Walaupun Dani dan Annisa telah resmi bercerai, ternyata Ibu Dani belum merasa puas. Ia memiliki rencana lain untuk menghancurkan hidup Annisa. Dengan nomor ponsel dan akun media sosial baru, Ibu mertua Annisa itu menyebarkan foto-foto Annisa dan Dani. Sontak berita mengenai perselingkuhan Annisa mulai menyebar luas. Siang itu, Karina datang ke kios dengan terburu-buru dan segera meminta karyawan Annisa menutup kios itu lebih cepat. Setelah semua karyawan pulang, Karina mengajak Annisa berbincang dengan serius. "Ada apa, Rin? Apa ada masalah?" tanya Annisa bingung. "Gawat, Nis. Berita mengenai hubunganmu dan Surya sudah menyebar luas. Ada yang dengan sengaja menyebarkan foto-foto mesra kalian," jawab Karina. "Apa?!" Annisa segera mengambil ponselnya dan benar saja, ada sebuah nomor asing mengirimkan foto-foto itu. "Siapa orang yang tega berbuat seperti ini?" ujar Annisa sambil menatap layar gawainya. "Itu belum seberapa, Nis. Lihat ini! Foto-foto itu juga disebarkan di media so
"Makan, Fira! Apa susahnya sih buka mulut? Nenek gak bisa menyuapi kamu seharian. Dasar anak manja! Ini rumah Nenek, bukan rumah mamamu. Kamu harus ikuti aturan Nenek," teriakan Ibu Dani selalu menggema sepanjang hari sejak Shafira dan Bagas tinggal di rumahnya. Bagi para tetangga, tangisan Shafira dan Bagas juga sudah menjadi makanan sehari-hari. "Fira mau sama mama," tangis Shafira yang kini semakin kurus dan tak terurus. Seperti pagi itu, Shafira dan Bagas belum mandi, rambut Shafira masih acak-acakan, dan air mata mengalir di kedua pipi mungilnya. Tak jauh berbeda dengan keadaan Bagas, semenjak dia diasuh oleh neneknya, ia semakin rewel dan kurus. Shafira dan Bagas telah kehilangan senyum ceria dan hari-hari bahagia mereka. Shafira bahkan beberapa kali membolos sekolah dalam satu bulan. "Jangan sebut tentang mama kalian lagi! Dia sudah pergi meninggalkan kalian dan gak akan kembali. Kalian sekarang cuma punya papa dan Nenek," teriak Ibu Dani. "Nenek bohong! Mama Fira bukan
Shafira dan Bagas segera masuk ke dalam kamarnya. Dani beralih menatap ibu yang tertunduk di hadapannya. "Jelaskan padaku, Bu! Mengapa Ibu tega melakukan itu pada mereka?"Dani berusaha tetap mengontrol emosi dan suaranya, agar Fira dan Bagas tidak merasa terkejut lagi. "Maafkan Ibu, Nak. Kamu harus tahu, bahwa perubahan ini juga sangat tiba-tiba dan Ibu perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Sudah lama Ibu tidak mengurus anak kecil. Shafira dan Bagas sangat aktif dan juga sering rewel, membuat Ibu merasa kelelahan dan kewalahan mengasuh mereka," jawabnya. "Bu, namanya juga anak kecil, wajar kalau mereka seperti itu. Apalagi mereka baru saja berpisah dari mamanya. Ibu juga sudah bersedia untuk merawat mereka saat aku bekerja, bukan?" tanya Dani. "Iya, Nak. Ini memang salah Ibu. Ibu gak bisa mengendalikan diri saat berhadapan dengan mereka. Ulah mereka sering memancing kemarahan Ibu dan membuat kesabaran Ibu habis. Tapi Ibu janji akan berubah, Nak. Ibu akan berusaha untuk lebih sabar
Akhir pekan itu, Dani berusaha mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk Shafira dan Bagas. Dahulu saat akhir pekan Dani dan Annisa sering mengajak Shafira dan Bagas berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan atau makan di luar. Dani mencoba mengembalikan kebahagiaan itu untuk anak-anaknya. "Fira, hari ini Papa libur. Ayo kita pergi jalan-jalan!" kata Dani. Shafira tersenyum dan matanya berbinar karena menyangka mereka akan pergi bersama Annisa seperti dahulu. "Apa kita akan pergi bersama mama?" tanya Shafira. "Bukan, Sayang. Kita pergi bertiga saja. Atau ajak nenek ikut dengan kita?" kata Dani. Raut wajah Shafira seketika berubah, matanya berkaca-kaca seperti hampir menangis. "Fira cuma mau pergi bersama mama," rengek Shafira. Dani menghela nafas panjang, ia berusaha tidak terpancing emosi saat meladeni putri kecilnya itu. "Mama sedang sibuk, Nak," jawab Dani. "Papa sudah telepon mama? Coba Fira yang telepon mama. Mama pasti mau pergi bersama kita. Fira mau bermain dan makan es kri
Annisa memilih diam, tak menjawab lagi perkataan Dani itu. Ia tidak mau memancing kemarahan Dani kembali dan memperkeruh suasana. Annisa takut Dani akan merubah pikirannya dan membawa Shafira dan Bagas lagi. Dani langsung melangkah pergi, meninggalkan kios itu. Kios itu kini hanya menjadi saksi bisu, bahwa di situ pernah ada kebahagiaan, cinta, dan kehangatan di antara mereka. Sekarang yang ada hanyalah kenangan yang akan selalu hadir mewarnai langkah Annisa. Annisa masih mengingat ucapan Dani, yang akan membangun istana untuk keluarga kecil mereka. Sebuah rumah yang penuh kehangatan, tempat mereka berbagi cinta, suka dan bersama. Dani dan Annisa pernah bermimpi untuk menyaksikan anak-anak mereka bertumbuh besar, menua bersama dan merajut hari-hari nan indah. Namun semua impian itu menguap bahkan sebelum sempat diraih. Annisa berbalik dan menatap kedua anaknya, yang terpenting baginya saat ini adalah bisa bersama dengan mereka. Setiap detik terlalu berharga saat dirinya bisa bersam
Malam itu Annisa tak ingin memejamkan mata. Annisa memikirkan hal yang sama dengan Shafira tadi. Jika ia tertidur atau memejamkan mata, waktu akan berlalu dengan sangat cepat. Ia tidak rela melepaskan kembali anak-anak yang sangat disayanginya. Shafira dan Bagas adalah nafas hidup Annisa saat ini. Sepanjang malam sampai menjelang pagi, Annisa hanya memandangi wajah Shafira dan Bagas dan berulang kali menciumi mereka. Tanpa terasa air mata Annisa mengalir, ia berusaha agar suara tangisnya tidak terdengar. Namun Karina bisa mengerti perasaan Annisa, ia membuka matanya perlahan dan menatapnya dengan iba. "Nis, ada apa?" tanya Karina. "Aku gak mau kehilangan mereka lagi, Rin. Apa kamu punya cara supaya aku tetap bisa bersama dengan anak-anakku?" jawab Annisa. "Seharusnya kamu bicarakan baik-baik dengan Dani, Nis," kata Karina sambil bangun perlahan dan duduk. "Aku sudah mencobanya, Rin. Tapi Mas Dani tetap bersikeras akan tetap mengasuh mereka. Bahkan Mas Dani gak mau memberi waktu
Karina segera menelepon kedua orang tuanya dan menjelaskan tentang kedatangan Annisa yang mendadak. Orang tua Karina sempat terkejut, karena tidak menyangka hidup rumah tangga Annisa masih terus dirundung masalah. Sekalipun ia sudah bercerai dengan suaminya, Annisa belum bisa hidup dengan tenang. Apalagi mantan suami dan mertua Annisa melarangnya untuk bertemu dengan anaknya sendiri. Setelah itu, Karina segera kembali ke kios Annisa. Hari mulai pagi, dan karyawan Annisa sudah datang untuk bekerja. Karina menjelaskan pula pada karyawan itu, semua masalah yang terjadi dan keputusan Annisa untuk pergi dari kota ini. Karina meminta karyawan itu untuk merahasiakan kepergian Annisa dari mantan suaminya. Karyawan yang telah mengenal Annisa dengan sangat baik itu berjanji akan menjaga rahasia. Sinar mentari perlahan mulai menembus celah jendela kereta api. Annisa memeluk kedua buah hatinya yang tersenyum ceria. Ini pengalaman pertama bagi Shafira bisa pergi menggunakan kereta api. Ia dan Ba
Hampir dua jam berlalu, Dani melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia mendesah, tak terhitung berapa kali ia melihat ke arah pintu. Dani berdiri, lalu berjalan bolak-balik dengan gelisah.Karyawan Annisa melirik Dani, sebentar lagi pasti kemarahan Dani akan meledak seperti bom waktu. "Lama sekali Annisa. Apa kamu yakin mereka cuma ke pusat perbelanjaan?" tanya Dani dengan tatapan menyelidik. "I-iya, Mas," jawabnya dengan wajah mulai pucat karena takut. Dani mencoba menghubungi Annisa, tapi nomor ponsel mantan istrinya itu tidak dapat dihubungi. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Apa mereka pergi bersama Karina?" tanya Dani. "Saya gak tahu, Mas," jawab wanita itu tanpa memandang mata Dani. Tidak ada pilihan lain, Dani mencoba menghubungi Karina. Panggilan telepon itu tersambung, namun Karina tidak menjawabnya. Dani mendengus kesal, ia kembali berjalan keluar dari pintu kios dan mencoba melihat ke arah jalan. "Kemana mereka? Kenapa tidak menjawab teleponku? Apa Annisa
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W