Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang sembari tangan yang memainkan ponsel. Aku membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau. Rentetan story what'sapp mulai aku buka satu per satu. Hingga tibalah berganti story what'sapp yang diunggah oleh nomor milik Mas Yoga. [Kalau memang jodoh, sekali pun sudah milik perempuan lain, pada akhirnya akan bersatu juga.]Story pertama itu aku baca. Story itu tertulis dan dilengkapi oleh foto Mas Yoga dan Mutia yang saat itu sedang duduk bersandingan. Terlihat saat itu Mas Yoga menjabat tangan seorang penghulu. Di akhir caption tersebut, ada rentetan emoticon hambar hati. Akhirnya kubuka status yang kedua. [Aku akan memberikan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh istri pertamamu.]Deg!Seketika jantung ini seperti berhenti berdegup kencang saat membaca story kedua itu. Dari sini aku bisa yakin jika story itu diunggah oleh Mutia menggunakan nomor Mas Yoga. Apa maksudnya?Apa ia sengaja
"Mbak Rena, denger-denger Yoga menikah lagi ya?" tanya salah satu tetanggaku saat kami sedang berkerumun mengelilingi gerobak tukang sayur. Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan seuntai senyum. Sebab, aku belum menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan mereka. "Memang lelaki itu seperti itu, Mbak. Saat susah ditemani mati-matian, giliran enak dikit, eh, lupa daratan," ketusnya lagi. Sedangkan aku meneruskan gerakan tanganku yang sedang memilih sayuran yang akan kuoleh menjadi sayur sop untuk menu makan siang. "Ya begitu lah, Jeng ... makanya kita harus pandai rawat tubuh, biar suami kita nggak melirik perempuan lain," ucap yang lain menimpali. Aku hanya tersenyum ke arah mereka, tanpa berniat menjawab walau hanya sepatah kata pun. "Ya gitu lah kalau istri nggak bisa kasih keturunan buat suami, yang ada suami akan kaw!n lagi!"Ah, sepertinya Mbak Ria ini tidak ada kapoknya sama sekali. Dia terus saja menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku."Makanya Ibu-ibu, kalau suami kita
****Aku merogoh ponsel yang kusimpan di tas jinjing yang kubawa untuk melihat jam berapa sekarang ini. Dan ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi bus yang kutumpangi akan sampai di terminal. Setelah di terminal, aku tinggal memesan ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Tak jauh. Hanya memerlukan waktu kisaran dua puluh menit saja. Akan tetapi, saat baru saja aku naik ke atas motor, ponsel yang ada di dalam tas berdering. Ada panggilan masuk, dan ternyata panggilan itu berasal dari nomor seseorang yang kuminta membuatkan dua set perhiasan palsu. "Sebentar ya, Bang," ucapku pada tukang ojek, sebab aku ingin mengangkat panggilan itu terlebih dahulu. "Halo ...," ucapku ketika panggilan telah terhubung. "Halo, Mbak Rena. Hanya ingin memberitahukan jika dua set perhiasan yang Mbak Rena pesan sudah jadi. Berhubung Mbak Rena sudah melunasi di awal, Mbak Rena mau pesanan Mbak ini diantarkan oleh tukang ojek online, ekspedisi? Barangkali Mbak Rena sedang
Kedua bola mataku membelalak sempurna saat melihat pemandangan di depan sana. Emosi yang sebelumnya sudah sedikit mereda, kini kembali terasa membara. Bak sebuah api kecil yang disiram oleh cairan berupa bensin. Cepat kuletakkan tas jinjing yang menggantung di tanganku dengan asal, dengan deru napas yang memburu dan emosi yang siap diledakkan, aku melangkah mendekat ke arah mereka.Bagaimana aku tidak emosi? Aku melihat sepasang pengantin baru itu tidur di ranjang milikku, dengan posisi Mutia tidur membelakangi Mas Yoga lalu tangan lelaki itu berada di atas pinggang si Mutia. Tak ada jarak yang memisahkan tubuh mereka. Bahkan, mereka berada di dalam satu selimut. Bukan masalah itu yang membuat emosi terasa begitu membuncah, akan tetapi Mas Yoga yang menggunakan ranjangku untuk tidur bersama gund*knya. Rasanya aku benar-benar dibuat jijik sekali. Aku sudah melarang dengan keras agar mereka tak menempati ranjangku, akan tetapi lelaki itu benar-benar keras kepala. Aku terus melangka
"Kita pergi dari sini," ucap Mas Yoga dengan lirih. Sepersekian detik kemudian, dua insan yang sedang di mabuk asmara itu melenggang pergi. Meninggalkanku yang masih diam terpaku dengan sisa-sisa amarah. Akan tetapi, saat Mutia melewatiku, seketika aku teringat akan ucapan Mas Yoga beberapa hari yang lalu. Soal cincinku yang diminta oleh Mutia. Kedua mataku langsung menatap ke arah jemari milik perempuan itu. Dan terperangahlah aku saat melihat cincin milikku itu melingkar di jari perempuan sialan itu. Cepat aku berjalan ke arah Mutia, kucengkeram lengannya lalu kuputar tubuhnya hingga bisa kulihat bibirnya yang saat ini meringis kesakitan akibat cengkraman tanganku. "Apa-apaan kam ....""Diam kamu, Mas!" pekikku memotong ucapan Mas Yoga. Aku menarik tangan Mutia. Bergegas kupegang kuat-kuat telapak tangan itu, lalu ...."Aduh!" pekik Mutia saat cincin milikku itu kulepas paksa dari jarinya lalu aku berkata,"jangan pernah menyentuh apalagi mengambil sesuatu dariku!" "Sakit, Ma
"Ren! Rena ...!"Brok!Brok!Brok!Aku terkejut bukan kepalang saat mendengar suara ketukan pintu dengan begitu kerasnya. Bukan ketukan pintu, melainkan suara gedoran yang begitu memekakkan gendang telinga. Apalagi gedoran itu juga diiringi suara Mas Yoga memanggil namaku. Aku berdecak kesal, sebab teriakan itu mengganggu tidur siangku. "Ren!""Ya. Bentar!" jawabku dengan nada lemas. Aku pun bergegas mengubah posisiku, dari telentang menjadi duduk. Setelahnya kuturunkan kedua kakiku dari atas ranjang lalu aku melangkah menuju ke arah pintu. Aku meraih gagang pintu lalu kubukalah daun pintu tersebut sebatas bahu. "Kenapa?" tanyaku. "Aku tunggu di ruang keluarga," ucap Mas Yoga dengan nada datar. Mungkin ia masih kesal atas sikapku padanya tadi. Yaitu menjejakkan kakiku ke tubuhnya, hingga membuat dua tubuh yang saling berpelukan itu terjatuh dari atas ranjang."Tak usah banyak tanya. Aku tunggu." Setelah berucap, Mas Yoga pun langsung berlalu pergi, meninggalkan aku yang masih b
"Toh kamu nggak ada kesibukan lain, kan? Udah terbiasa juga mengerjakan semua pekerjaan rumah. Jadi, kamu tak akan merasa keberatan. Kamu tinggal memasak lebih banyak aja porsinya. Untuk uang belanja, akan kutambah," ucap Mas Yoga dengan begitu entengnya. Apa dia pikir aku akan mau dijadikan pembantu untuk melayani dirinya dan istri keduanya? Ogah banget!"Kalau aku tak mau?" ucapku setenang mungkin, akan tetapi rahang itu terlihat mengeras. "Ren! Seharusnya kamu itu tahu diri! Masih untung kamu tidak kuceraikan karena mand*l! Sudah berkali-kali pula aku mengingatkan kamu, aku sudah membayar izinmu dengan sejumlah uang yang begitu banyaknya. Kau pikir tiga ratus juta itu sedikit?!" pekik Mas Yoga yang sepertinya sudah mulai tersulut oleh emosi. Sempat aku menangkap saat Mutia tersenyum sinis ke arahku. Mungkin ia merasa bangga dan menang karena Mas Yoga lebih berpihak kepada dirinya dibandingkan padaku. "Kenapa kamu membahas soal itu, Mas? Kenapa sekarang kamu seolah-olah keberata
"Wahai Rena Maulia Rizkia, dengan keadaan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu! Mulai detik ini, kau bukan istriku lagi, dan silahkan angkat kaki dari rumah ini ...!"Sedikit tersentak dada ini saat mendengar kalimat itu. Aku tahu, jika memang kata talak itu lah yang kuharapkan. Akan tetapi, saat mendengarnya secara langsung menimbulkan sedikit rasa nyeri di dalam sini. Ya, wajar saja menurutku. Sebab, bagaimanapun juga sosok Mas Yoga pernah singgah di dalam hatiku. Nama lelaki itu sempat bertahta di kerajaan hatiku. Aku meraup udara dalam-dalam. Berharap segera bisa menguasai diriku sendiri dan menetralkan degup jantung yang terasa berdetak lebih kencang. "Terima kasih atas talak yang kamu ucapkan, Mas. Dan ... aku menerima talak darimu," ucapku dengan nada setenang mungkin. Mendengar kalimat itu, Mas Yoga langsung mengalihkan pandangannya dariku. Entah perasaan apa yang ia rasa saat ini, aku tak tahu. Lega? Bahagia? Atau ... men
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.