Terasa ibu mengelus punggungku,"Nduk, ingat ... kamu ini masih punya orangtua, kamu masih punya tempat untuk bercerita dan bersandar. Jangan simpan bebanmu seorang diri," ucap Ibu dengan lirih namun mampu membuat dada ini terasa begitu sesak.Tak terasa rasa sesak itu semakin menjadi hingga membuat area kedua netraku serasa menghangat, pandanganku pun kembali berkaca-kaca. Andai aku berkedip sekali pun, pasti air mata itu kembali terjatuh."Sudahlah, jangan menangis. Sekarang, jelaskan pada Ibu dan Bapak," ucap Bapak.Aku pun mengangkat wajahku, menatap Bapak yang saat ini memasang wajah sendu.Akhirnya aku pun mulai menceritakan bagaimana awalnya aku bisa mencurigai pengkhianatan yang dilakukan oleh suamiku, hingga aku pun datang ke butik di mana mereka melakukan janji untuk bertemu."Mas Yoga membawa pulang perempuan itu, Bu, ia bilang ke Rena kalau dia adalah kerabat jauh Mas Yoga dari mendiang ayahnya. Padahal Rena sudah tahu, akan tetapi, Rena pura-pura percaya dengan apa yang di
Bus yang kami tumpangi akhirnya mengurangi laju kecepatannya saat hampir sampai di tempat di mana aku mau turun. Saat kendaraan besar ini sudah benar-benar berhenti, lantas aku pun segera meminta kedua orangtuaku bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah depan. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, mereka turun, dan setelahnya baru aku lah yang menyusul. "Kita naik ojek saja ya, Nduk," ucap Bapak yang kubalas dengan anggukan. Kami pun bergegas berjalan menuju pengkolan ojek yang tak jauh dari sini. Hanya perlu beberapa menit untuk berjalan ke arah sana. "Bang, antar kami, ya. Tiga orang," ucapku. Selanjutnya, aku pun mengatakan di mana alamat yang ingin kami tuju setelah mendapatkan tiga orang tukang ojek. Belasan menit kemudian, tiga tukang ojek berhenti tepat di depan rumah. Kepulangan kami disambut oleh Yeni– adik semata wayangku yang berusia lima belas tahun."Pakai uang Rena saja, Bu," ucapku saat melihat Ibu mengeluarkan dompet usang yang di luarnya bertulisan nama
Tok! Tok! Tok! "Ren ...." Aku mengusap wajahku dengan kedua tanganku saat mendengar suara ibu yang memanggilku. "Iya, Bu, sebentar." Aku merenggangkan otot-otot di tubuhku dengan mengangkat kedua tanganku. Lantas aku pun mengubah posisiku menjadi duduk. Kusingkap selimut tipis yang menutupi tubuhku sebatas dada. Aku menurunkan kedua kakiku. Sempat aku melihat ke arah jam dinding yang menggantung. Ternyata jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Tak terasa, ternyata aku sudah tertidur dua jam lamanya. Bergegas aku pun melangkah menuju ke arah pintu lalu membuka daun pintu hanya sebatas bahu. "Udah waktunya sholat ashar," ucap Ibu dengan lirih. "Iya, Bu." Aku kembali menutup pintu setelah Ibu berlalu pergi. Aku membuka tas yang kubawa tadi, mengambil handuk dan juga baju ganti. Setelahnya aku pun melangkah ke luar kamar, menuju kamar mandi yang terletak persis di belakang rumah. Aku menengadahkan kedua tanganku sebatas dada, mengucapkan untaian doa pada sang Maha Kua
"Jangan kamu berikan dia pinjaman, Ren!" Pekikan seseorang itu seketika membuatku langsung menolehkan kepala ke arah sumber suara. Aku dikejutkan melihat Ibu yang berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah sedang berdiri dan memasang wajah yang begitu bengis. "Astaga, Tini ... aku ini Mbak-mu, Tin," ucap Bude Romlah dengan nelangsa. "Kenapa baru sekarang kamu menganggap kita seorang saudara? Kemana aja, Mbak, kamu sejak dulu? Di saat susah seperti ini kamu baru mengucapkan hal itu," pekik Ibu dengan suara bergetar. Baru kali ini aku melihat Ibu seperti ini. Aku pun bergegas bangkit dari tempat dudukku lalu berjalan mendekat ke arah di mana Ibu berdiri. Aku mengusap punggung Ibu, berharap mampu sedikit memberikan ketenangan di dalam dirinya. "Sabar, Bu ...," lirihku. Aku melihat Bude Romlah saat ini menundukkan kepalanya. "Sabar? Sudah sejak lama ibu sabar, Ren," ucap Ibu tertahan. Sungguh, kali ini aku dibuat terkejut karena melihat sikap ibu yang jauh
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang sembari tangan yang memainkan ponsel. Aku membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau. Rentetan story what'sapp mulai aku buka satu per satu. Hingga tibalah berganti story what'sapp yang diunggah oleh nomor milik Mas Yoga. [Kalau memang jodoh, sekali pun sudah milik perempuan lain, pada akhirnya akan bersatu juga.]Story pertama itu aku baca. Story itu tertulis dan dilengkapi oleh foto Mas Yoga dan Mutia yang saat itu sedang duduk bersandingan. Terlihat saat itu Mas Yoga menjabat tangan seorang penghulu. Di akhir caption tersebut, ada rentetan emoticon hambar hati. Akhirnya kubuka status yang kedua. [Aku akan memberikan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh istri pertamamu.]Deg!Seketika jantung ini seperti berhenti berdegup kencang saat membaca story kedua itu. Dari sini aku bisa yakin jika story itu diunggah oleh Mutia menggunakan nomor Mas Yoga. Apa maksudnya?Apa ia sengaja
"Mbak Rena, denger-denger Yoga menikah lagi ya?" tanya salah satu tetanggaku saat kami sedang berkerumun mengelilingi gerobak tukang sayur. Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan seuntai senyum. Sebab, aku belum menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan mereka. "Memang lelaki itu seperti itu, Mbak. Saat susah ditemani mati-matian, giliran enak dikit, eh, lupa daratan," ketusnya lagi. Sedangkan aku meneruskan gerakan tanganku yang sedang memilih sayuran yang akan kuoleh menjadi sayur sop untuk menu makan siang. "Ya begitu lah, Jeng ... makanya kita harus pandai rawat tubuh, biar suami kita nggak melirik perempuan lain," ucap yang lain menimpali. Aku hanya tersenyum ke arah mereka, tanpa berniat menjawab walau hanya sepatah kata pun. "Ya gitu lah kalau istri nggak bisa kasih keturunan buat suami, yang ada suami akan kaw!n lagi!"Ah, sepertinya Mbak Ria ini tidak ada kapoknya sama sekali. Dia terus saja menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku."Makanya Ibu-ibu, kalau suami kita
****Aku merogoh ponsel yang kusimpan di tas jinjing yang kubawa untuk melihat jam berapa sekarang ini. Dan ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi bus yang kutumpangi akan sampai di terminal. Setelah di terminal, aku tinggal memesan ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Tak jauh. Hanya memerlukan waktu kisaran dua puluh menit saja. Akan tetapi, saat baru saja aku naik ke atas motor, ponsel yang ada di dalam tas berdering. Ada panggilan masuk, dan ternyata panggilan itu berasal dari nomor seseorang yang kuminta membuatkan dua set perhiasan palsu. "Sebentar ya, Bang," ucapku pada tukang ojek, sebab aku ingin mengangkat panggilan itu terlebih dahulu. "Halo ...," ucapku ketika panggilan telah terhubung. "Halo, Mbak Rena. Hanya ingin memberitahukan jika dua set perhiasan yang Mbak Rena pesan sudah jadi. Berhubung Mbak Rena sudah melunasi di awal, Mbak Rena mau pesanan Mbak ini diantarkan oleh tukang ojek online, ekspedisi? Barangkali Mbak Rena sedang
Kedua bola mataku membelalak sempurna saat melihat pemandangan di depan sana. Emosi yang sebelumnya sudah sedikit mereda, kini kembali terasa membara. Bak sebuah api kecil yang disiram oleh cairan berupa bensin. Cepat kuletakkan tas jinjing yang menggantung di tanganku dengan asal, dengan deru napas yang memburu dan emosi yang siap diledakkan, aku melangkah mendekat ke arah mereka.Bagaimana aku tidak emosi? Aku melihat sepasang pengantin baru itu tidur di ranjang milikku, dengan posisi Mutia tidur membelakangi Mas Yoga lalu tangan lelaki itu berada di atas pinggang si Mutia. Tak ada jarak yang memisahkan tubuh mereka. Bahkan, mereka berada di dalam satu selimut. Bukan masalah itu yang membuat emosi terasa begitu membuncah, akan tetapi Mas Yoga yang menggunakan ranjangku untuk tidur bersama gund*knya. Rasanya aku benar-benar dibuat jijik sekali. Aku sudah melarang dengan keras agar mereka tak menempati ranjangku, akan tetapi lelaki itu benar-benar keras kepala. Aku terus melangka
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.