"Saya tidak butuh uang Tante," jawab Annisa. Calon mertua Annisa itu malah tersenyum mengejek, lalu menjawab, "Jangan munafik! Jaman sekarang mana ada yang menolak uang? Kamu pasti membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu dan menopang usahamu. Saya sudah banyak berjumpa dengan wanita seperti kamu, yang memanfaatkan pria untuk meraih keuntungan dengan jalan pintas. Tapi asal kamu tahu, jika kamu menikah dengan Surya, kamu juga tidak akan mendapat kekayaan keluarga ini. Jadi tidak perlu repot-repot, menyerah saja sekarang atau kamu malah kehilangan semuanya!""Maaf, Nyonya yang terhormat! Nyonya memang berkelas dan berpendidikan tinggi, tapi sayangnya anda menilai segala sesuatu dengan uang. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak membutuhkan sepeserpun uang dari keluarga ini. Saya masih mempunyai dua kaki dan dua tangan untuk bekerja dan menghasilkan uang dengan cara yang halal. Dari awal saya sudah mengatakan pada Mas Surya, jika keluarga ini memang tidak bisa meneri
Winda berlari kembali ke kamar mandi. Pagi ini sudah tiga kali lebih ia bolak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Bahkan saat ini rasanya sudah tidak ada lagi yang tersisa di dalam perutnya, hanya rasa pahit yang masih terasa menyiksa. Winda berdiri di depan wastafel, sesekali ia membungkuk dan bertopang pada kedua sisinya. "Wuek.. Wuek.." Winda kembali memutar keran wastafel itu dan membasuh mulutnya dengan air. Ia belum pernah mengalami ini sebelumnya. Rasanya tubuhnya sakit dan lemas, nyaris tidak ada tenaga, kepalanya pusing, dan rasa mual yang sangat menyiksa. Setelah rasa mual mulai berkurang, Winda berjalan ke tempat tidurnya dan membaringkan diri. Ia berusaha mengingat makanan apa yang ia makan semalam. Sepertinya ia tidak memakan sesuatu yang salah. Anna yang baru saja kembali setelah membeli sarapan. Ia membuka pintu kamar sambil membawa plastik berisi dua bungkus makanan. "Win, masih sakit? Wajahmu pucat sekali," kata Anna. Winda hanya menganggukkan
Sudah dia hari Winda tidak keluar dari kamarnya. Ia hanya duduk di tempat tidur, melamun, menangis, dan berpikir. Penyesalan pasti ada, karena ternyata jalan pintas yang ia pilih langsung memberikan akibat yang nyata dan tak terduga baginya. Usianya masih sangat muda, ia ingin meraih cita-cita dan impian. Tapi kini ia dihadapkan pada kenyataan untuk menjadi seorang ibu muda tanpa suami. Air mata Winda mulai mengering, rasa mual masih menyerang dan menjadi lebih hebat dari sebelumnya. Winda meremas ujung bantal di pelukannya. Rasanya otaknya hampir meledak, memikirkan jalan keluar yang harus ia tempuh. "Win, makan dulu!" kata Anna sambil menyerahkan piring dan satu plastik berisi nasi bungkus. Winda menerimanya dan memaksakan diri tersenyum. Ia membuka bungkusan makanan itu dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya. Sejak kemarin, Winda belum makan apapun, bahkan seluruh isi perutnya keluar terus menerus. Ia merasa sangat lemas dan tersiksa. "Bagaimana, Win? Apa kamu sudah
"Kalian siapa? Mengapa mencari anak saya?" tanya Ibu Dani. "Ada sesuatu yang penting yang harus kami bicarakan dengan Dani," jawab Anna. "Tunggu saja di teras, saya panggilkan anak saya dulu," Anna dan Winda duduk di kursi yang tersedia di teras itu. Winda beberapa kali menarik nafas panjang dan terlihat gelisah. "Selamat sore, apa kalian mencari saya?" suara seorang pria terdengar di dekat mereka. Anna dan Winda berdiri dan melihat ke arah Dani. Winda mengamati pria itu beberapa saat lamanya, ia berusaha mengumpulkan ingatannya. Winda merasa yakin, bahwa pria itulah yang ada di hotel saat ia bangun dan tersadar di pagi itu. "Mas, masih ingat aku?" tanya Winda. Dani mengerutkan keningnya, menatap gadis muda di hadapannya dari atas hingga bawah. Ia merasa tidak mengenal gadis kurus itu. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Dani. Winda menghembuskan nafas kecewa, karena ternyata pria yang tidur bersamanya itu melupakan dia begitu cepat. Mungkin seperti pria lain yang men
Winda dan Anna pulang ke tempat kos mereka dengan secercah harapan. Winda berharap ucapan Dani itu benar adanya, kalau ia mau bertanggung jawab dan menikahi dirinya. Meskipun tidak ada perasaan apapun di antara mereka, setidaknya Winda tidak harus menanggung aib sendiri."Kamu yakin akan menikah dengan pria itu? Kamu bahkan baru dua kali bertemu dengannya dan tidak mengenalnya, Win." Anna membuka pintu kamar kos mereka."Yah, apa yang bisa aku perbuat sekarang? Sepertinya itu adalah jalan keluar yang terbaik. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa seorang ayah. Orang juga akan mencibir dan menghina aku jika mengetahui aku hamil dan melahirkan tanpa suami," jawab Winda sambil mengusap perutnya yang masih rata. "Semoga saja ucapannya benar, kalau dia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan semuanya sebelum menikah denganmu. Semoga Mas Dani tidak berpikir untuk kabur dan melepaskan kewajibannya padamu dan anak ini" ujar Anna. Winda memeluk boneka beruang miliknya, ia menghela nafas dan menja
Perdebatan antara Rizal dan Anna terus terjadi di halaman rumah kos itu. Beberapa penghuni kos dan tetangga mulai mendekat dan melihat keributan itu. Semua itu membuat Winda semakin tertekan dan sedih. Ia berusaha berdiri dan masuk ke dalam rumah itu. Sadar bahwa kehamilannya telah menjadi rahasia umum, Winda tak sanggup lagi melihat tatapan mata yang merendahkan dirinya. Apalagi hinaan itu meluncur dari bibir pria yang ada di hatinya selama ini. Winda tertatih dan berpegangan pada dinding. Orang-orang lebih berfokus pada Anna dan Rizal, dan mengabaikan kondisi Winda yang rapuh. Baru beberapa langkah berjalan, Winda merasa pandangannya gelap dan akhirnya tubuhnya limbung. "Tolong, Winda pingsan!" seru orang-orang di sekitarnya. Rizal dan Anna langsung menghentikan pertengkaran dan menghampiri Winda. "Angkat dia ke kamar!" pinta Anna. Rizal menggendong Winda dan membaringkannya di tempat tidur. Anna langsung memberikan minyak kayu putih pada Rizal dan memijat tangan dan kaki Wind
"Kamu serius mau menikahi wanita itu? Kamu belum mengenal dia, dan kita sama sekali gak mengetahui latar belakang keluarganya. Bagaimana kalau mereka bukan orang baik-baik?" tanya Ibu Dani. "Dia mengandung anakku, Bu. Aku harus bertanggung jawab," jawab Dani. "Kamu bertemu dengannya di tempat hiburan malam. Apa kamu yakin kalau itu anakmu? Bagaimana kalau dia membohongi kamu? Ibu yakin bahwa sebenarnya dia juga gak yakin kalau itu anakmu. Dia sudah berhubungan dengan banyak pria asing di luar sana," "Nanti kita bisa pastikan setelah anak itu lahir, Bu. Hati nurani ku berkata kalau bayi itu memang anakku," jawabnya lagi. Ibu Dani sangat gusar, ia bertanya lagi, "Mungkin saja kamu hanya merasa bersalah atau terbawa perasaan, atau itu hanya pelampiasan karena kamu sedang merindukan Annisa dan anak-anakmu. pikirkanlah baik-baik! Bagaimana kalau dia menipu kamu?""Apa alasannya, Bu? Uang? Aku sedang terpuruk dan gak punya uang, Bu. Apa Ibu bayangkan bagaimana kalau memang itu anakku, d
"Pokoknya Mama gak setuju kamu menjalin hubungan dengan Annisa. Dia itu sudah pernah menikah dan mempunyai dua anak. Artinya, pasti ada sifat atau karakter Annisa yang buruk, sehingga membuat suaminya menceraikan dia. Apa kata semua teman dan saudara kita kalau kamu menikah dengannya? Kita ini keluarga mapan dan terhormat, banyak teman dan kolega yang akan membicarakan gerak-gerik kita," sergah Mama Surya. "Ma, Surya mencintai Annisa. Dia itu wanita yang istimewa bagiku. Aku sudah cukup lama mengenal dia, jadi aku tahu persis bagaimana karakternya. Annisa itu wanita yang baik, Ma. Kalau kemarin dia gagal berumah tangga, itu bukan karena kesalahannya," jawab Surya. "Kamu itu seperti sudah dibutakan oleh cinta. Wanita bukan hanya Annisa. Mama bisa mencarikan wanita yang lebih baik daripada Annisa, lebih cantik, berpendidikan tinggi, dan dari keluarga terhormat."Mama Surya langsung meninggalkan Surya yang duduk di sofa. Baru kali ini ia dan sang mama berdebat sedemikian hebat. Surya m
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W