Pov Naya“Kamu kenapa diam saja, Mir?”“Gak papa, Mas.”“Apa masih berat meninggalkan Bumi?”“Kamu ngomong apa sih, Mas?” tanyaku sedikit marah.Marah pada diri sendiri. Ditambah rasa malu, karena Mas Hfidz bisa menelaah hatiku.Jiwa rasanya bergoyang. Mungkin ini termasuk cobaan dalam pernikahanku yang kedua. Suami baik, ekonomi lancar, tapi hati imbang. Antara belajar mencintai, tapi masih tertaut di masa lalu.“Mas paham, pernikahan ini rumit. Satu hal yang harus kamu tahu, Mas mantap menikahimu bukan hanya semata-mata karena wasiat, tapi memang niat Mas untuk beribadah, Mir.”Aku tersenyum manis pada suamiku. Memegang tangan. Selama satu bulan pernikahan, Mas Hfidz memang memperlakukanku layaknya seorang istri. Dia memberikan nafkah lahir maupun batin. Meskipun tidak bisa dipungkiri, hati kami mungkin masih terikat dengan pasangan masing-masing.“Bimbing aku jadi istri yang salehah, Mas.”“Bismillah, kita sama-sama belajar lebih baik. Mas tahu, seseorang di masa lalu kita memang ti
"Aku butuh waktu sendiri, Mas.""Dengarkan dulu penjelasan Mas, Mir.""Jangan halangi aku, Mas."Aku pergi begitu saja. Butuh waktu sendiri. Cukup kaget dengan sikap Mas Hafidz. Aku memang belum sepenuhnya mencintai dia. Namun, seharusnya dia tidak seenaknya. "Assalamu'alaikum, Ra, tunggu aku.""Waalaikumsalam, maksudnya apa?""Malam ini juga aku sampai di rumah kamu.""Hah, serius?""Iya.""Ada apaan, tumben banget lu kaya gini.""Nanti aku cerita."Entah setan apa yang merasuki, aku hanya ingin menjauh. Tak mau pulang ke rumah Mamah dan Bapak, takut mereka cemas dengan pernikahan ini. Lebih baik sejenak menenangkan diri di Jakarta.Selama perjalanan menggunakan bus, aku banyak merenung. Menyadari kesalahanku, belum sempurna menjadi istri. Sesekali Mas Bumi masih menganggu. Sehingga, kadang kami bertukar pesan. Namun, aku berani bersumpah, tidak ada niat mengakhiri pernikahan ini. Aku malu, jika harus gagal lagi. "Ah, masa Mas Hafidz tiba-tiba mau cerai sama lu? gua gak percaya di
"Bohong," ujarku ingin memastikan ucapan Mas Hafidz. "Kadang, kita tidak tahu kapan perasaan itu bisa datang. Yang pasti, Mas selalu mengamati kamu saat bersama Nayla, itu yang membuat rasa sayang ini jadi subur."“Hmmmm, entahlah, Mas. Bingung,” jawabku asal. Diriku sendiri tak tahu perasaan ini. "Mir, perasaan memang tak terlihat. Hanya bisa dirasakan hadirnya. Mari kita perbaiki rumah tangga kita.""Mas mau bercerai dariku bukan?""Itu dulu, Mir. Saat aku pikir kamu sangat mencintai Bumi. Namun, Mas mengubah pola pikir itu. Saat kita sudah menikah, maka apapun rintangannya harus dilewati. Mas tidak mau kandas begitu saja. Maka, Mas akan memperjuangkanmu, sampai kita benar-benar saling mencintai .""Hmmm. Aku juga tidak mau pernikahan ini hancur begitu saja, Mas. Malu. Ditambah lagi, aku tidak mau menyakiti Nayla.""Maka dari itu perbaiki semuanya. Kita pasti bisa."Aku mengangguk. Rumah tangga bukan arena permainan. Bisa bersatu seenak hati, lalu pisah begitu saja. Ada janji suci
POV Adam "Lepaskan!" "Penjarakan dia, Pak."Dewa berhasil aku giring ke dalam sel tahanan. Dasar pria brengsek. Bisa-bisanya dia melecehkan adikku. Kondisi ibu dan Ela sudah aman di rumah. Kerusuhan tadi, sungguh membuatku syok. Beruntung, aku bisa bergegas pulang. Segera menelpon polisi. "Pak, saya mau anak itu dipenjara. Dia sudah melecehkan adik saya, dan tidak mau bertanggung jawab.""Tenang, Pak. Laporan bapak akan kami proses. Kita tunggu dulu orang tua dari pihak saudara Dewa.""Baik, Pak. Saya akan menunggu."Aku sengaja tetap di sini, mau menemui orang tua Dewa yang terkenal sebagai bupati kota ini. Manusia macam apa orang tua Dewa, kenapa bisa melahirkan anak tidak bermoral seperti pria itu. Sebenarnya, ini juga salah Ela. Anak itu mau-maunya bertindak bodoh. Aku juga tak habis pikir kenapa ibu mengundang banyak warga sampai mengeroyok Dewa. Awalnya, aku sudah mengusulkan untuk kembali ke rumah Dewa. Beberapa hari lalu, kami sudah ke rumah orang tuanya, tetapi tidak dipe
"Lakukan yang terbaik untuk adik saya, Dok.""Tidak ... Ela tidak boleh keguguran," ujar ibu menangis. "Tenanglah, Bu. Demi kebaikan Ela."Dokter menyuruhku melakukan administrasi. Aku tarik Dewa, menyuruh dia membayar semuanya. Anak itu tidak banyak bicara, hanya mengeluarkan kartu ATM. Setelah pembayaran selesai, kami menunggu proses pembersihan janin yang gugur. "Apa yang kamu lakukan sama anak saya, hah?" tanya ibu mendekati Dewa. Amarah bagai kobaran api yang siap membakar. Sebagai seorang ibu, pasti sangat sedih dengan kondisi anaknya. Perih, melebihi belati yang menyayat kulit sendiri."Jawab, jangan diam saja!" sentak ibu emosi."Hei, jawab. Apa yang kamu lakukan pada adikku, hah?""Maaf, Bu, Mas, saya tidak melakukan apapun. Tadi, kami ke rumah orang tua saya untuk membicarakan soal pernikahan, saat jalan pulang, tiba-tiba perut Ela sakit dan mengeluarkan darah.""Halah, ini hanya akal-akalan kalian saja. Pasti kamu sekongkol dengan orang tuamu, untuk memberikan obat yang b
"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun. Tenang, Dam. Ibu sudah tidak merasakan sakit lagi," ujar Bumi menepuk pundakku. "Arrgh, tidak!" teriakku menghempas pegangan Bumi. Terduduk di lantai, sampai wajah mencium keramik. Rasa dingin terasa menusuk. Mendadak suasana bagaikan hujan badai. "Arrggh!"Cobaan macam apa ini? dunia sangat tidak adil. Kebahagiaanku dilibas habis. Tidak ada yang tersisa. Hidupku luluh lantah. Hanya putri kecilku yang memberi kekuatan agar jantung ini masih mau memompa darah. *****"Kami turut berduka cita cita, Dam," ujar beberapa tetangga yang datang ke pemakaman ibuku. "Dam, kuatlah. Ada anak yang harus kamu rawat.""Terima kasih, Bumi. Uangmu pasti aku kembalikan. Beri aku waktu.""Tenanglah, jangan pikirkan soal itu. Fokus saja menjaga anak dan adikmu."Aku diam. Menunduk sambil memegang erat batu nisan. Gundukan tanah merah seperti mimpi. Namun, kenyataan tak bisa dielakkan. Semudah itu semesta mengambil orang yang aku cinta. Tanpa aba-aba. Semua berubah ke
Hampir tujuh jam perjalanan, akhirnya aku sampai di Bumiayu, Brebes, Jawa tengah. Tempat kelahiran Mira. Perempuan yang aku cintai. Tanpa dirinya, hidupku hancur berantakan. Mungkin, jika bersamanya, aku bisa kembali bahagia. "Pak punya informasi kosan terdekat?" tanyaku pada tukang ojek. "Banyak, Mas. Mau saya anter?""Kalau bisa di desa yang gak jauh dari kaligua yah, Pak. Biar dekat sama saudara.""Siap, Mas."Akhirnya aku naik ojek sampai desa Mira. Tak ada angkutan ke sana, hanya mobil losbak. Jadi, aku memilih naik ojek saja. Di sana, aku akan mengawasi Mira dari jauh. Ketika ada kesempatan, barulah mendekatinya lagi. Aku sudah menemukan kontrakan yang cukup nyaman dan murah. Bermodalkan uang pemberian Kinan. Aku akan bekerja di perkebunan teh milik pemerintah yang ada di sini. Tidak di pabrik keluarga Mira. Bahaya kalau ketahuan. Beruntung dulu aku pernah lama tinggal di sini setelah menikah dengan Mira, jadi sedikit paham daerah sini. ****"Nay, jangan jauh-jauh mainnya,"
Pov Mira"Mir, de-""Pergi, Mas. Kamu dikasih hati malah minta empedu. Sana jangan usik hidup aku.""Aku sangat mencintai kamu, Mir. Kita harus rujuk, supaya bisa hidup bahagia""Edan, sana pergi!" teriakku menutup pintu."Mir, buka pintunya!"Mas Adam terus menggedor pintu. Sengaja aku abaikan. Sesuai prediksi, dia memang punya maksud tidak baik. Ya ampun, bisa-bisanya dia kembali mengusik hidupku. Hidupnya berantakan malah bertingkah. Seharusnya sadar diri dan bertaubat, bukan makin menjadi. "Halo, Ra, sibuk gak?""Tumben telepon, kenapa, Mir?""Lagi gabut aja. Ini Ra, Mas Adam ganggu aku lagi. Aduh, dari tadi dia gak pergi-pergi. Jadi takut sendiri.""Ya ampun, itu manusia kenapa ada lagi. Heran.""Aku harus gimana yah, Ra? udah diusir tetep aja gak peka.""Elah, lu malah nanya. Telepon suami lu. Biar diusir.""Udah, Ra. Tapi gak diangkat. Kayanya Mas Hafidz lagi sibuk soalnya dia bilang mau ketemu rekan bisnis dari Jakarta.""Aduh, ya, udah, gua minta bantuan Heri.""Pengacara it
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih