"Masa sih Luna mau dijadikan istri kedua? Secara dia kan cantik. Pinter lagi.""Iihh ... gak nyangka ya. Keliatannya baik tapi kok jadi pelakor.""Kalau cuma jadi istri kedua, kenapa gak nikah sama gua aja sih? Gua pasti jadiin yang pertama.""Gak heran kali. Meskipun cuma istri kedua, lakinya kan banyak duit."Komentar-komentar pedas masih bisa telingaku tangkap dengan jelas. Aku semakin menunduk. Menyembunyikan harga diri yang sudah terlanjur jatuh tanpa mereka tau kebenarannya. Ya, sekuat apapun aku mencoba menjelaskan, mereka semua tetap akan menutup mata dan telinga. Istri kedua akan tetap dianggap salah bagaimana pun keadaannya. Sayangnya, aku cuma mempunyai dua tangan. Tentu tak akan cukup untuk membungkam mulut-mulut orang yang terus memojokkan diriku. Namun, kedua tangan ini cukup untuk menutup telingaku agar tak lagi mendengar hujatan demi hujatan yang mereka layangkan."Lun, kamu baik-baik saja?" tanya Rumi yang melihat setetes air mata jatuh ke punggung tanganku. Hari ini,
Aku sempat berpikir untuk meminta Mas Zidan untuk mengurungkan niatnya memecat Rara. Yang penting Rara sudah diberi pelajaran dan dibuat jera. Namun, melihat Rara yang justru tidak ada niat untuk meminta maaf, membuatku berpikir ulang. Biarlah itu menjadi keputusan Mas Zidan seorang. Dia pasti sudah mempertimbangkan baik buruknya."Ini, Lun!" Mas Zidan mengembalikan laporan yang sudah ditandatangani.Niatku untuk mengucapkan terima kasih terpaksa ditunda karena masih ada Rara. Gak apalah. Aku bisa melakukannya lain waktu. "Mari, Pak. Permisi." Aku pun memilih untuk segera keluar dari ruangannya. Membiarkan Mas Zidan menyelesaikan urusannya dengan Rara.***Sejak hari itu, aku benar-benar tidak pernah lagi melihat Rara di kantor ini. Bahkan sudah lebih dari tiga hari kejadiannya. Mungkin keputusan Mas Zidan memecat Rara sudah final. Aku pun tidak ingin ikut campur meskipun tidak bisa dipungkiri ada sangkut pautnya denganku."Hai, Lun? Mau pulang?" tanya Mas Zidan saat aku memakai helm
Lekas aku berdiri, lebih mendekat ke arah Mas Rayan yang menatapku tajam. Matanya memancarkan kemarahan. Rahangnya terkatup rapat dengan gigi saling bergemelatuk. Kedua tangannya terkepal erat seolah siap melayangkan bogem mentah. Entah untuk siapa."Apa-apaan sih kamu, Mas?" protesku dengan nada cukup pelan."Kamu yang apa-apaan? Wanita yang sudah bersuami tapi jalan dengan laki-laki lain," jawab Mas Rayan kencang. Aku tersentak. Lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semua orang yang berada di area food court memandang ke arah kami. Malu sekali rasanya."Tolong pelankan suaramu, Mas. Malu dilihat orang lain," pintaku melunak.Mas Rayan tersenyum miring. "Malu kamu bilang? Seharusnya kamu sadar, apa yang kamu lakukan itu jauh lebih memalukan. Lagaknya sudah seperti wanita single yang bebas pergi ke mana saja bersama laki-laki lain. Kencan ya?" ejeknya.Dadaku bergemuruh mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Begitu menyakitkan. Bahkan air mata sudah mulai keluar da
Melihat keadaan bapak, aku pun tak kalah panik. Ibu segera menghampiri bapak dan menahan tubuhnya agar tidak ambruk."Lun, kita bawa bapakmu ke rumah sakit," ujar ibu dengan wajah cemas."Iya, Bu." Aku berlari ke depan rumah. Melihat-lihat barangkali ada taksi atau sekedar angkot yang lewat. Sayangnya jalanan cukup lengang. Hanya ada beberapa mobil pribadi yang lewat.Aku kembali berlari masuk ke dalam rumah. Merogoh tas selempang yang tadi kugunakan, lalu mengambil ponsel. Aku menggulir gawai itu dengan tangan gemetar. Mencari kontak Mas Zidan yang mungkin belum terlalu jauh.Setelah menemukan kontak dengan nama My bos itu segera aku menelponnya. Tersambung tapi tidak diangkat."Angkat, Mas. Aku mohon angkat!" Aku bergumam dalam kepanikan.Pada panggilan kedua, telepon pun akhirnya tersambung."Halo, Lun. Ada apa? Masih di jalan ini," tuturnya di ujung telepon."Mas, tolongin Luna. Bapak sepertinya kena serangan jantung. Tolong antar ke rumah sakit," jawabku dengan nada cemas."Astag
Aku berdiri sejenak, menunggu seorang wanita muda dan seorang anak kecil yang sedang membeli dagangan Bu Yanti tersebut. Setelah kedua orang itu pergi, barulah aku menghampirinya."Silakan Mbak, mau beli apa?" tanyanya. Sepertinya wanita yang seumuran ibuku itu tidak mengenaliku, apalagi aku menggunakan masker. "Ada apa aja, Bu?" tanyaku berjongkok melihat isi di dalam keranjang dagangannya."Ada lontong, bakwan, mendoan, pisang goreng, sama gehu, Mbak." Bu Yanti mengabsen semua makanannya."Saya beli lontong sama bakwan aja. Masing-masing tiga biji.""Baik, Mbak." Bu Yanti pun mulai memasukkan makanan yang kusebutkan tadi ke dalam kantong plastik."Ibu sudah lama jualan seperti ini?" "Wah ... sudah lama sekali. Sudah lebih dari lima tahun," jawabnya."Alhamdulillah, ya, Bu.""Iya. Alhamdulillah. Ada saja rezekinya. Kemarin-kemarin sempat berhenti jualan beberapa bulan. Putar haluan jadi asisten rumah tangga." Bu Yanti menambahkan."Kenapa sekarang berhenti? Lebih enak jualan ya?" p
"Diajak ngomong kok, malah ngelamun." Ibu menepuk lenganku pelan."Eh, bukan, Bu. Cuma capek aja," elakku."Ya sudah. Langsung makan saja. Biar tenang nanti langsung istirahat," titah ibu."Luna mandi dulu, Bu. Habis itu baru makan. Gerah banget."Aku pun bangkit dari sisi ibu dan segera berlalu ke kamar mandi. Guyuran air terasa begitu menyejukkan. Melunturkan peluh dan debu yang menempel karena aktivitas yang padat seharian.Selesai mandi, aku berjalan cepat menuju kamar karena ponsel terdengar menjerit-jerit. Segera aku mengambil benda pipih itu dari dalam tas. Nama Karin terpampang di layar."Halo, Rin. Maaf aku baru selesai mandi.""Mandi? Emangnya kamu di mana? Aku nungguin kamu dari tadi. Katanya mau ke sini," protes Karin dengan nada kesal."Aku udah di rumah. Motornya ternyata beneran udah dibawa. Kayaknya kakakmu nyuruh orang buat bawain. Maaf ya. Aku lupa ngasih tau.""Ya ampun, Luna. Aku sampai panik takutnya motormu beneran hilang.""Masalahnya Mas Zidan gak bilang apa-ap
Aku sungguh tak habis pikir, ada orang yang begitu tega melakukan semua itu. Mencoba mengusik hidupku dan ketenangan hatiku. Padahal, selama ini aku merasa tak pernah mengusik hidup orang lain. Selama ini aku berusaha untuk tidak mempunyai masalah dengan siapa pun. Tapi kenapa justru ada orang yang ingin bermasalah denganku?"Katakan padaku, Ra. Siapa yang menyuruhmu?" Aku kembali bertanya karena Rara masih menunduk terdiam."Emh ... itu. Ibu Ida," jawab Rara ragu.Jantungku langsung terasa berhenti berdetak untuk sesaat, namun kemudian, berdegup kencang dengan hebatnya. Apa yang dikatakan Rara membuatku kaget bukan kepalang. Selama mengenal ibu mertuaku itu, aku tidak pernah melihat gelagat dia tidak menyukaiku sedikit pun. Tapi kenapa dia tega dia berbuat seperti itu? Untuk apa?"Kamu jangan bohong, Ra. Bu Ida gak mungkin melakukan hal sekeji itu. Aku mengenalnya cukup lama. Dia orang yang baik." Aku masih berusaha menyangkalnya. Berharap Rara tidak berkata jujur."Aku gak bohong, L
POV RayanSore ini hujan turun dengan sangat lebat. Bahkan suara petir yang menggelegar sesekali memekakkan telinga. Di kursi kerja aku duduk terpaku. Mataku lekat menatap layar ponsel di mana ada foto wanita yang begitu aku cintai sedang tersenyum manis. Tanganku terulur mengusap wajah wanita yang dijadikan foto sampul gawai milikku itu. Aluna. Aku sangat merindukanmu.Jika hujan di sore hari seperti ini. Aku tidak pernah membiarkan dia pulang seorang diri. Aku pasti akan menjemputnya ke kantor tempatnya bekerja. Tak ingin aku membiarkannya basah kuyup tersiram air hujan dan mengancam kesehatannya."Mas ngapain di sini?" Teringat wajahnya yang cantik dengan mimik heran melihat kedatanganku di kantornya saat itu."Mau jemput kamu. Hujannya gede banget," jawabku kala itu."Tapi aku bawa motor. Bawa jas hujan juga. Harusnya Mas gak perlu repot-repot jemput aku." Dia memang selalu berusaha mengelak untuk tidak merepotkan aku."Mas khawatir sama kamu. Kalau kamu naik motor sambil hujan-hu
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q