"Sayang sekali nggak ada teman ngobrol."
Hem, belum tau saja dia, kalau ibu kos yang baik itu sering sekali naik, ngecek ini itu, ngajak ngobrol abcd. Jadi meski sendirian, aku nggak kesepian lah. Malah seneng, punya privasi."Padahal tadi ibu bilang kamarnya ada lima, ya?""Iya, jadi kayak balon, ada lima, rupa-rupa warnanya."Berdua kami terkekeh. Aku kenapa, ya. Jadi eror begini."Terus kalau nggak kerja, ngapain, dong? Di sini sendirian, pisah sama yang punya rumah. Nggak takut kamu sendirian di atas sini, Nad?"Eh, takut? Kenapa nggak kepikiran ke sana, ya?"Enggak lah. Takut apa emangnya?"Sosok yang duduk di sampingku itu menaikkan kedua bahunya."Kalau pulang kerja kan aku ngerajut, jadi nggak bosen juga, Jar. Ya, aku manfaatkan waktu semaksimal mungkin, jangan sampe terbuang sia-sia waktunya.""Hebat, nggak salah aku milih calon istri."Ish, dia merayu lagi. Sudah merah ini pa.Mereka bilang aku pemilih dan kesepianTerlalu keras menjalani hidupBeribu nasehat dan petuah yang diberikanBerharap hidupku bahagia … .Berdiri telingaku mendengar lagu I'm single and very happy, yang dibawakan Oppie Andaresta. Tangan yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas, seketika terhenti, lalu mencari sumber suara. Baru teringat kalau sejak tadi televisi menyala tanpa diperhatikan. Memang lah saat seorang diri seperti ini, seringkali kunyalakan benda elektronik itu sebagai teman, biar nggak sepi-sepi amat. Tapi, kalau sedang khusyuk mengerjakan sesuatu kadang lupa juga, sih.Bibir ini juga jadi mengikuti lirik selanjutnya. 'I'm single and very happy', rasanya cocok dengan kondisiku saat ini. Alhamdulillah 'ala kulli haal.Ya, aku cukup merasa bahagia menjalani hidupku yang sekarang. Menjadi pribadi dan individu yang bebas merdeka hendak melakukan apa saja. Pelan tapi pasti, luka yang pernah kubawa saat datang ke kota
POV Rudy"Telpon adikmu, Nang."Aku baru saja pulang dari sawah. Baru saja duduk di kursi teras setelah membersihkan kaki, lantas menyesap sebatang rokok, saat mendengar pinta ibu."Sebentar to, Bu. Aku tak ngrokok dulu," tolakku. Nggak enak amat lagi asik ngerokok malah disuruh. Baru juga duduk."Ayo, sekarang!" perintah beliau seperti tak sabar. "Ibu cuma mau dengar kabar adikmu. Bocah, kok, pulang enggak, nelpon yo jarang" keluh ibu, kemudian duduk di sampingku.Aku menghela napas, lantas menyentaknya. Terpaksa kuletakkan rokok di ujung bangku, lantas mengambil handphone di lemari.Gegas kucari nomer Nadira. Ia memang jarang menelpon, seringnya hanya kirim pesan. Aku pun sebenarnya rindu dengan suaranya. Namun, untuk menghubungi lebih dulu, aku merasa sungkan, sebab didera rasa bersalah yang besar.Entah bagaimana kabarnya sekarang. Sudah berbilang bulan ia tak pulang, sejak perdebatan dengan ibu tentang pernikahan.
"Ini pasti gara-gara kamu suka makan sayap ayam, makanya terbang ke mana-mana. Habis ke Surabaya, ke Medan juga. Cah wadon, kok plencang-plencing."Ibu menggerutu, selalu begitu kalau bicara dengan Nadira. Kudengar tawa renyah dari seberang telepon."Ibu ada-ada saja. Apa hubungannya makan sayap ayam sama pergi ke Medan," lagi ia terkekeh."Yo ada. Lha itu, kamu nggak ingat pulang, malah mau pergi melebihi kakakmu yang laki-laki," protes ibu.Ah, ibu benar juga. Dia, adik perempuanku, panjang sekali langkahnya. Ia bahkan melampaui jarak yang pernah kutempuh sepanjang karirku merantau."Oh, ini pasti karena ibu berprasangka begitu, makanya sekarang terkabul. Ucapan itu doa, lho, Bu. Iya, kan, Mas?"Nadira masih terkekeh. Aku menggelengkan kepala. Bisa saja dia membalikkan ucapan ibu."Minta doanya ya, Bu, Mas. Doakan semoga perjalananku lancar, selamat sampai tujuan," pintanya kemudian."Iya, Nduk, ibu selal
POV NadiraSekitar jam empat sore, aku tiba di bandara Kualanamu. Gegas menonaktifkan mode airplane pada ponsel. Pak Arfan telah berpesan supaya menghubungi beliau begitu sampai, supaya segera dijemput ke sini.Pesan dari Pak Arfan dan Ko Heru--teman Pak Arfan--berebut muncul di layar ponsel."Kamu dijemput Ko Heru, ya, Nadira. Harusnya Sony, tapi lagi ada acara dia," pesan Pak Arfan."Hati-hati, jangan sampai hilang di negri orang."Aku tersenyum membacanya. Bukankah ini masih di Indonesia?"Saya tunggu di dekat pintu keluar. Pakai baju kuning. Istri saya pakai baju merah," pesan Ko Heru.Aku menoleh ke arah pintu keluar, di mana para penumpang berebut jalan. Dadaku berdebar kencang, sebab ini akan menjadi pertemuan pertama dengan teman Pak Arfan. Bagaimana jika yang mengenakan baju warna merah dan kuning ada lebih dari satu orang?Tiba-tiba terlintas adegan sebuah film, di mana seseorang menjemput or
Ko Heru sudah menyambutku, lalu memperkenalkan dengan sang adik yang bertugas menjaga toko. Berbincang sebentar, aku langsung menuju ke ruang desain, dimana Alma dan Sony berada. Mereka, tangan kanan perusahaan ini.Rasa grogi tentu ada, karena mereka berdua masih asing sama sekali. Meski aku telah lama memegang program yang akan kuajarkan, tetap saja rasanya berbeda saat memberikan penjelasan sambil mencari beberapa tool yang digunakan. Badan ini juga masih beradaptasi, belum merasakan panasnya Medan, hingga sweater yang telah kulepas, kukenakan lagi."Panas-panas kok, pakai sweater, Mbak?" tanya Bu Reni. Beliau lumayan lancar bicara bahasa Jawa, meski lahir dan besar di Medan. Jadi berasa ketemu tetangga saja. "Saya nggak tahan kipas angin, Bu," jawabku apa adanya.Beberapa orang tertawa mendengar jawabanku. Biarlah. Aku memang sensitif sama kipas angin, bisa langsung masuk angin nanti.Suasana kerja yang canggung m
Keesokan harinya, perjalanan ke Lumbini menjadi bahasan di tempat kerja. Beberapa orang mengaku belum pernah ke sana, dan justru bertanya bagaimana cara untuk sampai ke tempat yang indah itu.Aku bercerita apa adanya. Tentang rasa kagum, tentang hawa sejuk, tentang apa yang ada di lokasi tersebut. Bibirku melengkungkan senyum, teringat seseorang yang kutemui sebelum meninggalkan Lumbini. Maksudku, pom bensin dekat sana saat aku numpang sholat, lalu menunggu redanya hujan yang kembali menderas."Kupikir tadi anak SMA."Celetukan itu membuat aku terjengit. Aku dikira anak SMA? Yang benar saja."Eh, kok anak SMA, sih?" protesku. Sosok yang duduk di depanku itu justru terkekeh."Lha iya. Udah kecil, pakai sepatu gitu, bawa tas ransel lagi. Kayak anak sekolah habis ikut kegiatan ekstrakurikuler. Tau, nggak?""Enggak," sambarku. Dalam diam memindai penampilan diri. Badanku memang kecil, sih. Dan pakai tas ransel ke mana-mana memang sudah kebiasaanku. Lebih nyaman dan enak saja kalau bawa ap
Pagi-pagi sekali Mas Samsul sudah muncul di depan pintu kosku, setelah sebelumnya mengirim pesan kalau diutus Ko Heru. Gegas aku menyusul Sony yang sudah duduk manis di bentor."Mau jalan-jalan ke mana, Mbak Dira?" tanya Sony sambil cengar-cengir."Nah, nggak tau. Emang mau ke mana, sih, Mas?" tanyaku balik."Emang Wak Dira nggak dikasih tau sama si Bos?" Kali ini Mas Samsul yang bertanya."Enggak, Mas," jawabku. "Eh, iya, selain kita, sama siapa lagi nanti yang pergi?"Kenapa juga semalam aku nggak kepikiran buat nanya, ya? "Ya kita aja paling, sama Cici," jawab Mas Samsul.Tak terasa bentor yang membawa kami bertiga sudah sampai di depan ruko Ko Heru. Lelaki bermata sipit itu terlihat sedang mengecek mesin mobil saat aku turun."Nah, ini dia. Ayo, berangkat," ajak Ko Heru.Aku menyalami Kak Silvi dan Ko Heru bergantian, lalu masuk ke dalam mobil, menyusul Mas Samsul dan Sony yang sudah lebih dulu mas
Jika saat berangkat tadi dapat menikmati pemandangan hijau, maka kali ini yang terlihat adalah berselang-seling antara gelap dan kerlip lampu jalan. Pun suara obrolan hanya sesekali terdengar, tak seperti saat berangkat tadi.Ya, aku memaklumi, mungkin badan sudah lelah seharian dalam perjalanan. Turun naik bukit pula..Sekitar jam sembilan malam aku baru sampai di kos. Kali ini diantar Mas Samsul dengan becak motornya. Bersama Sony juga."Met istirahat ya, Wak Dira?""Sip. Makasih Mas," jawabku dengan mengangkat jempol."Sampai ketemu besok," tambah Mas Samsul lagi, sambil dadah-dadah, lalu melajukan bentornya.Dia satu-satunya yang berangkat kerja naik bentor. Ya karena tuntutan kerja sebagai seksi sibuk memang. Kadang suka bawa anak-anak yang tinggal di mess buat berangkat atau pulang bareng. Suka diminta tolong membawa tabung gas dari toko buat masak di mess juga.Waktu baru datang ke sini, Mas Samsul mengajakku
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand