"Wah! Gak nyangka ya! Kukira mereka gak seperti itu."
"Halah! Aku sudah curiga dari awal, kalo pernikahan ini terkesan dipaksakan.""Hush! Gak boleh begitu, bisa jadi wanita tadi itu bohong? Bisa jadi dia masih kesal karena mantan suaminya menikah lagi," celoteh salah satu tamu di tengah-tengah kericuhan pesta itu.Berbagai opini yang berbeda pun bermunculan, apa yang memihak, ada pula yang semakin nyinyir.Beberapa bisikkan itu terdengar cukup jelas bahkan sampai ke telinga kedua mempelai pria dan wanita.Dalam hitungan detik saja, acara pernikahan itupun geger! Ucapan selamat serta suka cita kini berubah jadi bisikkan-bisikkan yang terdengar tak mengenakan.Terlebih dengan beberapa tamu undangan yang sudah dari awal nyinyir karena tak kebagian makan bahkan harus rela mengantre.Tak hanya itu, kalangan yang merasa iri pada Miranti karena merasa beruntung berkali lipat mendapat besan orang bKarena kehebohan yang terjadi di pesta pernikahan membuat kondisi Guntur menjadi memburuk. Rasa malu berikut marah bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, hampir seluruh undangan membicarakan keburukan putrinya. Karena hal itu, Guntur kembali diperiksa oleh tenaga medis. Sebenarnya dia sudah muak akan hal yang berkaitan dengan Rumah Sakit. Namun mau bagaimana lagi. Hanya itu yang bisa menyelamatkan, setidaknya Guntur masih bisa berumur panjang.Dia tak akan mungkin bisa mati dengan tenang saat melihat putrinya bersanding bersama pria tak berguna seperti Aldo. Bisa-bisa, hidup Kinan akan berubah sangat melarat. Padahal Guntur selalu bekerja dengan baik agar bisa memberikan kehidupan yang layak. Begitulah manusia, hanya bisa berencana saja.Seorang dokter yang memakai kaca mata bening datang. Di telinganya sudah terpasang stetoskop. Ia memeriksa Guntur di beberapa titik bagian tubuh. Dokter tersebut tampak menggelengkan kepala.“Bagaimana, Dok? Papa sa
Hari yang berbeda ditandai oleh cerahnya sorot Mentari memasuki sela-sela kelambu di kamar Citra. Perempuan itu bangun pagi dengan keadaan yang segar dan bugar.Tak dapat dipungkiri, penerus kerajaan bisnis Naru itu pun merasa seolah terlahir kembali menjadi pribadi yang baru. Citra pun memulai harinya dengan riang setelah meregangkan tubuhnya di tepian tempat tidur.Setelah membersihkan diri dan memakai pakaian terbaiknya hari itu, Citra lantas keluar kamar dan berjalan dengan riang menuju ke ruang keluarga. Citra mengingat kembali kejadian telah membuat heboh di pernikahan suaminya sendiri bersama dengan madunya itu.'Hahaha ... tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku bisa melakukan tindakan nekat seperti itu. Citra, Citra, Kok tidak dari dulu saja kamu menunjukkan taringmu supaya tidak ada yang berani menyakiti harga dirimu?' perempuan tersebut sambil menerawang jauh ke depan pelataran rumahnya itu.Pagi itu sebenarnya
Sebelum benar-benar masuk ke ruang persidangan, Citra pun tak lupa mengecek segala bukti yang telah dia siapkan sebelumnya agar proses perceraiannya dengan Aldo bisa berjalan dengan cepat dan lancar."Apa itu?" tanya Laras di sela kegiatan Citra menata segala berkas yang dia bawa."Beberapa foto yang sempat aku ambil kemarin saat Aldo dan Kinan sedang melaksanakan pesta pernikahan," terang Citra di tengah kesibukannya."Ah, yang waktu itu. Coba aku lihat," ucap Laras sembari mengambil beberapa potret yang sudah sempat Citra cetak."Wah, pestanya memang tampak begitu megah. Aku tidak bisa membayangkan betapa malunya Kinan dan keluarganya atas tindakanmu kemarin. Kamu benar-benar berani, Citra," tukas Laras memuji Citra sembari mengacungkan salah satu jempolnya."Tentu saja, kenapa pula aku harus takut," balas Citra acuh. "Selesai," imbuh Citra setelah memastikan segala apa yang telah dia persiapkan sama sekali tida
"Citra ....""Citra?!" Suara yang semakin meninggi.Seketika, Citra yang sedari tadi fokus ke hal yang lain, pun langsung sedikit tersadar dan tersentak akibat suara Laras. Citra menoleh ke arah Laras."Ah, ya?" beonya kemudian."Kamu kenapa sih? Dari tadi celingukan gitu. Bahkan sampai-sampai aku panggil pun kamu gak sadar—" protes Laras sembari ikut celingukan ke arah sekitar. Mencoba untuk mencari tahu apa yang mencuri perhatian temannya sedari tadi."—emangnya kamu liat apa sih?" imbuhnya kembali, penasaran apa yang membuat Citra begitu tertegun dan nampak kebingungan."Ah, tidak ... tidak ada apa-apa kok!" timpal Citra langsung. "Kayaknya tadi aku hanya salah lihat aja.""Salah lihat? Memangnya siapa yang tadi kamu lihat, Cit?"Mendapatkan pertanyaan dari Laras, Citra terdiam sejenak. Ia tak langsung menjawab dan hanya menimbang apakah benar tadi ia salah lihat.
“Aldo, apa maksudnya semua ini hah? Kamu jangan membuat Mama malu ya? Apa kata teman-teman Mama kalau tahu kita tinggal di rumah yang sedang dalam masalah di Bank?” tanya Miranti merasa kebakaran jenggot. Padahal semua orang tahu kalau dia hanya menumpang di rumah menantunya. Miranti sama sekali tidak tahu malu, selama hidup menumpang sama sekali tidak merubah kebiasaannya pamer. “Sabar Ma, aku akan tanya kepada Citra kenapa semua ini terjadi,” jawab Aldo ikut kebingungan, karena memang dia sama sekali tidak tahu menahu tentang kepemilikan rumah tersebut. Selama ini dia terlalu nyaman dengan fasilitas yang di berikan oleh sang istri dan bahkan berani mengkhianati istrinya karena mengira sang istri tidak akan tahu tentang dirinya. “Tidak bisa begini Aldo, Citra itu memang sengaja ingin mempermalukan kita, terutama kamu Do, kamu harus bertindak!” desak Miranti berapi-api. “Iya-iya Ma, aku masih
Guntur mengatupkan rahangnya dengan kuat begitu mendengar teriakan dari putri semata wayangnya barusan. Bagaimana tidak, selama ini Kinanti tidak pernah membentaknya seperti itu, tapi kali ini, gara-gara keluarga parasit yang ingin dia bawa ke rumah ini, Kinanti bahkan bisa-bisanya mendesaknya seperti ini."Kinan mohon, Pa,” ucap Kinanti cepat-cepat menyertai teriakannya tadi, gadis itu sadar atas bentakannya barusan.Guntur menggeleng sambil melirik ke arah luar rumahnya sebentar lewat ruang tamu. Ternyata Aldo sudah menunggu di depan rumah.“Kamu jangan keras kepala dibilangin, Kinan!” harik Guntur. “Mau jadi apa lelaki seperti itu? Sebelum menikah saja sudah menyusahkan kamu, kini tidak lama setelah menikah dia ingin keluarganya menumpang di sini? Benar-benar suami dan menantu yang tidak tau malu!” cacinya dengan dada yang naik turun.Kinanti tau betul akan mendapatkan penolakan hebat yang disertai oleh cemoohan dari Guntur
Tak ada sambutan istimewa, yang ada justru raut wajah kecut dari Guntur. Dia malas dan masih sangat malas menghadapi kenyataan, kalau wanita sejenis Miranti akan tinggal di rumahnya. Guntur menghela napasnya, dia kemudian membuang wajahnya dengan malas."Wah, Tuan Guntur. Terima kasih sudah menyambut kami, akhirnya kita menjadi besan juga, ya." Miranti tersenyum dengan sangat lebar, walau Guntur tak menanggapi dirinya.Tuan Guntur bahkan memasang wajah dingin, malas untuk berdebat, dia tak ingin membuat putrinya terbebani jika tahu dia dan mertua baru putrinya itu masih berseteru. Guntur tak ingin beradu mulut, yang nantinya akan membuat Kinanti marah padanya. "Papa mau ke kamar dulu," ucapnya."Pa, di sini dulu. Temani yang lainnya, kan kita baru aja sampai.""Kinanti, Papa—""Papa!" rengek Kinanti memohon pada ayahnya.Tak ada pilihan lain, selain mengiyakan ucapan putrinya. Guntur harus duduk, di
"M-maksud anda apa ya?"Miranti terdiam untuk sesaat, bersama dengan kedua telinga yang menangkap suara keributan yang dimaksud oleh besannya. Namun benar saja, suara teriakkan itu rupanya berasal daei kamar Raya dan terdengar cukup jelas.Miranti sontak mengumpat tak karuan dan tanpa berpikir panjang wanita itu bergegas menuju kamar anaknya yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri.Tak hanya itu ... rupanya langkah Miranti diikuti oleh Aldo, Kinanti dan juga Guntur yang mengekor di belakangnya dan turut menyaksikan saat Miranti tengah menggedor-gedor kamar anak pembuat onar itu.Miranti terus menggedor pintu kamar tersebut dengan sedikit kencang hingga menimbulkan kebisingan yang tentu terdengar oleh Raya."Raya!? Buka pintunya!!"Raya sontak saja terhenyak! Ia baru saja tersadar dari amukkan yang sempat menguasai dirinya.Gadis itu lantas menyeka air matanya yang masih tersisa memb
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng