Part 1
"Mas, hari ini jadi kan anterin aku check up ke dokter?"Dia yang tengah menyisir rambutnya, menoleh ke arahku sebentar, lalu menepuk jidatnya. "Duh, maaf Dek, barusan Mas udah janji sama Aqilla, mau anterin dia pergi ke Water Park.""Lho Mas, dari bulan kemarin kan udah janji mau anterin aku periksa kandungan?!" protesku."Maaf ya, Dek. Kamu pergi sendiri bisa 'kan? Mas udah janji nih sama Qilla, nanti dia malah nangis," sahutnya lagi. Aqilla adalah putrinya dari pernikahannya yang pertama.Dia bangkit lalu memberikan uang seratus ribuan sebanyak empat lembar. "Segini cukup kan buat USG ke dokter?! Mas berangkat dulu ya, jaga ibu baik-baik. Kalau kamu dah mau berangkat, sementara titipkan ibu ke Mbak Ulfa dulu saja."Belum kujawab ucapan darinya, dia sudah berlalu begitu saja. Penampilannya hari ini begitu rapi, kemeja kotak-kotak warna biru yang ditekuk sampai siku membalut tubuhnya yang tegap dan tinggi.Aku hanya mampu menghela nafas, bukan sekali dua kali dia menolak bila kuajak pergi dengan dalih akan menemani Aqilla main atau pergi jalan-jalan kemana, sudah tentu bersama dengan ibunya yang tak lain tak bukan adalah sang mantan istri.Cemburu? Ya, bukankah itu hal yang lumrah? Mereka pergi bersama sedangkan sudah tak ada ikatan perkawinan. Meskipun alasannya adalah Aqilla, tapi ...Padahal akupun ingin ditemani oleh suamiku untuk periksa ke dokter kandungan. Kini aku tengah mengandung empat bulan, buah cintaku dengannya.Praaannkk ... Terdengar suara gelas pecah dari kamar ibu mertua. Gegas aku berlari menghampirinya. Wanita renta itu tengah bersusah payah mengambil gelas minumannya."Astaghfirullah, ibu gak apa-apa, Bu?" Aku berusaha menolongnya, lalu membenarkan tidurnya kembali."Ibu mau minum?"Ibu mengangguk pelan."Ibu tunggu di sini sebentar ya, biar aku ambilkan.""Maaf Nak, gelasnya jadi pecah," sahut ibu mertuaku lirih."Tidak apa-apa, Bu. Ini biar nanti kubersihkan."Aku kembali dengan membawa satu gelas air minum untuknya."Terima kasih, Nak. Mana Bachtiar? Bukankah hari ini kalian mau pergi ke dokter?""Tidak jadi, Bu. Mas Bachtiar udah pergi mau nemenin Aqilla.""Lho?!""Ibu tenang saja, aku bisa berangkat sendiri kok.""Hati-hati ya, Nak. Maafkan putra ibu--" Ucapannya menggantung di udara.Aku mengangguk dan tersenyum walau dalam hati terasa perih. Untunglah aku tak merasa kepayahan saat hamil muda ini, tak merasa ngidam ataupun morning sick. Semuanya baik-baik saja.Selang beberapa jam, kulihat status WA suamiku dan mantan istrinya mereka sama-sama memasang story dan profil yang sama. Aqilla di tengah-tengah lalu keduanya mencium pipi Aqilla. Selain itu, mengunggah sebuah video yang memperlihatkan sebuah kebersamaan mereka layaknya keluarga yang utuh dan bahagia."Alhamdulillah bayinya sehat, Bu," tuturku pada sang ibu mertua sekembalinya dari klinik."Alhamdulillah ..." Wanita yang sudah sepuh itu ikut tersenyum mendengarnya."Nih tadi aku sekalian mampir, beliin bubur ayam buat ibu. Ibu makan ya!"Ibu mengangguk lagi. Segera kuambil mangkuk dan menghidangkan bubur ayam itu ke atasnya. Perlahan aku menyuapinya dengan penuh kasih. Ibu mertuaku sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Saat ini beliau memang tengah sakit, tak bisa berjalan lagi, akibat kecelakaan saat menolong cucunya yang hampir tertabrak mobil."Terima kasih, Arini. Kau baik sekali pada ibu. Tak seperti Elvina yang selalu marah-marah," ucap ibu dengan mata berkaca-kaca."Bersyukur Bachtiar sudah lepas dari wanita itu dan menikahi wanita sebaik kamu. Tetap jadi menantu ibu ya, Nak," lanjutnya lagi sembari meraih tanganku.Aku tersenyum. Inginku juga seperti itu, Bu. Tapi semua tergantung Mas Bachtiar.Katanya dulu pernikahan Mas Bachtiar dengan Elvina kandas karena mantan istrinya memilih pergi meninggalkan sang suami. Dia sudah tak tahan bila harus merawat sang ibu mertua yang sakit-sakitan.Mas Bachtiar datang kepadaku dan melamarku saat dia sudah menjadi duda. Aku menerimanya mengingat ada tuntutan dari orang tua untuk segera menikah agar tak menjadi perawan tua.Malam itu suamiku pulang dengan wajah yang begitu sumringah. Dia terus senyum-senyum sendiri. Tanpa diminta dia menceritakan keseruannya di Water Park bersama Aqilla dan mantan istrinya."Tadi seru banget Dek, Aqilla kelihatan sangat bahagia. Tapi waktu jadi cepat berlalu. Gak kerasa tau-tau sudah sore aja."***Hari-hari selanjutnya, Mas Bachtiar sering pulang telat dari kantor. Dia berdalih habis bertemu dengan Aqilla. Tentu, sang mantan istrinya selalu upload kebersamaannya itu di sosial media."Dek, ini uang jatah bulananmu. Harus cukup semuanya ya, termasuk untuk menebus obatnya ibu," ujar Mas Bachtiar, sembari menyerahkan sebuah amplop coklat.Aku meraih dan menghitung isinya, tiga puluh lembar uang seratus ribuan. "Mas, kok ini berkurang? Biasanya kamu ngasih aku lima juta?""Iya Dek, yang dua juta mas ambil buat nambahin jatah Aqilla dah mau sekolah TK.""Apa? Bukannya Aqilla dah ada jatah sendiri ya, Mas? Kenapa malah ambil jatahku?""Oh, jadi sekarang kamu kayak gini ya Dek?! Perhitungan sama anakku, iya?!""Bukan begitu, Mas--""Ah, sudahlah! Mas gak mau berdebat lagi! Mas menikahimu itu agar kamu mau mengerti keadaanku! Pokoknya kamu harus terima apapun keputusanku!"Seketika aku terdiam. Kenapa sekarang perangai Mas Tiar berubah? Tak seperti dulu saat memintaku untuk menjadi istrinya demi ada yang membantunya merawat sang ibunda tercinta?Entah kenapa rasanya begitu sesak sekali, dulu aku sudah meminta agar Aqilla tinggal bersama kami saja, aku akan berusaha jadi ibu sambung yang baik untuknya. Tapi mantan istrinya menangis, ia keberatan."Mas, kita memang sudah berpisah, tapi jangan pisahkan aku dengan Aqilla. Dia anakku, Mas! Aku gak bisa hidup tanpanya!" Ia menangis sambil meraung saat kami ingin menjemput Aqilla untuk tinggal bersama.***[Buat orang ketiga yang sok cantik, kecantikanmu itu racun yang membuatmu bahagia bersama lelakiku. Selamat menikmati durinya nanti]Aku terkesiap melihat status WA mantan istri suamiku. Siapa yang dimaksud orang ketiga?Tak mau ambil pusing dengan postingannya akhir-akhir ini, lebih baik aku fokus pada keluargaku. Walaupun entah mau dibawa kemana hubungan ini.Sore itu, Mas Tiar pulang dengan wajah lesu. Tumben dia pun pulang cepat tak seperti biasanya."Dek, di kantor ada efisiensi karyawan, dan Mas salah satu yang terkena imbasnya. Mas kena PHK, Dek," tuturnya sembari mengusap wajah dengan kasar.Aku masih terdiam."Kamu masih punya uang simpanan kan, Dek? Kalau ada Mas pinjam dulu 15 juta. Tagihan cicilan mobil dan rumah paling lambat disetorkan besok. Mas pusing dah gak punya uang sepeserpun lagi. Tadi rekan kerja di kantor juga pada nagih utang. Pusing aku!"Aku mengerutkan kening. Memang masih ada Mas, sisa uang belanja dari kamu sudah kubelikan logam mulia tanpa sepengetahuanmu, tentu saja. Buat jaga-jaga biaya persalinanku nanti, karena sikap suamiku yang mulai berubah."Bukannya uang cicilan mobil sudah ada sendiri, Mas?""Sudah kepake buat jalan-jalan sama Aqilla dan beli mainannya.""Terus buat apa kamu utang ke temen-temen kantor? Lalu cicilan rumah, maksudnya rumah siapa, Mas? Mantan istrimu?"Mas Tiar menunduk, tak berani menjawabnya. Aku tahu semua pasti karena permintaan mantan istrinya itu.Aku menghela nafas dalam-dalam. Lalu mengeluarkan motor yang kubeli sejak masih gadis."Dek, kamu mau kemana?" tanyanya sembari bangkit menghampiriku."Aku tahu siapa yang bisa membantumu, Mas!""Siapa?""Ayo ikut saja!"Lelaki itupun naik ke boncengan motorku. Motor melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke sebuah kompleks perumahan. Lalu, berhenti di depan rumah minimalis ber-cat biru itu.Seorang wanita dan putrinya tengah berada di teras. Dia langsung menghampiri kami, apalagi si kecil Aqilla langsung memanggil ayah."Lho kok kesini, Dek?" tanyanya heran.Aku tersenyum masam."Ada apa ya kalian kesini?" tanya Elvina kebingungan. Wajahnya nampak sinis menatapku. Pasalnya Mas Tiar biasa berkunjung ke rumah ini sendiri."Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!"Part 2 "Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!"Mas Tiar dan Elvina terbengong mendengar ucapanku. Mereka saling berpandangan lalu kembali menatapku dengan heran."Lho, apa maksudnya ini?" tanya Elvina lagi."Arini, apa-apaan maksudmu seperti ini? Memangnya aku barang pinjaman sampai dibalikin segala?!" tukas suamiku."Bukankah kalian masih saling cinta? Aku hanya menyatukan dua hati yang terpisah untuk kembali bersama lagi, kalian rujuk saja, aku yang mundur," jawabku."Ini gak lucu, Arini!" tukas Mas Bachtiar."Ya, emang! Dan aku lagi gak ngelawak, Mas!" Nada suaraku mulai meninggi. "Ayah, Tante, kenapa bertengkar?" celetuk si kecil Aqilla. Bocah cantik itu bertanya dengan polosnya membuatku menghela nafas berkali-kali. Ah, kenapa aku jadi susah mengontrol emosi seperti ini.Mas Tiar menatap putrinya lalu kembali menatap wanita yang sudah pernah menjadi istrinya itu memberi kode supaya Aqilla masuk ke dalam rumah."Ayo sayang, kita masuk!" ucap Elvina dengan nada lembut. Wanita b
Part 3Aku berlalu ke dalam tapi dia langsung menarik tanganku."Dek, kenapa kau tega berkata seperti ini padaku? Apa maksudnya ini?" Dia memasang nada suara memelas dengan tatapan begitu sayu penuh permohonan. "Aku salah apa sama kamu, Dek? Kenapa sikapmu jadi berubah seperti ini? Aku ini kan suamimu, sudah tentu aku pulang kesini. Kenapa kau malah ingin mengusirku?""Dasar laki-laki tidak peka!" Kukibaskan tanganku darinya. "Kamu itu laki-laki egois ya Mas, kalau senang-senang kamu pergi sama mantanmu, giliran pusing aku disuruh ikut nanggung! Mikir dong, Mas! Mikiiiirrr!! Kamu masih punya otak kan?"Gara-gara nada suaraku yang meninggi, para tetangga berhamburan keluar. Gegas aku masuk ke dalam dan menutup pintu cukup keras. Braaakk ...!Sabar, Arini, sabar.Rupanya tak kehilangan akal. Mas Tiar masuk melalui jendela kamar ibu yang terbuka lebar. Ya, di kamar ibu dipasang jendela yang lebar agar ia bisa melihat pemandangan luar. Biar ibu tak bosan berada di dalam kamarnya. Dia sel
Part 4Aku mengusap wajah dengan kasar. Melihat Arini pergi meninggalkanku sendiri di depan rumah Elvina.Apa-apaan maksudnya itu?! Mengembalikanku pada Elvina? Dia pikir aku barang?! Tak habis pikir dengan pemikirannya yang sembrono. Bikin makin pusing aja hidupku ini. Masalah hutang piutang belum beres, dia malah menelantarkanku di sini.Kuembuskan nafas panjang berkali-kali sambil berkacak pinggang. Istriku itu sudah tak terlihat dalam pandangan lagi. Tak bisa dibiarkan dia menghinaku dan berlaku tak sopan seperti ini padaku. Awas saja kalau aku pulang ke rumah, biar kuberi pelajaran kamu, Arini! Aku heran aja, kenapa tingkahnya sekarang berbeda, tidak seperti Arini yang kukenal awal dulu, seorang perempuan yang sangat lembut.Arrghh! Kepalaku terasa berdenyut-denyut memikirkan segala masalah hari ini. Bagaimana aku mendapatkan uang itu? Padahal aku sangat yakin kalau Arini punya simpanan uang, jatah bulananku pasti lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kebutuhan
Part 5Aku tak pernah tahu Arini akan marah besar atas sikapku selama ini. Kami bertengkar hebat. Biasanya Arini selalu diam tapi kini dia berani marah-marah gak jelas bahkan mengusirku dari rumah sendiri. Bahkan aku sangat shock saat dia mengatakan ingin pisah dariku di depan ibu. Apakah dia tidak memikirkan perasaan ibu? "Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!""Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--" Dia menggeleng cepat, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat kecewa. Aku benar-benar shock mendengarnya. Apalagi terngiang semua ucapannya. 'Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu?'Ungkapan kekesalannya itu seperti tamparan bertubi-tubi untukku.
"Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!""Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri."Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!""Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu." "Apa pedulimu melarangku marah-marah?""Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi."Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kem
Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk. Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya. "Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya,
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.