"Halo, sayang ...""Mas, kauu ...!!"Arini hendak menutup pintunya kembali tapi aku langsung mencegahnya. Hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Seberapa kuat tenaga wanita akan tetap kalah dengan kekuatan laki-laki."Ada apa kau kesini, Mas? Pergi, Mas! Cepat pergi!!" Dia berusaha mengusirku. Aku makin tersenyum penuh kemenangan melihat wajah cantiknya yang ketakutan. Ah Arini, andai saja kau mau menuruti keinginanku, aku takkan bersikap kasar padamu. Andai saja kau tetap polos seperti dulu, tidak mungkin aku seperti ini padamu, Arini. Ariniku sayang ..."Aku kangen padamu, Sayang. Rasanya sudah sangat lama, kita tidak--" "Plaaakk ...!!" Tiba-tiba Arini menamparku. Tamparannya itu cukup membuat pipi ini perih. Padahal tadi aku ingin menciumnya. Aku memajukan langkah sambil pandanganku mengedar ke sekeliling, menelisik rumah ini. Sempurna tak ada cela. Kenapa dia bisa tinggal di sini? Apa karena laki-laki itu? Aku mencekal tangannya, Arini tampak kesakitan. Kenapa dengan istriku i
Bolehkah aku menangis? Menangis bukan berarti lemah, hanya sebuah ungkapan meluapkan emosi. Aku benar-benar merasa sedih dan tertekan. Aku sangat lelah berpura-pura kuat dan tegar menjalani ini sendirian. Air mata ini tanpa terasa jatuh tanpa henti. Apa sebegini rapuhnya hati ini? Sudah menjauh dari rumah pun Mas Tiar masih selalu mengejarku. Kuusap kembali butiran bening yang menitik di pipi agar ibu tak melihatku mengeluarkan air mata.Tadi aku cukup shock melihat Mas Tiar menekan ibunya sendiri. Bahkan dia mengobrak-abrik isi lemari yang sudah kubereskan.Ibu menangis tergugu, membuatku makin iba padanya.Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Aku harus bagaimana? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku."Mas Tiar bilang apa aja sama ibu?" tanyaku saat ibu mulai tenang. Untunglah, Mas Tiar berhasil diusir pergi oleh Pak security."Dia mencari sertifikat rumah, Nak. Ibu bilang saja kalau mahar pernikahan tidak bisa diminta kembali. Dia justru marah-marah. Ibu malu, putra ibu
Kukepalkan tangan frustasi. Kenapa hati Arini belum luluh juga? Apa sudah tak ada ruang untukku bersamanya kembali?Rasanya aku benar-benar stress. Akhirnya aku kembali ke Cafe karena ada panggilan darurat dari Andri.***"El, buka pintunya!" teriakku saat pulang dari Cafe. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pintu tak kunjung dibuka. Jangan-jangan ancaman El benar? Aku harus tidur diluar? Alamak!"El, buka pintunya, Sayang!" Kuketuk pintu dengan kencang agar ia terbangun.Tak lama, El membukakan pintu. Wajahnya seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. Astaga, menyeramkan juga!"Pulang juga kamu, Mas?! Kupikir kau akan nginep di tempat Arini?"Aku tahu El kecewa. "Maafin aku El. Tolong jangan ngambek seperti ini. Aku bisa jelaskan.Elvina tak mengindahkanku. Kuikuti langkahnya ke kamar, tapi ia justru membawa bantal dan selimut."Malam ini kau jangan tidur di kamar, Mas! Terserah mau tidur dimana!"Hah? Astaga, Elvina kenapa begitu tega?"El, tapi--""Masih mending a
[Duri dalam rumah tangga itu harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya, agar ia tak menusuk dari belakang di saat kita lengah]Aku terhenyak membaca status WA Elvina. Apa dia tengah menyindirku? Mengatakan kalau aku ini duri?Usai menguploadnya, ia pun mengupload foto kebersamaannya dengan Mas Tiar. [Rumah baru, impian baru ... Semoga makin bahagia selalu]Aku tersenyum masam. Segera kubalas sindiran untuknya. [Tertawa, bangga dan bahagia karena berhasil merebut suami orang adalah ciri bahwa wanita itu sudah tidak punya urat malu]Setelah menyindirnya, segera kublokir sekalian nomor mereka. Bikin moodku hancur saja. Ingat ya disini bujan aku yang pelakor, melainkan dia.Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menetralisir segala rasa di dada. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan orang yang akan membeli rumah. Kami akan ketemuan langsung di lokasi. Mereka ingin melihat secara fisik rumah itu. Semoga semuanya harus jadi dan deal, agar aku bisa segera membawa ibu berobat dan terap
"Hei tau gak sih, ternyata bundanya Aqilla itu pelakor lho! Perebut laki orang!""Serius?""Iya. Gak nyangka kan? Padahal selama ini orangnya baik ya. Kok bisa sih rebut suami orang? Hiiih.""Aku pas diceritain saudaraku yang tinggal di kompleks rumah lakinya itu. Awalnya aku juga gak percaya. Tapi kenyataannya begitu lho!" "Jadi laki-laki yang sering datang ke rumahnya itu suami orang?""Iya, tapi lebih tepatnya itu mantan suaminya sendiri yang dia rebut lagi!""Lho dulu kenapa pisah?""Gak tahu lah ya, katanya sih dengar-dengar kabar dulu Bundanya Aqilla sendiri yang pergi dan sekarang setelah suaminya nikah lagi, dia malah kembali. Hadeeh gak habis pikir ya kenapa dulu pisah kalau sekarang rujuk lagi.""Udah gatel kali pengen digaruk. Jadi mantannya diembat lagi.""Bener ya, sebenarnya yang salah dua-duanya. Ulet bulu ketemu ulet bulu lainnya jadi gatel uget-ugetan.""Hahahaha ..." Tawa membahana meramaikan suasana pagi. "Hussh! Tawanya jangan keras-keras nanti orangnya denger lh
"Ck! Dasar ayah gak pengertian!""Sudah jangan mengeluh begitu, El. Kamu yang udah teledor naruh racun tikus sembarangan, anak-anak kan gak tahu itu apa! Jangan menyalahkan orang lain, El."Panggilan itu terputus begitu saja. Aku sempat shock dan tak mampu berpikir apapun lagi. Aqilla keracunan? Kemana saja El ini, kenapa tak menjaganya dengan baik. Semoga Aqilla selamat ya Allah. Jantungku berdetak dengan kencang, bahkan lutut terasa lemas dan lunglai. Kuusap wajah dengan kasar, lalu mengembuskan nafas panjang berkali-kali. Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang datang silih berganti.Belum juga masuk ke dalam cafe aku harus pergi lagi. Kuhubungi Andri, sahabat sekaligus bosku itu, meminta izin untuk ke rumah sakit. Sungguh aku tak enak hati, baru juga bekerja tapi sudah banyak izin."Apa? Anakmu keracunan?" tanya Andri di seberang telepon setelah kuberi tahu apa yang terjadi."Iya, bos. Aku mohon izin lagi.""Ya sudah cepat susul ke Rumah Sakit, gak usah pikirin pekerjaan dulu
[Arini maaf hari ini, aku gak bisa hadir di persidangan. Aqilla meninggal]Aku terbelalak membaca pesan dari nomor asing, ternyata milik Mas Tiar. Ia pun melampirkan foto wajah pucat Aqilla. Innalilahi wa innailaihi roji'un. Aku tak menyangka gadis kecil yang periang itu meninggal? Apa dia sakit?[Aku turut berbelasungkawa atas kepergian Aqilla. Apa Aqilla sakit?]Tak ada balasan, mungkin dia sibuk mengurus prosesi pemakamannya. Ya sudahlah, semuanya sudah ketentuan Allah. Semoga ada hikmah dibalik ini semua.Hari ini sidang keduaku, aku datang membawa saksi, Mbak Ulfa dan dokter Ardhy akan bersaksi di hadapan hakim.Ya sejak panggilan sidang yang pertama minggu lalu, aku berusaha menguatkan diri.Mudah-mudahan proses perceraianku tak membutuhkan waktu lama dan berbelit-belit, agar secepatnya lepas darinya, tak apa menjadi janda asalkan aku bahagia. Kan Kutawaringin calon bayi ini dan juga ibu sebisaku, semampuku. Semoga Allah meridhoi jalannya.Sebentar lagi kita akan berpisah, Mas.
"Mbak, apa-apaan kamu ini? Kenapa arogan sekali?!""Hei, kau tahu kenapa aku bersikap seperti ini padamu? Karena kamu yang sudah menghancurkan hidupku! Kamu mengambil semua milikku! Hidupku hancur sekarang, puas kamu!!" teriak El menggebu-gebu."Apa-apaan sih? Aku tidak melakukan apapun padamu, kenapa menuduhku sembarangan?! Itu semua bukan salahku, tapi karena takdir!" Arini tak terima dengan ucapan El. 'Enak saja, karena kematian anaknya aku yang disalahkan!' gerutu Arini."Dan Mbak, aku sudah resmi pisah dengan Mas Tiar! Jangan sangkut-pautkan aku lagi dengan hubungan kalian!"Keduanya beradu mulut dan semakin panas. Tiba-tiba, Elvina menyerang Arini, menarik kerudungnya hingga hampir terlepas. Tak mau kalah, Arini pun membalasnya. Ia menjambak rambut Elvina."Aw ... Sakit, Arini! Lepasin!" "Kau bilang kayak gini sakit? Kau duluan yang mulai! Memangnya kamu saja yang bisa bar-bar begini?!" Arini terus menyerangnya.Kondisi jalanan cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan, tapi ta
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.