"Heh, Yoga! Astaga! Bukan gitu caranya. Ya Allah, Ya Robbi ... Astaghfirullah hal'adzim! Nanem padi itu jalannya mundur, bukan maju! Kalau gitu caranya, bisa rusak semuanya! Ya Allah!" ucap Rohman frustasi saat melihat Yoga yang menanam padi dengan melangkah maju dam mendapati bibit padi yang sudah tertancap itu menjadi rusak.
Rohman mengacak rambutnya kasar, kali ini ia semakin dibuat kesal oleh ulah yang dilakukan oleh karyawan barunya itu."Apanya yang salah, Lek? Kan betul, yang penting dah nancep," ucap Yoga dengan begitu entengnya.Lengan lelaki itu mengusap kening yang sudah dibanjiri oleh peluh. Tak bisa di pungkiri, baru saja tiga puluh menit bekerja di sawah, Yoga benar-benar merasa tersiksa. Sejak dulu, ia sama sekali tak pernah melakukan pekerjaan yang ia lakoni saat ini."Lihat itu padinya!" pekik Rohman sembari menunjuk ke arah belakang Yoga. Secepat kilat Yoga menolehkan kepala, dan benar saja, sepasang mata itu melihat tanaman"Bu, lauknya mana?" "Lah, itu! Kamu nggak lihat di depanmu sudah ada sayur sama sambal?" ketus Ruminah dengan tatapan tertuju pada semangkok sayur dan Mutiara secara bergantian.Sungguh, sikap Ruminah berubah total kepada Mutiara. Padahal, dulu ia begitu menginginkan Mutiara sebagai menantunya. Ia mendukung penuh pernikahan kedua sang putra. "Ini kan sayur, Bu? Maksudnya lauk pelengkapnya. Ikan atau ayam goreng gitu?" "Nggak ada lauk! Kalau mau, ya makan itu aja! Sayur sama sambel, kalau nggak ketelen, nggak usah makan!" ketus Ruminah lagi. Mutiara lantas mengambil sendok sayur lalu memasukkannya ke dalam mangkok itu. Saat ia mengaduknya, Mutiara kembali tertegun saat sayur sop itu hanya berisi beberapa macam sayuran saja. Tak ada bakso, sosis atau pun ayam. "Astaga! Makanan macam apa ini? Cuma sayuran doang," batin Mutiara dengan tangan terus mengaduk isi sayur sop itu. Ruminah yang menyadari gurat wajah yang ditu
Pov Mutiara**Satu minggu sudah Mas Yoga menjalani profesi barunya sebagai seorang pengangguran. Selama itu aku terus berusaha berjualan online. Menawarkan barang-barang yang bisa kujual di sosial media. Salah satunya aplikasi facebook, di sana kujadikan tempat untuk promosi. Mengandalkan uang dari Mas Yoga? Cih! Lelaki itu benar-benar pilih-pilih pekerjaan. Tiap ada yang menawari lowongan pekerjaan selalu ditolaknya, alasannya sama, ia dulu seorang bos, jadi pantang sekali jika harus bekerja sebagai pesuruh atau pun bawahan. Semakin lama aku di sini, sikap ibu mertuaku semakin tak terkendalikan. Bahkan, di depan kedua mataku, ia terang-terangan menyebutku sebagai seorang beban, penyebab kemiskinan yang dialami oleh Mas Yoga, dan masih banyak lagi. Tring!Ponsel yang ada di sampingku berdering. Cepat kuraih benda pipih itu lalu kutekan menu power yang ada di sisi samping ponsel. Saat layar itu menyala, terlihat ada satu pesan diterima dari aplikasi facebook. Bergegas aku membuka
"Tapi aku butuh modal, Mas. Setidaknya untuk beli kaos yang dipesan itu butuh modal 1,2 juta. Kamu ada uang?" tanyaku. Meskipun aku tau jika kemungkinan Mas Yoga memiliki uang itu begitu kecil, tapi apa salahnya bertanya? Barangkali Mas Yoga memiliki uang simpanan.Mas Yoga menggelengkan kepalanya. "Terus gimana aku bisa beli barang itu, Mas? Kalau dibatalin, sayang banget, Mas. Untung tiga ratus ribu kan lumayan, Mas.""Kalau bayar belakangan emang nggak bisa? Nanti kalau barang itu dah jadi duit, baru dibayar deh," ucap Mas Yoga sembari berusaha mengubah posisinya. Terlihat Mas Yoga mengubah posisinya menjadi duduk, menumpuk beberapa bantal lalu ia gunakan sebagai sandaran. "Gimana kalau kamu pinjemin ke Mbak-mu dulu, Mas? Nanti dibayar kok pastinya.""Nggak! Nggak! Kita nggak ngrepotin dia aja, dianya ketus banget sama kita. Apalagi kalau kita pinjem uang. Bukanmya dikasih pinjaman, yang ada akan tersebar ke segala penjuru kampung ini kalau kita cari hutangan."Aku menelaah ka
"Sayang, jadi cod sekarang? Yuk Mas anterin pakek motor. Bisa kok kalau ngangkut barang segitu," ucap Mas Yoga sembari berdiri tak jauh dariku. Aku melirik ke arah jarum jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Waktu yang dulu kusepakati untuk melakukan COD.Ya, Mas Yoga memang belum tau soal customer yang ternyata hanya menipuku. Aku memang belum mengatakannya, bukan tanpa sebab, akan tetapi aku masih berpikiran positif pada customerku kemarin. Berharap ia membuka blokiran tersebut dan melanjutkan transaksi jual beli itu. Aku mendengkus kesal. "Kenapa? Kok manyun?" tanya Mas Yoga yang sepertinya mengerti raut wajahku. "Nggak jadi! Aku ditipu!" ucapku ketus. Mendengar ucapanku, membuat kedua bola mata milik Mas Yoga membelalak sempurna. "Ditipu gimana maksud kamu?" Lelaki itu berucap sembari berjalan mendekat ke arahku. "Ya ditipu! Kemarin bilang pesen, giliran barang sudah ada, eh nomorku diblokir. Tak hanya nomor wa, akun facebookku pun juga turut diblokir olehnya.
Aku bersama Mas Yoga melangkah sesuai dengan arah yang kutunjukkan, dan benar saja, di teras rumah itu terlihat begitu ramai. Banyak ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras rumah. Sungguh, sebenarnya aku malu sekali melakoni pekerjaan seperti ini. Tapi apa boleh buat, aku juga butuh uang buat beli skincare, ponsel dan kebutuhanku lainnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah membeli makanan yang layak dikonsumsi biar tubuhku tak semakin kurus. Bagaimana tidak kurus, ibu mertua saja selama ini hanya memberikan aku nasi dan hanya berteman dengan sayur yang berkuah. Tak ada lauk apalagi daging dan ikan. Setiap harinya ibu selalu masak menu sop, lodeh, sayur bayam atau pun tumis kangkung. Dan lebih parahnya, satu menu itu untuk makan pagi, siang, dan sore. Kalau ibu mertua sedang baik hati, ia akan membelikan kerupuk. Itu pun tiga hari sekali belum tentu. "Ibu-ibu, saya bawa baju keluaran terbaru nih. Harganya murah meriah loh ...," ucapku menekan rasa malu kuat-kuat. "Widih, sekara
Pov Yoga**Dret!Dret!Terdengar getaran ponsel dari dalam kamar, dering ponsel pertanda ada telepon masuk pun juga menelusup gendang telingaku. Aku yang sedang melangkah akan melewati kamar yang kutempati lantas berhenti, menolehkan kepala ke dalam kamar yang saat ini sedang dalam posisi pintu yang terbuka. Tak kulihat keberadaan Mutiara. "Sepertinya dia sedang mandi," lirihku sebab aku tadi sempat melihat Mutia menyampirkan handuk ke pundaknya dan berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Ponsel itu terus berdering, akhirnya aku melangkah masuk. Mataku memicing saat melihat panggilan suara dari nomor yang tak tersimpan di ponsel itu, ditambah tak ada pula foto profil yang terpampang. Begitu ingin kuangat, panggilan itu dimatikan.Saat aku baru saja ingin kembali melangkah, tiba-tiba ponsel kembali berdering. Kuurungkan niatku dan kutoleh kembali benda pipih yang tergeletak di
"Istirahat, Nak. Kamu itu sudah hamil tua. Harusnya banyak istirahat. Kebanyakan duduk di depan laptop juga tidak baik." Ibu Rena menasihati sang putri. Setiap hari wanita paruh baya itu selalu mengkhawatirkan putrinya. Rena selalu saja menyempatkan menulis bahkan kadang-kadang dia begadang untuk menulis naskah ceritanya. Rena tersenyum mendengar kekhawatiran ibunya. Adalah hal yang wajar untuk seorang ibu mencemaskan anak kandungnya, terlebih saat ini ia sedang berbadan dua. Akan tetapi, Rena paham apa yang ada di pikiran sang Ibu. Tapi dia juga punya alasan tersendiri. Demi jabang bayi yang sudah berbentuk sempurna dan hanya menunggu waktu untuk menjejakkan kaki di dunia. Untuk bayi yang semua keperluannya dari ujung kepala sampai ujung kaki dibayar dengan uang, bukan dengan daun. Terlebih, tak ada yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri. Orangtua?Ah! Rena sosok perempuan yang cukup tau diri. Ia tak mau menyusahkan sosok yang telah merawatnya selama ini. "Sebulan lagi anak i
Sang adik rupanya mendengar cerita apa yang baru dilalui oleh Rena hari ini. Adik Rena yang sedang bersekolah dan berada di kelas dua belas itu menghampiri sang kakak yang masih fokus menulis. Rena memang sedang fokus-fokusnya mencari uang sampai-sampai dia lupa sekitar. Adiknya kadang merasa sedih melihat kakaknya yang seharusnya banyak istirahat malah stress akibat tumpukan pekerjaan yang menggunung atau lebih tepatnya, Rena sendiri yang membuat dirinya harus bekerja keras. "Gak capek, Mbak?" tanya sang adik yang duduk di atas ranjang Rena. Mata dan jemari Rena masih berkutat di laptop miliknya. "Capek ya capek. Tapi kakak harus cari uang. Sebentar lagi kakak melahirkan, Dek."Sang adik menghela nafas melihat semangat kakaknya. Rena memang pejuang tangguh. Disaat banyak wanita yang dimanja sang suami ketika hamil, kakaknya malah harus melakukan apa-apa secara mandiri."Mbak Rena pakai uangku saja. Aku punya tabungan, kok."Rena tidak mendengarkan adiknya. Dia sudah biasa mendapat
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.