Tak ada sambutan istimewa, yang ada justru raut wajah kecut dari Guntur. Dia malas dan masih sangat malas menghadapi kenyataan, kalau wanita sejenis Miranti akan tinggal di rumahnya. Guntur menghela napasnya, dia kemudian membuang wajahnya dengan malas.
"Wah, Tuan Guntur. Terima kasih sudah menyambut kami, akhirnya kita menjadi besan juga, ya." Miranti tersenyum dengan sangat lebar, walau Guntur tak menanggapi dirinya.Tuan Guntur bahkan memasang wajah dingin, malas untuk berdebat, dia tak ingin membuat putrinya terbebani jika tahu dia dan mertua baru putrinya itu masih berseteru. Guntur tak ingin beradu mulut, yang nantinya akan membuat Kinanti marah padanya. "Papa mau ke kamar dulu," ucapnya."Pa, di sini dulu. Temani yang lainnya, kan kita baru aja sampai.""Kinanti, Papa—""Papa!" rengek Kinanti memohon pada ayahnya.Tak ada pilihan lain, selain mengiyakan ucapan putrinya. Guntur harus duduk, di"M-maksud anda apa ya?"Miranti terdiam untuk sesaat, bersama dengan kedua telinga yang menangkap suara keributan yang dimaksud oleh besannya. Namun benar saja, suara teriakkan itu rupanya berasal daei kamar Raya dan terdengar cukup jelas.Miranti sontak mengumpat tak karuan dan tanpa berpikir panjang wanita itu bergegas menuju kamar anaknya yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri.Tak hanya itu ... rupanya langkah Miranti diikuti oleh Aldo, Kinanti dan juga Guntur yang mengekor di belakangnya dan turut menyaksikan saat Miranti tengah menggedor-gedor kamar anak pembuat onar itu.Miranti terus menggedor pintu kamar tersebut dengan sedikit kencang hingga menimbulkan kebisingan yang tentu terdengar oleh Raya."Raya!? Buka pintunya!!"Raya sontak saja terhenyak! Ia baru saja tersadar dari amukkan yang sempat menguasai dirinya.Gadis itu lantas menyeka air matanya yang masih tersisa memb
Jika di keluarga Kinan semuanya hancur berantakan, lain halnya dengan keluarga Citra yang justru tengah meneguk kebahagiaan. Bagaimana tidak, wanita yang dahulunya adalah istri sah dari pria tak berguna seperti Aldo, kini berubah menjadi janda berkelas, bergelimang harta. Citra sangat senang karena pada akhirnya, ia bisa bebas dari belenggu suami yang sama sekali tak pernah memberikan manfaat di hidupnya.Jika dipikir ke belakang, bodoh sekali Citra dulu mau menikah dengan pria yang selalu membawa kesusahan di hidupnya. Belum lagi ibu mertua dan adik ipar yang kerap tersandung problematika berbagai ragam. Ralat. Mantan mertua dan adik ipar.Sudahlah. Tak ada gunanya memikirkan hal itu berlarut-larut. Toh sekarang hidupnya sudah lebih dari tenang. Citra tersenyum puas, karena hal ini adalah sesuatu yang ia idam-idamkan sedari dulu.Wajah Citra yang berseri memantul dari kaca rias yang ada di hadapannya. Selepas itu dia berkata, “Kau
Keesokan harinya, Miranti bangun lebih awal dan masih menunjukkan upaya cari muka pada besannya itu dengan menyiapkan sarapan. 'Lalala ... hari ini aku akan memasak masakan andalanku, yang dijamin membuat Pak Guntur akan jauh lebih bangga, karena sudah berbesan denganku hohoho ...,' gumam perempuan paruh baya itu.Ibunda dari Aldo itu pun lantas bersiap diri dengan memasang celemek dan membuka kulkas untuk mencari bahan masakan. "Asyik, ada semua bahan yang kubutuhkan!" soraknya.Dia lantas dengan sigap mengeksekusi beras beserta bahan sayur dan lauk. Lalu, sembari menunggu nasi tanak, Miranti memotong-motong bahan.Sudah lama dia menginginkan bisa memasak di dapur yang cantik, bersih, dan luas seperti di rumah Guntur itu. Maka dengan hati yang riang, ibu kandung Aldo dan Raya itu pun menyelesaikan masakannya.Aroma harum masakan tercium semerbak di seluruh penjuru dapur dan menguar hingga ke lorong-lorong rumah. 'Masa sih, den
Tak lama dering telepon membuyarkan senyum yang sudah sempat bertengger di bibir Guntur. Apalagi saat pria itu membaca nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. "Ck, kenapa lagi dia? Pagi-pagi begini kok ya sudah menghubungi." Guntur memutar bola matanya malas. Meskipun begitu jemari tangannya tetap saja bergerak menekan dan menerima panggilan yang terlayang."Ada apa?" tanya Guntur sedikit ketus pada Rahmat, sang asisten yang menurutnya begitu lancang karena telah berani mengganggu pagi harinya."Maaf, Pak. Saya hanya ingin bertanya, di mana posisi Bapak sekarang? Apa Bapak sudah berangkat menuju kantor?" tanya Rahmat dengan sopannya."Iya, sudah. Ini aku sedang dalam perjalanan ke sana. Ada apa? Masih jam segini kok ya sudah menghubungi. Seandainya kedatanganku terlambat pun tidak masalah, kan? Aku yang punya perusahaan, lagi pula hari ini aku tidak punya jadwal meeting pagi. Awas saja kalau kamu meneleponku tanpa ada alasan pasti."
Hari yang cukup melelahkan memang. Meskipun hari ini Guntur sudah melewati goncangan yang akan menenggelamkan perusahaannya barusan, namun semua itu belum bisa dikatakan tenang dan berlalu."Haah ... sial!" decak kesal Guntur sembari merenggangkan dasinya.Pertemuan yang menekan dan menegangkan dengan para investor asing itu sudah berlalu. Dan itu cukup menguras semua tenaga Guntur.Memang benar bahwa Guntur berhasil menenangkan para investor asing itu. Tetapi nama perusahaannya semakin jelek. Bahkan dengan rela ia harus mengubah perjanjian dengan para investor asing itu dengan perjanjian baru. Tentu perjanjian yang merugikan Guntur."Benar-benar brengsek! Para investor sialan itu, beraninya dia menekanku sampai seperti ini?! Apa mereka pikir perusahaanku akan bangkrut, huh?" Guntur kembali meledak-ledak. "Saham perusahaanku juga baru ini turun. Bahkan selama ini mereka selalu menikmati uang laba yang aku hasilkan! Tetapi sekar
Sore harinya, Nugroho buru-buru mengirim pesan di group keluarga yang isinya mengajak Arumi dan Citra untuk makan malam di restoran favorit mereka.“Sayang, kita nanti malam makan malam bersama ya, ajak sekalian Citra,” tulis Nugroho“Hah? Makan malam? Memangnya ada acara apa Pa?” tanya Arumi penasaran, tidak biasanya suaminya tersebut mengajak makan malam resmi seperti ini, di tempat yang tidak biasa lagi.“Cie-cie yang mau pacaran,” goda Citra. Dia senang kalau mama dan papanya terlihat mesra. Meskipun pernikahan dirinya berakhir dengan kegagalan, tetapi tidak ada alasan untuk tidak berbahagia, apalagi melihat keharmonisan kedua orang tuanya.“Ish kamu ini, tidak senang kalau melihat mamanya senang,” tegur Arumi.“Yee senang kok Ma.”“Ada deh, datang saja nanti pasti tahu, oh ya jangan lupa dandan yang cantik ya?” lanjut Nugroho.Terang saja pesan Nugroho tersebut semakin membuat Arumi penasaran sekaligus senang. Sudah lama dirinya tidak diajak makan malam oleh sang suami. Apalagi s
Keluarga Miranti kembali berbuat ulah di saat yang tidak tepat. Situasi kediaman rumah Tuan Guntur menjadi kian tidak enak beberapa hari terakhir. Orang-orang yang tinggal di dalamnya punya kekesalan masing-masing yang kadang kala sulit untuk dilampiaskan.Termasuk Miranti. Wanita itu masih tersinggung dengan perlakuan orang rumah terhadap masakannya kemarin.“Sudah untung aku masakin!” gerutu Miranti setiap mengingatnya. “Tapi mereka malah tak tau diri dan bilang masakanku tidak enak.”Miranti merasa seharusnya orang-orang di kediaman ini berterima kasih kepadanya karena menaruh kepedulian terhadap urusan-urusan dalam rumah, contohnya dalam bidang makanan. Apa salahnya dia mempedulikan kebutuhan makan anggota keluarga di rumah ini, setidaknya mereka harus memberikan respek kepadanya.Sebagai bentuk aksi perlawanannya, wanita itu sudah memutuskan untuk tidak mau memasak lagi. Dia malas jika harus kembali melihat wajah penghuni rumah yang tidak suka dengan masakannya.Beruntungnya, semu
Setelah kepergian Aldo membeli nasi goreng tak lama kemudian Aldo pun sudah kembali. Ia mendapati ekspresi wajah semuanya masih masam. Sepertinya suasana di meja makan menjadi canggung. Miranti bangun dari duduknya, dia melirik putrinya yang tampak diam saja. Sampai akhirnya dia mengikuti Raya, berbisik mengajaknya untuk membersihkan meja makan.Raya tentu saja enggan melakukan itu, tetapi tatapan mata ibunya membuat dia menghela napas, dan melakukan semuanya. Tak ada pilihan lain. "Gak usah ditekuk mukanya, cepat bantu!""Iya."Raya pun membawa piring-piring kotor ke dapur dengan perasaan kesal. Ya, dia benar-benar malas melakukan semua itu. Namun, apa boleh buat, Miranti sangat berisik jika tak dituruti. Apalagi matanya, sedari tadi wanita itu memberi isyarat dengan terus mendelik ke arah Raya."Padahal punya tangan, masih aja nyuruh. Lagian ada pembantu, ngapain coba minta buat bawa ginian.""Ish, kotor," gerutunya lagi.Di belakangnya Miranti bisa mendengar, hanya saja dia berpura
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng