Dani berjalan sempoyongan, sesekali ia meracau, menangis, dan memaki. Hidupnya hancur dan kebahagiaan dalam genggamannya lenyap. Ia seakan melayang, tak punya penopang untuk sekedar berpaut dan berdiri tegak. Dani, seorang yang telah kehilangan semua mimpi masa mudanya. Istri, anak, dan bahagianya bagaikan tertiup angin, lenyap seketika bagaikan mimpi buruk yang datang hanya dalam satu malam. Yang membuatnya lebih merana adalah saat realita menyatakan bahwa sang ibunda yang menjadi dalang atas semua hal yang terjadi. Patutnya dia masih bersyukur, karena Surya dan Annisa tidak memperpanjang masalah ini dan menempuh jalur hukum. Jika tidak, ia mungkin takkan sanggup melihat ibunya menghabiskan sisa usia di balik jeruji besi. Pikiran Dani terasa buntu, ia tak berani bermimpi lagi tentang masa depan, karena semua rajutan impiannya telah hancur seketika. Seharusnya, ia masih berbahagia dan melanjutkan hidup bersama Annisa, Shafira, dan Bagas. Namun apalah daya, kini Dani cukup tahu dir
Ketukan pintu yang keras memaksa Dani membuka matanya yang berat. Setengah sadar ia mencoba bangkit dan hendak menuju pintu itu. Namun ia tersadar melihat tubuhnya polos tanpa sehelai benangpun. Dengan cepat disambarnya celana dan kemejanya, lalu berlari ke pintu itu. Otak dan kesadaran Dani belum terkumpul sempurna. Ia belum menyadari sepenuhnya, dimana ia berada saat ini. "Hmm?" Dani membuka pintu kamar dan melihat seorang pria berseragam seperti petugas hotel berdiri di hadapannya. "Pak, maaf. Waktu menginap anda sudah habis. Apa anda mau memperpanjangnya lagi?" Dani menggaruk kepalanya dengan bingung, lalu menjawab sekenanya. "Aku akan keluar sekarang," Dani kembali menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur. Ia terkejut melihat sesosok tubuh yang berbaring di tempat tidur itu. Dani mulai berpikir dengan keras, dengan siapa semalam dia tidur? Dani mengamati gadis itu, rambutnya hitam dan panjang, agak berantakan dan sebagian menutupi wajahnya. 'Siapa wanita ini? Bukankah
Sore itu Surya kembali mengunjungi kios Annisa. Ia memang sering singgah ke kios itu untuk menjenguk Shafira dan Bagas. Surya sering membawakan makanan atau buah untuk anak-anak yang lucu dan menggemaskan itu. Annisa awalnya merasa sungkan, ia juga cemas dengan penilaian orang-orang, karena semua yang melihat video itu mengetahui bahwa Surya adalah pria yang ada di video itu bersama Annisa. Annisa sempat berkata pada Surya, "Mas, sebaiknya kamu jangan terlalu sering datang kemari,""Kenapa, Nis?" tanya Surya. "Aku hanya takut dengan penilaian orang-orang, Mas. Kalau mereka melihat kita berhubungan, mungkin saja mereka akan berpikir bahwa video itu benar. Padahal susah payah kita menjelaskan dan meyakinkan mereka," jawab Annisa. Surya justru tersenyum dan menjawab, "Biarkan saja orang lain menarik kesimpulan seperti itu, Nis. Kita yang tahu pasti apa yang terjadi. Aku pikir sekarang juga tidak ada yang terganggu dengan hubungan kita. Kamu sudah bercerai dengan Dani. Aku sudah perna
Seperti hari-hari sebelumnya, Surya singgah ke kios Annisa sepulang bekerja. Mereka menghabiskan waktu dengan makan malam bersama, membantu Shafira mengerjakan tugas sekolah dan menonton televisi. Menjelang pukul sembilan malam, Surya baru berpamitan untuk pulang ke rumahnya. Malam itu, Karina baru saja tiba di dekat kios Annisa. Ia sudah melihat mobil Surya terparkir di depan kios. Karina sengaja berhenti dan melihat Surya sedang berpamitan dengan Shafira dan Bagas. Surya mencium kedua anak itu bergantian, lalu melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobilnya. Di belakang Shafira dan Bagas, Annisa tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Mereka sudah seperti keluarga bahagia, sehingga tidak menyadari mobil Karina yang terparkir tak jauh dari situ. Karina memejamkan matanya sejenak, ia sempat membayangkan impian masa depannya bersama pria seperti Surya. Dahulu Karina tidak pernah memimpikan semua itu, tetapi kini, mungkin karena usianya sudah matang, sering kerinduan itu timbul dalam h
Annisa dan Surya membantu Jhon untuk membuat janji dengan Karina. Malam itu mereka sudah berada di sebuah kafe dan menunggu Karina datang. Karina yang tidak merasa curiga menerima ajakan Annisa untuk datang ke kafe tersebut. Ketika Karina tiba dan melihat Jhon, spontan ia menghentikan langkahnya. Karina terkejut melihat pria itu ada di situ. Annisa langsung mengejar Karina yang hendak berbalik dan meninggalkan tempat itu. "Rin, tunggu!" kata Annisa. "Kenapa dia ada di sini, Nis? Kamu sengaja menjebak aku untuk bertemu dengannya? Kamu kan tahu perasaanku padanya, Nis. Kenapa kamu berbuat seperti itu?" kata Karina. "Rin, maaf kalau aku berbuat lancang. Tapi aku dan Mas Surya melihat Jhon orang yang serius dan tulus. Dia khusus datang kemari untuk bertemu dengan kamu, Rin. Temuilah dia dan bicara baik-baik!" Karina menyibak rambut panjangnya dan menghela nafas, lalu mengalah dan mengikuti langkah Annisa menuju meja mereka. Jhon berdiri dan menjabat tangan Karina, "Rin, bagaimana ka
"Aku dipecat, Bu," kata Dani pada ibunya. "Apa?! Lalu bagaimana hidup kita selanjutnya, Dan? Bagaimana kita bisa membayar semua cicilan dan biaya hidup? Kamu keterlaluan, Dani! Ibu sudah mengingatkan kamu untuk bekerja dengan baik, tapi apa yang kamu perbuat? Kamu malah bersikap seenaknya," oceh Ibu Dani. "Sudahlah, Bu. Aku pusing," ujar Dani sambil meninggalkan ibunya. "Cari pekerjaan itu susah, kamu malah menyia-nyiakan kesempatan. Ibu kesal sekali padamu! Kenapa kamu jadi sebodoh ini, Dani?""Aku sudah lelah, Bu. Untuk apa aku bekerja keras? Untuk siapa? Aku sudah kehilangan semua kebahagiaan dan tujuan hidupku," jawabnya.Dani masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan ibunya yang terpaku. Ibu Dani melihat perabotan yang sangat disayanginya dan dipilihnya dengan sepenuh hati. 'Ini semua karena Annisa. Aku gak mau kehilangan barang-barang dan rumah ini. Apa yang harus aku lakukan?' pikir Ibu Dani. 'Kenapa aku punya dua anak yang sangat bodoh? Mudah jatuh hati pada orang yang sal
Sampai sore hari, makanan yang dijual oleh Ibu Dani masih banyak dan hanya berkurang dia porsi. Ibu Dani mulai memasukkan makanan itu ke dalam rumah. Ia menatap lemas barang dagangannya itu, karena hasil penjualannya tidak sesuai dengan harapan. 'Mengapa masakanku tidak laku terjual? Bagaimana aku bisa membayar hutang pada Bu Ifa?' pikirnya. Dani keluar dari kamar dan melihat banyak makanan di meja makan. Tapi sejujurnya makanan itu sudah tidak menggugah selera. "Kenapa masih sebanyak ini, Bu?" tanya Dani. "Ah, Ibu juga gak tahu. Sudah bangun pagi dan lelah memasak, menunggu pembeli seharian, tapi hasilnya seperti ini," keluh Ibu Dani. Dani duduk di kursi meja makan dan melihat semua sayuran, lauk, dan gorengan itu. Ia melihat wajah ibu yang masam dan membuatnya merasa tidak tega sekaligus ingin tertawa. Dalam hati Dani berkata, seharusnya ibunya sadar diri dan tidak terlalu memaksakan diri. Selama ini ibunya memang tidak pintar memasak. "Lalu untuk apa makanan sebanyak ini, Bu?
"Iya, Pak. Saya pasti akan membayarnya. Mohon beri saya waktu lagi," jawab Ibu Dani. "Kami beri waktu sampai minggu depan. Kalau tidak dibayar juga, kami terpaksa mengambil kembali barang-barang itu," kata pria itu. Ibu Dani meletakkan ponselnya kembali di atas meja dan menangis lagi. "Ada apa lagi, Bu? Telepon dari siapa?" tanya Dani. "Dari orang yang menagih angsuran barang-barang ini. Kalau sampai minggu depan kita gak bisa membayar, mereka akan mengambil semuanya," jawab Ibu Dani. Dani mengacak rambutnya dengan frustasi. "Dari awal Dani memang gak setuju dengan ide Ibu untuk mengambil kredit, kan? Inilah akibatnya," kata Dani. "Ini semua karena kamu! Karena kamu gak becus bekerja. Seharusnya kalau kamu masih bekerja di kantor itu, semuanya pasti bisa terbayar," ucap Ibu Dani. Dani beranjak dari sofa dan menjawab, "Ibu selalu menyalahkan aku, padahal Ibu yang egois dan gak mau mendengar saranku dari awal,""Kamu memang gak menghormati Ibu. Mau kemana sekarang? Jangan lari d
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W