini juga soal anak-anak. Maura pasti akan marah padaku—"Janu menempelkan telunjuknya di bibir Gemintang, menghentikan kata-katanya. "Jangan berusaha membuat anak-anak bahagia dengan menyiksa dirimu sendiri. Mereka akan mengerti, suatu hari nanti."Gemintang terisak lebih keras. “Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau berpisah denganmu! Aku bohong waktu itu!”Janu tertegun mendengar pengakuan itu. Ia menatap Gemintang dengan ekspresi tercengang.“Aku masih cinta, Mas!” Gemintang melanjutkan, suaranya gemetar penuh emosi. "Sejauh apapun aku pergi, perasaanku tidak pernah berubah. Mungkin aku terlihat bahagia tanpamu, tapi dalam hatik
Keputusan yang diambil hari itu benar-benar mengubah segalanya. Bukan hanya hubungan mereka yang perlahan membaik, tetapi kesehatan Janu juga berangsur pulih lebih cepat dari yang dibayangkan. Setiap hari, keberadaan Maura, Keenan, dan Kinara seperti memberikan energi baru yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ketiga anak itu seolah menjadi booster, sumber kekuatan bagi Janu untuk terus bertahan dan berjuang kembali.Saat Maura membawakannya buku cerita yang baru saja ia baca, atau ketika Keenan dan Kinara berlari mengitarinya dengan tawa riang, Janu merasa ada kehidupan yang kembali tumbuh dalam dirinya. “Ayah cepat sembuh, ya! Bair bisa gendong Nara lagi!” ujar Kinara saat anak itu menjenguknya. Begitu juga dengan Keenan yang menimpalinya, “Ih, jangan cuma gendong Nara, dong! Biar bisa main mobil sama Keen!”Anak-anaknya menjadi alasan kuat mengapa ia harus pulih—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka.Di setiap tawa mereka, Janu menemukan harapan baru, dan
Hari ini, Gemintang mendapat kabar dari perawat bahwa suaminya sudah diizinkan pulang. "Perawat bilang, setelah kunjungan dokter nanti, malam ini kamu sudah bisa pulang, Mas," ucapnya sambil menata ransum makanan yang baru saja dibawa.Janu, yang sedang duduk di atas ranjang rumah sakit sambil sibuk dengan laptop, menatap ke arah Gemintang. "Syukurlah. Aku sudah bosan di sini.""Makan dulu, kerjanya bisa nanti. Atau pekerjaanmu sekarang memang tidak bisa ditinggal?" tanya Gemintang, sambil membuka bungkus plastik yang menutupi mangkuk dan piring, lalu membuangnya ke tempat sampah."Tidak terlalu penting. Aku hanya memeriksa laporan keuangan dari Dhani tadi malam. Bulan ini, penjualan agak menurun meski omzet masih stabil.""Karena kamu sakit?" tanya Gemintang, menatap suaminya dengan alis terangkat. Janu mengangguk dan menutup laptopnya, meletakkannya di meja samping."Mungkin karena aku tak bisa langsung bertemu dengan klien. Beberapa dari mereka hanya mau kalau aku yang menangani la
Tanpa mendekat pun, Janu sudah tahu berkas apa yang Gemintang maksud. Janu yang masih terbaring di tempat tidur perlahan bangkit dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya serius saat melihat Gemintang memegang berkas-berkas itu. Pria itu pun kembali bangkit berdiri dan berjalan mendekat. Setelah duduk di kursi kerjanya dia berkata, “Dokumen ini... adalah sesuatu yang sangat penting bagiku, Gemintang. Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk mencarinya. Ini kumpulan bukti yang bisa membersihkan nama baik ayahku."Gemintang yang merasa tak tahu menahu tentang sang ayah mertua menekuk dahinya. "Nama baik ayahmu?" tanyanya.Janu mengangguk, dia menyandarkan punggungnya pada kursi putar itu. Sementara gemintang masih berdiri di sampingnya mulai merapikan berkas-berkas itu. “Selama ini, aku mencari bukti untuk membersihkan nama Ayah. Itulah alasan aku sering pergi keluar kota hampir satu minggu waktu itu. Aku harus menemukan dokumen-dokumen ini yang menjadi bukti kuat bahwa Ayahku tidak bersalah. Sem
Sayangnya ketika bibir mereka baru saja bertaut, sebuah suara menghancurkan suasana ….“Ayah, Ibu!” Suara Keenan dan Kinara yang berlari ke arah mereka membuat Janu dan Gemintang segera menarik diri. Dua bocah itu seharusnya masih di rumah Bu Ningrum. Baskara berjanji akan mengantar anak-anak sekitar setengah delapan malam. Ini masih pukul enam sore, seharusnya masih ada waktu bagi Janu dan Gemintang untuk melepas rindu, bukan?Ah, ya sudahlah! keduanya pasrah saja, menyimpan malu dalam hati masing-masing. “Yeaayy! Ayah sudah pulangg!” Kinara cepat berlari menghampiri Janu. Gadis kecil itu membawa tas ransel bentuk kelincinya. Sementara Keenan tampak membawa mainan barunya, hasil dari merampok pamannya, Baskara. “Mainan baru lagi?” tanya Gemintang kepada Keenan. “Kamu pasti minta mainan lagi, ya? Kamu tidak ingat berapa banyak mainanmu, hm?”“Keenan suka pistolnya, buat mainan tembak-tembak dengan Ayah. Dor!” katanya lalu mengarahkan senapan mainannya ke arah Janu membuat semua or
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s