"Sama aku saja, Mbak! Hari ini aku nggak ada kesibukan sama sekali. Dan rasanya aku bosan sekali tiap hari di rumah terus." Kali ini suara Mutia memotong pembicaraanku bersama Mas Yoga. Aku memutar bola mata malas sembari mencebikkan bibir. Tak sudi sekali rasanya pergi dengannya. "Iya, Ren. Kenapa nggak ajak Mutia saja? Sebentar lagi kalian akan menjadi kakak dan adik madu. Kalian berdua tak lama lagi sama-sama menjadi istriku. Apalagi semenjak kemarin setiap hari kamu hanya mengurung diri di dalam kamar. Cobalah sesekali kalian pergi bersama. Itung-itung biar kalian bisa saling mengenal. Bukankah tak kenal maka tak sayang?" "Nah, betul, Mas. Apalagi Mutia pengen keluar. Cuci mata. Bosan tiap hari di rumah aja," sahut Mutia. Pandangan perempuan itu beralih ke arahku. "Sama aku saja ya, Mbak. Mbak Rena bisa membatalkan janji Mbak dengan temannya itu. Apalagi aku tahu betul yang namanya perhiasan, jadi nanti Mbak bisa tanya-tanya ke aku," ucap Mutia dengan penuh antusias. "Hm ...
Ponsel yang ada di dalam tas milikku berdering, ada panggilan masuk. Aku yang sedang melakukan transaksi pembayaran di meja kasir pun lantas segera merogoh tas yang menggantung di pundakku. Setelah aku mengambilnya, ternyata nama Mas Yoga terpampang di layar ponsel. Aku pun lantas menghembuskan napas kasar. "Siapa?" tanya Maya yang berdiri di sampingku."Mas Yoga." "Oh ...."Aku pun lantas mengusap layar datar itu ke atas, dan setelahnya kutempelkan benda pipih itu di telingaku. "Halo, Mas." "Kamu di mana Ren? Kata Mutia sejak tadi berangkat kamu belum pulang," ucap Mas Yoga dari seberang sana. Aku pun langsung membuang pandang ke arah jam dinding yang menggantung di dinding. Ternyata sudah hampir tiga jam aku pergi. "Iya, sebentar lagi aku pulang. Lagi antri di kasir," jawabku. "Kamu jadi beli perhiasan?" "Jadi dong, Mas. Uang yang kamu berikan udah aku belikan semua. Masih sisa lima belas juta, ini aku pakai shopping dan memanjakan diri." "Oh, yaudah. Kalau masih ada uang
"Baju kamu?" tanyaku sembari melangkah mendekat ke arahnya. Setelah berdiri di sampingnya, aku pun kembali menyerobot paper bag itu lalu memasukkan kembali barang belanjaanku di tempatnya semula. Setelah semuanya masuk, aku pun menatap Mutia lalu berkata,"beli sendiri!" Cepat aku melangkah kembali menuju ke kamar, baru saja beberapa langkah, tiba-tiba kedua gendang telingaku mendengar suara nyaring yang begitu memekkan."Kik!r sekali kamu jadi orang! Harusnya kamu itu sadar, uang itu Yoga yang berikan! Timbang belikan satu baju saja apa mengurangi banyak uang yang kamu rampas dari anakku?! Ingat, Ren! Mutia itu sebentar lagi juga akan menjadi istri Yoga! Jadi orang kok pelit amat, pantas saja mand*l!" maki Ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapanku. Berkali-kali aku menghela napas dalam-dalam, jangan sampai aku bertindak kasar pada perempuan tua berlidah racun ini. "Nanti kamu minta uang sendiri ke Yoga. Kamu belanja sepuasnya. Jangan minta ke orang yang kikir!" ucap Ibu
Pov Rena**Pintu itu ditutup dengan begitu kerasnya oleh Ibu, lantas aku bersama Mas Yoga berjalan keluar kamar, menuju ke ruang tamu– dimana acara ijab qabul itu akan berlangsung.Saat aku baru saja menginjakkan kaki di sana, kedua mataku menangkap ada keluarga inti suamiku. Seperti kakak ipar bersama anak dan suaminya masing-masing.Aku melempar senyum ke arah mereka untuk menunjukkan jika aku baik-baik saja saat ini. Akan tetapi, hanya Mbak Rika–kakak tertua suamiku lah yang menjawab sapaanku, berbeda dengan Mbak Sumi–kakak kedua suamiku, ia hanya mencebikkan bibirnya.Memang, selama ini dua saudara itu sangatlah berbeda. Mbak Rika bisa menghargai orang lain, sedangkan Mbak Sumi sikapnya persis seperti Ibu mertua.Mas Yoga pun meraih pergelangan tanganku tapi aku segera menepisnya."Jangan gitu dong, Ren. Nggak enak dili
"Ren,Bapak melepas cengkraman itu dengaIbu pun juga duduk di samping Bapak. Mengelus punggung Bapak seperti sedang memberikan kekuatan pada sosok lelaki yangAku pun bergegas memeluk tubuh Bapak, rasanya begitu sakit. Sakit sekali melihat kedua orangtuaku seperti ini. Bahkan, sakitnya melebihi saat aku mendapati kenyataan jika suamiku telah mendua. sudah membersamainya selama puluhan tahun itu. n mendorSebenarnya sejak ta"Ya Allah, Bapak. Sabar, Pak. Nyebut ...." di Ibu berusaha menenanMas Yoga pun lantas beranjak lalu berdiri tepat di belakanHari ini ... untuk pertama kalinya aku melihat Bapak seluka dan sehancur ini. gku. Sudah sepeAkan tetapi, tiba-tiba tubuh Bapak terguncang dan par*ng itu terlepas dan terjatuh dari tangannya. Setelahnya tubuh Bapak terkulai lalu du
Aku pun membawa Ibu dan Bapak ke dalam kamarku. Aku meminta kedua orangtuaku untuk duduk di tepi ranjang, sedangkan aku duduk di kursi meja rias yang kursinya kugeser tepat di hadapan mereka. Sejenak kami terjebak dalam keheningan. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar menelusup gendang telinga, hingga pada akhirnya ...."Kenapa kamu diam saja, Nduk?" Bapak mengawali pembicaraan kami, sedangkan Ibu hanya menatapku dengan sorot mata yang begitu sayu. Aku pun menundukkan kepalaku sembari memainkan ke sepuluh jemariku. "Maaf, Pak. Rena hanya tak mau membuat kalian kepikiran," jawabku jujur. "Terus apa dengan cara menyembunyikannya seperti ini, Bapak dan Ibu tak merasa kecewa?" tanya Ibu dengan lembut tapi mempu membuat lidah ini terasa begitu kelu. "Nduk, yang kamu hadapi saat ini bukan masalah yang sepele. Tapi masalah yang begitu besar dan rumit. Yoga menikahi perempuan itu di depanmu itu sama saja menginjak-injak harga dirimu," ucap Ibu."Betul, Nduk. Seharusnya kamu bercerit
Terasa ibu mengelus punggungku,"Nduk, ingat ... kamu ini masih punya orangtua, kamu masih punya tempat untuk bercerita dan bersandar. Jangan simpan bebanmu seorang diri," ucap Ibu dengan lirih namun mampu membuat dada ini terasa begitu sesak.Tak terasa rasa sesak itu semakin menjadi hingga membuat area kedua netraku serasa menghangat, pandanganku pun kembali berkaca-kaca. Andai aku berkedip sekali pun, pasti air mata itu kembali terjatuh."Sudahlah, jangan menangis. Sekarang, jelaskan pada Ibu dan Bapak," ucap Bapak.Aku pun mengangkat wajahku, menatap Bapak yang saat ini memasang wajah sendu.Akhirnya aku pun mulai menceritakan bagaimana awalnya aku bisa mencurigai pengkhianatan yang dilakukan oleh suamiku, hingga aku pun datang ke butik di mana mereka melakukan janji untuk bertemu."Mas Yoga membawa pulang perempuan itu, Bu, ia bilang ke Rena kalau dia adalah kerabat jauh Mas Yoga dari mendiang ayahnya. Padahal Rena sudah tahu, akan tetapi, Rena pura-pura percaya dengan apa yang di
Bus yang kami tumpangi akhirnya mengurangi laju kecepatannya saat hampir sampai di tempat di mana aku mau turun. Saat kendaraan besar ini sudah benar-benar berhenti, lantas aku pun segera meminta kedua orangtuaku bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah depan. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, mereka turun, dan setelahnya baru aku lah yang menyusul. "Kita naik ojek saja ya, Nduk," ucap Bapak yang kubalas dengan anggukan. Kami pun bergegas berjalan menuju pengkolan ojek yang tak jauh dari sini. Hanya perlu beberapa menit untuk berjalan ke arah sana. "Bang, antar kami, ya. Tiga orang," ucapku. Selanjutnya, aku pun mengatakan di mana alamat yang ingin kami tuju setelah mendapatkan tiga orang tukang ojek. Belasan menit kemudian, tiga tukang ojek berhenti tepat di depan rumah. Kepulangan kami disambut oleh Yeni– adik semata wayangku yang berusia lima belas tahun."Pakai uang Rena saja, Bu," ucapku saat melihat Ibu mengeluarkan dompet usang yang di luarnya bertulisan nama
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.