Guntur keluar dari rumah dengan wajah ditekuk. Suasana hatinya bahkan sudah memburuk sejak kemarin-kemarin. Diperparah dengan kondisi rumah yang tak bisa dikatakan tenang dan nyaman. Entah ke mana ia harus pergi untuk menenangkan pikiran. Di mana pun tempatnya, ia selalu dikelilingi dengan masalah dan masalah yang entah kapan bisa terselesaikan. Belum selesai masalah satu, sudah muncul lagi beberapa masalah lainnya. Jika begini, bagaimana mungkin kondisi kesehatannya bisa membaik? Justru semakin parah.“Selamat pagi, Pak.” Rahmat menyapa saat pintu utama rumah terbuka. Ia memberikan senyum terbaik, berharap suasana hati atasannya itu bisa lebih tenang.Guntur sempat terkejut karena kehadiran asisten pribadinya itu. Namun secepat kilat ia mengubah ekspresi menjadi datar, seperti tak berminat untuk berinteraksi dengan siapa pun.“Bagaimana dengan kondisi Bapak? Apakah sudah jauh lebih baik?” tanya Rahmat berbasa-basi agar suasana tidak terlalu canggung. Semenjak masalah di kantor kemari
"Huaaaa … Ma, Pa! Ini apa-apaan?!" seru perempuan cantik itu menggelegar.Citra rupanya mengagetkan Arumi dan Nugroho yang tengah berjibaku dengan kotak-kotak nasi dan tumpeng. Arumi yang awalnya terkesiap itu, mengubah ekspresinya menjadi melunak, tatkala sudah menyadari siapa yang datang mengejutkannya."Selamat pagi, Sayangnya Mama," sapa Arumi yang lantas melanjutkan kegiatannya sempat terhenti.Tergopoh-gopoh Citra menghampiri mereka semua. "Pagi, Ma, Pa. Serius deh, Papa Mama siapin ini semua sendirian?" tanya perempuan itu sambil menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru dapur."Ckckck ... kamu ini datang-datang heboh, langsung meremehkan Papa Mama," cibir Nugroho dengan memanyunkan bibirnya."Hahahaha ... sori, sori, habisnya baru kali ini Citra lihat Mama Papa ribet di dapur tanpa bantuan Bibi," jawab perempuan cantik itu.Arumi dan Nugroho lantas menjelaskan. "Ini Papa bantuin Mamamu yang punya kemauan keras, nih," jelas pria paling sukses di daerah mereka itu."Oalah ... i
"Astaga! Ibu tidak apa-apa?" Teriak sang office boy begitu panik saat dilihatnya seorang wanita tengah berteriak kesakitan karena kopi panas yang sempat dia bawa tumpah membasahi pakaian wanita itu.Sementara itu, Aldo yang menjadi dalang utama dalam masalah ini malah masih bergeming dan membeku di tempatnya. Dia tidak menyangka kalau sosok yang menjadi korban atas kecerobohannya pagi ini adalah mantan mertuanya sendiri."Bu? Astaga, maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja." Aldo dengan cepat datang mendekat hendak membantu Arumi. Namun tentu saja sebelum itu dia lebih dulu menggerutu kepada sang office boy bahkan menumpahkan kesalahannya pada pria itu.Beberapa jajaran direksi yang gemar mencari muka saling berbondong-bondong untuk mendekat agar bisa lebih leluasa mencari atensi dari Arumi. Mereka tentu tahu peran penting wanita yang sempat panik karena cairan kopi panas yang tiba-tiba membasahi pakaiannya tersebut.Tak tanggung-tanggung, para jajaran direksi itu bahkan seolah t
"Sial!" umpat Aldo dengan sangat sarkas.Saat ini Aldo baru saja memasuki kamar mandi. Urat amarahnya sudah hampir meledak, maka dari itu ia memilih untuk melipir dan menjauh dari kerumunan orang-orang berduit itu.Menatap bayangannya yang terpantul dari cermin, Aldo melonggarkan dasinya sedikit. Geraman dan gertakkan giginya juga masih sangat jelas."Para orang kaya tua bangka itu ... benar-benar, semuanya menyebalkan!" umpatnya lagi. Dia kesal mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Dan lagi," kesalnya lagi. "Si mertua tua bangka itu, bisa-bisanya dia menatapku dengan dongol seperti itu? Bukannya membantu menantunya tetapi ia hanya memandangiku? Ck!"Mengingat bahwa mertuanya malah menatap kesal dan jengah ke arah Aldo saat ia kesusahan tadi, membuat Aldo semakin merinding penuh amarah.Bukankah sebagai mertua ia harus membantu Aldo? Aldo adalah menantunya, suami dari putri satu-satunya. Setidaknya dengan membantu Aldo maka wajah putrinya juga terselamatkan. Tetapi nyatanya tida
Suasana kantor terlihat cukup ramai namun semua karyawan cukup tertib, acara serah terima jabatan telah selesai di lakukan dengan lancar.“Berhubung acara serah terima sudah selesai, seluruh karyawan di persilahkan kembali ke tempat masing-masing, terima kasih sudah hadir dengan tenang sehingga proses serah terima berlangsung tertib.”MC acara memberikan pengumuman penutupan, sehingga para karyawan satu per satu meninggalkan aula kantor tersebut. Tidak lupa MC juga berpesan kalau perusahaan juga menyediakan makan siang gratis dan hal itu di sambut sangat antusias oleh para karyawan.Para karyawan itu merasa tenang karena berkat kebaikan pemilik perusahaan baru yaitu Nugroho, mereka di pekerjakan lagi sehingga tidak ada PHK.Sebelumnya semua karyawan sempat was-was, mereka khawatir dengan adanya perubahan kepemilikan, maka karyawan akan di rumahkan, ternyata kekhawatiran tersebut tidak terbukti.Di saat semua karyawan sudah kembali ke tempatnya masing-masing, para pemimpin perusahaan
Suara tawa Nugroho sukses membuat semua memandang heran ke arahnya, padahal situasi acara serah terima jabatan itu masih sedang serius-seriusnya.Arumi yang duduk di samping Nugroho langsung menepuk bahu suaminya, dia sendiri juga bingung mengapa suaminya itu tiba-tiba terkekeh seperti habis melihat suatu kejadian yang lucu.“Kamu kenapa? Kok malah ketawa-ketawa begitu? Jangan aneh-aneh, banyak orang yang melihat, Pa!” tegur Arumi dengan suara sepelan mungkin namun sayangnya masih terdengar oleh orang-orang di meja panjang itu.Nugroho mengakhiri tawanya dengan menyeka air matanya yang sampai keluar saking lucunya hal yang baru saja terlintas di otaknya.“Haduh … ini benar-benar konyol yang sangat kebetulan,” cetus Nugroho yang kembali membuat semua orang kebingungan dan mencari-cari tau apa yang baru saja ditertawakan pria ini.Sedangkan Citra yang baru saja dilantik menjadi pimpinan hanya diam dan menyimpan tanda tanyanya. Dia yakin ayahnya itu pasti akan mengatakan sesuatu.“Rekan-
Aldo membulatkan matanya dengan mulut yang ternganga. Tidak, ini pasti salah. Tidak mungkin dia dipindahkan oleh Guntur di bagian lapangan. Aldo tersenyum hambar, dia kemudian meminta mertuanya itu untuk kembali mengulang kata-katanya. "Maaf Pa, tapi saya sudah bekerja bertahun di bagian ini dan—""Suka atau tidak, kamu tetap akan dipindahkan!" ucapnya."Tapi kenapa, Pa?"Guntur terdiam sebentar, sampai akhirnya dia kembali menjelaskan kalau keputusannya memang sudah bulat. "Apa kamu keberatan?""E-enggak, tapi ....""Heh, kalau ini sudah menjadi keputusan saya. Pendapat kamu gak lagi penting lagi. Ngerti, ha?" Guntur naik pitam, dia menunjuk Aldo untuk tetap diam, dan menerima semua keputusan yang dia ambil.Ini semua demi kebaikan dan ketentraman bersama. Guntur juga ingin melihat bagaimana Aldo jika diperkerjakan di luar sana. Aldo terdiam, saat Guntur memarahinya. Matanya hanya melirik para staf juga orang bagian HRD yang saat ini menatapnya.Dia pikir menjadi menantu pemilik per
Cuaca cerah menyambut para karyawan yang telah selesai melaksanakan briefing dan siap menjalankan misi mereka. Mereka keluar dari ruangan rapat dengan wajah lelah, namun masih ada semangat yang menyala di mata mereka. Sayangnya, alih-alih menuju ke tempat kerja masing-masing, para karyawan tersebut memilih untuk nongkrong di tempat parkir, mencari sedikit waktu untuk melepaskan penat.Sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya, Rian menggelengkan kepala dengan rasa frustasi yang jelas terlihat di wajahnya. "Astaga, gue udah bosen banget dengan sistem kerja di perusahaan ini. Kayaknya ga bakal gampang deh, apalagi setelah perusahaan ini collapse nanti," keluhnya sambil menghisap rokoknya.Mendengar keluhan Rian, Maya mengangguk setuju sambil menyulut rokoknya. "Iya, bener banget. Kayaknya kita bakal punya masalah besar kalau perusahaan ini benar-benar jatuh. Sudah jelas sih, manajemennya gak ada yang peduli sama karyawan. Semuanya cuma fokus ke keuntungan mereka sendiri."Sementa
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng