"Ada di sekitar sini, tidak terlalu jauh. Bukan hotel sih, tapi rumah singgah. Mau gak?"Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sedikit canggung sebenarnya, tapi gak boleh gini kan? Dia kan sudah jadi suamiku. Kembali kuedarkan pandangan di sekitar danau. Hamparan air yang jernih dan tenang, di sebelah sisi terdapat wisatawan yang tengah naik perahu berputar mengelilingi danau. Semilir angin berhembus, menggoyangkan dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik yang syahdu. Cuacanya benar-benar sejuk dan terasa pas untuk bersantai."Mau sampai kapan kamu berdiri di situ terus? Gak mau duduk di sini?" tanya Mas Bian.Aku menoleh dan tersenyum. "Masih ingin menikmati keindahan alam, Mas."Pandanganku kembali memindai sekeliling."Oke, tunggu di sini ya, aku turun sebentar.""Mau kemana, Mas?" tanyaku seraya mengerutkan kening."Sebentar saja, mau turun ke bawah."Aku mengangguk dan menatapnya turun. Akhirnya aku duduk meluruskan kakiku, menatap langit-langit rumah pohon yang terbuat dar
"Mas, bangun, sudah pagi lho!" Aku mengguncang tubuhnya dengan pelan. Tapi lelakiku ini hanya menggeliat malas. Duh, suamiku susah sekali dibangunin! gerutuku sendiri. Aku berlalu kembali ke kamar mandi, mencuci tanganku lalu menempelkan tangan yang basah pada kedua matanya."Mas, sudah pagi, bangun. Bentar lagi subuh lho!" tukasku lagi.Ia mengerjapkan matanya dengan pelan, lalu meregangkan tubuhnya. "Eh sayang ..." Mas Bian beranjak duduk dan mengucek kedua matanya."Kamu seger banget dah keramas pagi-pagi," celetuk Mas Bian seraya mengusap rambutku yang basah."Ih ini juga gara-gara siapa semalam ngajakin berapa kali!""Hahaha, iya iya. Habisnya kamu manis sekali.""Dah mandi dulu gih, bentar lagi waktu subuh.""Iya, sayang ...""Ini handuknya."Ia tersenyum, meraih handuk yang kusodorkan lalu beranjak ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran air di kamar mandi. Sementara aku menyiapkan untuk salat berjamaah.Ini yang sebelumnya tak kutahu, walau penampilannya seperti preman, tapi
Deg! Jantung seolah berhenti berdetak. Dua hari yang lalu saat ditinggal kondisi ibu masih baik-baik saja. Ini kenapa tiba-tiba ibu dibawa ke Rumah Sakit?“Gimana, Yang, mau pulang sekarang atau besok pagi?”“Sekarang saja, Mas. Aku khawatir dengan kondisi ibu.”“Baiklah, berkemas ya. Kita pulang sekarang.”Aku mengangguk. Debaran di jantung bergejolak tiada henti mendengar ibu masuk rumah sakit. Rasa cemas dan takut bercampur padu jadi satu.Kukemas baju-bajuku dan Mas Fabian ke dalam tas ransel. Entah kenapa sedari tadi mataku berubah panas, kurasakan butiran halus mengalir di pipi. “Kamu menangis, Sayang?” tanya Mas Fabian. Ia mendekat dan mengusap butiran bening di pipi. “Aku sedih saja, Mas. Ibu kenapa ya bisa masuk rumah sakit.”“Pak Atim tidak menjelaskan apapu, Rin, cuma meminta kita agar cepat datang,” sahut Mas Bian.“Apa beliau baik-baik saja?” ujarku sembari membayangkan wajah teduh ibu yang menenangkan hati. Mas Bian langsung merengkuhku dalam dekapannya. Ia membelai ke
Part 64Seseorang mengisik bahuku pelan. Aku hanya menoleh dan kembali menangis seenggukkan. Hanya berharap ada doa dan keajaiban untuk kesembuhan ibu.“Aku tahu ini pasti berat buat kamu, Rin. Kamu harus kuat ya,” ujarnya lagi menenangkan.Aku mengangguk.“Ini aku beli bubur ayam buat kamu, ayo kita sarapan dulu. Kamu mau pulang apa tetap nungguin ibu?”“Aku di sini saja, boleh ‘kan, Mas?”“Boleh, habis sarapan nanti aku pulang dulu ya, naruh barang sama ambil baju-bajumu yang bersih. Aku juga mau check ke bengkel dulu. Kamu gak apa-apa kalau aku tinggal dulu?” tanya Mas Bian lagi.“Iya aku gak apa-apa, Mas. Aku pengen nungguin ibu.”“Ya sudah, ayo dimakan dulu buburnya mumpung masih hangat.”Aku mengangguk, mengambil porsi bubur ayamku dan segera memakannya hingga tandas. “Aku pulang dulu ya, Sayang. Kalau sudah kelar aku segera kesini lagi.”“Iya, Mas. Hati-hati dijalan, jangan sampai ngantuk.”“Demi istriku, aku akan berhati-hati. Assalamu’alaikum.”“waalaikum salam.” Kucium pung
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," sahut suara yang lain. Tubuh lemas seketika mendengar kabar buruk di hadapanku ini. Aku menggeleng perlahan. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin kan kalau ibu meninggalkanku secepat ini?Aku melangkah dengan tubuh gemetar menghampiri ibu yang terbaring. Nyatanya, beliau sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya terasa begitu dingin. "Bu, bangun Bu... Ini Arini... Bangun Bu...." ucapku histeris sambil memeluk tubuh ibu."Ibu ... Ini Arini, Bu... Bangunlah Bu ...." teriakku lagi. Sungguh aku tak rela jika ibu harus pergi secepat ini. Aku merasa sangat bersalah tak bisa menemaninya di saat yang terakhir. Ada yang mengisik bahuku. Aku menoleh, kulihat mas Bian berdiri di sampingku. matanya pun merah terlihat sembab. Lelaki itu mungkin juga menangis tapi berusaha kuat untuk tegar."Mas, ibu ....." ucapku lirih. Berharap ibu ini hanya tidur biasa. Tapi nyatanya harapanku hanyalah semu belaka. Sudah ketentuan dari Allah, ibu p
“Tunggu, Pak!” cegah Mas Bian. Pak Atim menghentikan langkahnya. Mas Bian datang menghampiri dan mengambil ransel yang dibawa lelaki tua itu. Sungguh aku tak kuasa menyaksikan perpisahan ini. Entah akupun tak tahu Pak Atim mau pergi kemana, karena setahuku beliau tak punya keluarga di sini. Pak Atim benar-benar mengabdikan dirinya di keluarga Unggul Adiningrat.“Bapak ikut kami saja ya,” ujar Mas Bian. Seketika aku menoleh dan menatap mereka. “Tapi, Mas—““Ikut kami saja. Untuk hari ini tetaplah di sini, tunggu kami berkemas ya, Pak. Saya akan bilang ke Tiar mengenai hal ini.”“Apa benar tidak apa-apa?”“Tidak apa-apa, Pak. kami justru senang bila bapak ikut dengan kami. Kamu setuju kan, Yang, kalau Pak Atim ikut dengan kita?”Aku mengangguk sambil tersenyum diliputi rasa yang penuh haru.Seperti janjinya, hari ini Mas Tiar datang, dia membawa sebuah amplop coklat berisikan uang yang diberikan untuk uang saku Pak Atim. Aku sebenarnya sedikit heran, dari mana Mas Tiar mendapatkan u
POV TiarPanas terik mentari tak menyurutkan semangat kerjaku menjadi pekerja proyek bangunan. Dengan giat aku membawa bahan material bangunan. Aku bekerja untuk memenuhi isi perut juga untuk sewa kamar kost. Waktu istirahat telah tiba, aku duduk sedikit menyingkir di tepi, bersandar dibawah pohon sembari meminum teh yang diberi oleh Pak Mandor, berikut sebungkus makan siang yang terkadang bila beruntung hanya lauk rendang telor dan tumis kacang panjang.Mulut masih mengunyah makanan, tetiba sepasang mataku menangkap sosok perempuan yang dulu pernah mengisi hari dan hatiku. Aku tertegun sejenak, meski penampilannya berbeda, rambut sebahu yang di cat pirang dan kacamata yang ia kenakan.“Elvina? Apa aku tak salah lihat?” lirihku sendiri seraya terbengong melihat wanita itu melintas di dekatku. Pakaiannya sungguh modis, jaket denim serta rok plisket hitam, di tangannya membawa tas berisi dokumen. Aku sungguh tak percaya melihat pemandangan ini. Benarkah itu Elvina yang dulu kutinggalk
Part 68Pov Tiar ( terjadi sebelum ibu meninggal dunia ya )“Katakanlah, El. Ada hal penting apa yang ingin kau sampaikan?”Elvina terdiam, dia tampak ragu mengatakannya. Aku mendekat dan ingin menggenggam tangannya, tapi ia menepisku.“El, kamu kenapa? Bukankah kita masih ada ikatan? Aku masih boleh kan menggenggam tanganmu?”Elvina menggeleng. “Aku tahu, Mas. Tapi, aku yang sekarang bukan Elvina yang dulu lagi.” “Iya, maafkan aku, EL. Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menebus kesalahan yang sudah kuperbuat?”“Ikutlah sebentar dengan kami, Mas.”“Kami?”“Maksudnya bosku. Pak Chandra.”“Kenapa harus dia, ini masalah intern kita, El. Ya, ya, aku sadar, sekarang aku hanya seorang pekerja bangungan. Penampilanku pun begitu menyedihkan tak seperti dulu. Tapi—““Mas, ini gak ada hubungannya dengan pekerjaanmu.” Elvina menghela nafas dalam-dalam lalu menatapku tanpa berkedip. “Mas, bukankah kau ingin menebus kesalahan dan ingin mendapatkan maaf dariku?”“Iya El, tentu saja.” sahutku lag
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.