Bi Nur mengangguk, lalu berkata, “Iya, Non. Masuk aja dulu.”
“Iya, Bi.” Walaupun ini rumahnya, entah kenapa Kinanti jadi merasa sungkan. Apa mungkin karena harus memecat wanita yang sudah bekerja belasan tahun untuk merawat keluarganya?Hah, sejujurnya saja, Kinanti tak tega memecat wanita tua yang kini duduk berhadapan dengannya. Namun jika tidak memilih salah satu, maka perekonomian keluarganya akan semakin memburuk, lebih parah dari kondisi sekarang.“Non?” Bi Nur memegang pundak Kinanti untuk menyadarkan wanita itu dari lamunan.“Ah iya.” Kinanti terkejut.Bi Nur tersenyum, lalu bertanya, “Non mau bicara apa? Bicara aja.”“Em ... gimana ya, Bi. Aku jadi bingung harus mulai dari mana.” Kinanti meremas jemarinya sendiri.Apakah perkataannya nanti tidak menyakiti bi Nur? Ah sudah pasti mengejutkan. Namun untuk menyakiti, tinggal bagaimana bi Nur menanggapi. Semoga saja wanita tua itu mengerti dengan kondisi perekonomian kel"Apa!?" pekik Aldo tanpa sadar menaikkan nada bicaranya, "K-kamu ... "Aldo tak kuasa menyelesaikan perkataannya sendiri kala ia mendengar permintaan sang istri yang begitu mengejutkan bahkan di luar nalar. Betapa tidak? Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba Kinanti meminta sesuatu yang terbilang tidak mudah bagi Aldo.Hal itu kini membuat Aldo pusing sendiri menghadapi sikap istrinya yang membuatnya merasa terhimpit. Terlebih Aldo sendiri berpikir bahwa selama ini ia tidak pernah diberi jatah pada malam hari oleh istrinya sendiri.Ya, mulanya semua terasa seperti sudah biasa karena Aldo pun mengerti dengan kondisi kandungan Kinanti yang semakin tua, pun dengan pekerjaannya yang mengharuskannya untuk pulang malam dan langsung pergi tidur. Semua tampak sudah biasa baginya, namun entah mengapa hal itu terasa aneh saat ini.Bahkan jika di pikir-pikir lagi Aldo merasa bahwa Kinanti sudah tudak terlihat mood lagi untuk melayaninya."Apa karen
Aldo yang mendapatkan pukulan bertubi-tubi di tubuhnya pun seketika terkesiap dari tidur. Pria itu berteriak histeris, antara kaget dan juga berusaha menekan rasa sakit yang masih terus Guntur torehkan padanya."Astaga! Apa-apaan ini! Tolong hentikan! Aku bukan maling! Aku Aldo!" Dengan cepat Aldo membuka sarung yang sejak tadi dia gunakan untuk menutupi kepala karena silaunya cahaya dari sorot lampu teras yang menurutnya begitu mengganggu.Guntur yang mengetahui wajah sang menantu kini terpampang jelas di depan mata pun seketika menahan pukulan yang hendak kembali dia layangkan."A-Aldo? Kenapa kamu malah tidur di sini?" tanya Guntur bingung. Antara merasa bersalah dengan sang menantu namun juga kembali merasa kecewa dengan ulah Aldo yang lagi-lagi hanya bisa menimbulkan masalah saja.Belum sempat Aldo memberikan jawaban, semua penghuni rumah sudah ikut bangun bahkan berbondong-bondong keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Jaka yang saat ini masih termangu dengan ponsel di telinganya, hanya terbengong untuk beberapa saat. Mendengarkan sesuatu yang seharusnya tak bisa ia dengarkan, namun menjadi seperti tambang emas di depan mata.Tentu saja, dengan bodohnya Aldo tidak memastikan apakah sambungan teleponnya sudah benar-benar terputus atau tidak. Jadi bukan salah Jaka jika ia mendengarkan semua percakapan antara Aldo dan istrinya itu."Hah ... ini benar-benar gila," gumamnya lirih. Wajahnya sudah membentuk ekspresi yang sangat jelas sekarang. Seperti mendapatkan sebuah jackpot besar!"Aldo benar-benar bodoh. Jadi jangan salahkan aku kalau aku mengetahui kekacauan di dalam rumah tanggamu, Aldo. Dan tentu saja aku tak akan membiarkan ini begitu saja.""Ini adalah tambang emas!" imbuhnya lagi.Jaka, dia akan memanfaatkan keretakan dan celah besar yang ada di rumah tangga Aldo untuk menguras semua uang milik laki-laki bodoh itu. Jadi Jaka tak akan bersusah payah
Secara tidak sengaja Arumi mendengar pembicaraan antara Citra dan Nugroho, dari pembicaraan tersebut terdengar Citra ingin menyetir sendirian dan yang membuat Arumi kesal adalah suaminya menyetujui usul Citra.“Tidak bisa, Mama tidak setuju kalau kamu menyetir sendiri, lagipula ada sopir yang siap sedia mengantar kamu kemana-mana, sangat berbahaya kalau kamu kemana-mana tanpa pengawalan,” ucap Arumi menyela pembicaraan Citra dan Nugroho.“Mama.. Citra kan sudah lama tidak menyetir sendiri, Citra juga ingin tidak bergantung lagi dengan sopir Ma, jadi tidak ada salahnya kalau Citra ingin kemana-mana tanpa di kawal Ma,” jawab Citra.“Justru karena kamu lama tidak menyetir, membuat Mama semakin khawatir Citra, bagaimana kalau ada apa-apa di jalan, misal mogok atau ada yang menganggu,” lanjut Arumi. Wanita itu memang sangat menyayangi putrinya sehingga selalu khawatir setiap langkah yang di ambil Citra. Hal itu memang sangat wajar mengingat Citra adalah putri
“Buruan turunnya, Bu. Saya lagi buru-buru nih!” tukas Aldo sembari memandang layar ponselnya. Wajah penumpangnya sama sekali tidak dia lihat saking tak peduli lagi. Dia hanya ingin segera mengikuti Citra sekarang.“Apa-apaan, sih! Driver mana yang memperlakukan penumpangnya seperti ini!” omel ibu-ibu itu, dia terlihat sudah berumur tapi masih tubuhnya masih sangat segar untuk mengomeli driver tidak sopan seperti Aldo.“Iya, sorry ya, Bu. Ibu sih barangnya banyak,” seloroh Aldo yang tak sabaran.“Awas ya, saya kasih rating bintang satu kamu!” umpat ibu-ibu itu. Baru kali ini dirinya mendapatkan pelayanan yang sangat buruk.Aldo hanya melengah dan tak begitu mendengarkan. Yang jelass, setelah penumpangnya turun, dia langsung melajukan kendaraannya untuk mengejar posisi Citra yang saat ini masih dipantau oleh Joko.Lelaki itu hanya ingin segera bertemu dengan Citra, mantan istrinya itu pasti berdandan sangat cantik pagi ini.****
Kinanti yang berdiri di sana tersenyum tipis, walau dalam hatinya dia merasa puas karena Guntur berani mengatakan semuanya. Baginya, memang lebih baik seperti ini. Guntur harus mengutarakan apa pun isi hati dan kepalanya, kalau tidak dia hanya akan memperburuk kesehatannya saja.Guntur berpindah tempat, kemudian berbisik pada Kinanti, "Sayang, kita makan di luar, yuk!"Kinanti menatap ayahnya, merasa heran dengan kalimat ajakan itu. Sebenarnya terdengar biasa saja, tetapi untuk saat ini di saat kondisi keuangan mereka tidak stabil rasanya sangat sayang jika hatus makan di luar. "Pa, tapi ...."Perempuan itu berusaha menolaknya, tetapi dia melihat raut wajah penuh harapan tampak jelas. Guntur yang tidak memiliki uang banyak itu, masih saja berperang dengan gengsinya. Tepatnya dia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Kinanti, walau keadaannya sedang tidak baik-baik saja. "Kita makan enak di luar, jangan peduli sama perut mereka. Yang penting anak sama c
"Sudah kuduga begini jadinya," batin Guntur.Lelaki itu lalu mengelap keringat yang mulai bermunculan di sekitar dahinya, mendapati sang putri yang begitu murka kepadanya karena hal itu."Kenapa Papi lakuin itu sama Aldo!? Suamiku, Pi!" cecar Kinanti dengan suara meninggi, "Kenapa Papi tega banget sama menantu Papi sendiri!?"Kinanti benar-benar marah, ia rak habis pikir dengan apa yang dilakukan ayahnya di belakangnya selama ini. Bahkan wanita itu tak bisa mengendalikan amarahnya sendiri meski di tempat umum."Tenanglah, Kinanti. Papi lakuin itu demi menegakkan wibawa Papi di depan semua orang kantor, kamu pikir ini mudah buat Papi? Nggak, Nak!" sergah Guntur semnbari mengernyitkan dahinya, "Tolong kamu mengerti."Situasi terasa semakin mencekam, kekesalan Kinanti yang semakin menggunung, pun Guntur yang berusaha menenangkan dan mengendalikan situasipun tak ayal membuat Kinanti merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil? Wa
Aldo yang berpapasan dengannya sampai tak sadar ternganga untuk sejenak. Tentu saja karena terbius oleh kecantikan mantan istrinya itu. Entah kenapa, pesona Citra berubah seratus delapan puluh derajat. Aldo seperti tak mengenali rupa wanita berkulit putih berbadan proporsional itu. Jika saja kecantikan Citra saat mereka masih menjadi sepasang suami istri seperti ini, mungkin Aldo tidak akan berpaling ke Kinanti. Pastilah Aldo akan setia sampai mati. Apalagi saat ia mengetahui bila mantan istrinya itu ternyata anak dari pengusaha kaya raya seperti Nugroho.Namun, sudah terlambat menyadari. Apalagi sekarang mereka berdua sudah resmi berpisah. Sepertinya ketok palu tak juga membuat Aldo sadar. Bahkan ia masih berusaha untuk mendapatkan Citra lagi entah bagaimana pun caranya. Obsesi gila itu meracuni pikiran Aldo sampai ia tak mengingat Kinanti yang kini tengah mengandung anaknya. Definisi sakit jiwa di usia muda. Aldo memang manusia yang tak pernah bersyukur. Maka dari itu se
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng