“Seperti yang sudah dijelaskan kepolisian tadi, Bude. Supriyatno menghina Dayana di pasar tadi.”
“Ih benar-benar ya itu lakik! Ditolak lamarannya sampai segitunya dia dendam. Lagian kalau ditolak itu harusnya introspeksi diri bukan justru nyalahin orang lain. Memang kalau dari akarnya jelek mah jelek saja,” gerutu Lala ketika mendengar ulang rekaman suara Supriyatno.
“Ya sudahlah, toh sudah diurus sama pihak berwajib. Ya sudah kita istirahat dulu. Ayo!” ajak Ratih menghentikan pembicaraan mereka.
Dayana membaringkan tubuhnya di atas ranjang netranya menatap langit-langit kamar, ia teringat akan ucapan Sagara siang tadi. Hingga tak sadar ia pun terlelap dan berselancar di alam mimpinya.
Waktu terus bergulir, sudah sepuluh hari Dayana tinggal di kampung halamannya. Pagi ini kediaman rumah Dayana terasa ramai dan ricuh. Sejak pagi tadi, Dayana dan ibunya bergantian me
Setelah berjibaku selama 3 jam di jalan raya, kini mobil Sagara terparkir di halaman parkir rest area. Ia mengajak Dayana dan keluarganya untuk menikmati makan siang terlebih dahulu. Pilihan mereka jatuh pada sebuah restaurant yang menyajikan makanan khas indonesia. Setelah memesan makananya, Sagara mengajak keluarga Dayana duduk di saung yang menghadap langsung ke hamparan laut.“Mas, terima kasih ya,” ujar Dayana seraya memandang keceriaan Rai dan Rara yang sedang bermain kaki di air laut. “Karena kehadiran mas di sini memberikan sedikit tawa untuk kami yang sedang ….”“Tidak perlu berterima kasih, Day. Semua sudah ditakdirkan dan digariskan. Aku justru berterima kasih, karena berada di tengah kalian itu seperti menemukan kebahagian baru dan kehangatan keluarga yang sudah lama terpendam.”Dua insan berbeda jenis kelamin itu menatap lurus ke deburan ombak yang sesekali menggulu
“Kamu sudah menikah? Dan kamu tidak memberi tahu ibu? Kamu anggap ibu apa?” ujar Ratih dengan raut wajah kecewa.Dayana hanya terdiam, rahasia yang selama ia pendam akhirnya mencuat juga. Wanita itu tahu jika dirinya memang salah namun, ia tak menyangka jika akan terbongkar secepat ini.“Em bu, maaf lebih baik kita duduk dulu.” Sagara mencoba menengahi ketegangan yang terjadi.Wanita paruh baya itu menurut, ia duduk di kursi tamu di depannya Dayana tengah tertunduk malu. “Jadi?” tanya Ratih menagih janji dari Sagara.Pria itu menatap Dayana sejenak, meminta izin untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. “Setahun lalu, Dayana memang sudah menikah dengan seorang pria. Namun bu, itu semua Dayana lakukan untuk menyelamatkan nyawa orang lain.”“Maksudnya kamu hamil?” potong Ratih.“Tidak bu, bukan
Aidan mengabaikan sambungan telepon itu, ia bahkan mematikan ponselnya dan menyimpan di bawah bantal. Saat ini ia tak lagi mempedulikan Shana, karena sekarang ia sudah tahu jika wanita yang dipuja-pujanya tak lebih dari wanita malam yang menjadi bahan cicipan pria hidung belang. Ia semakin yakin jika bayi yang dikandung Shana bukanlah buah hatinya, melainkan pria lain yang menjadi teman tidurnya juga.“Enghhh,” lenguh Tania seraya merenggangkan ototnya.Aidan mengusap rambut wanita itu, ia menyambut dengan senyuman manis. “Tania, aku semakin yakin untuk meminangmu.”Tania mengerjapkan mata tak percaya. “Mas yakin?” tanyanya seraya bangkit dan duduk di samping tubuh Aidan.“Mengapa tidak? Bagaimana jika setelah rencana kita berakhir, kita menikah?” tanya Aidan mengenggam tangan Tania.Tania gelisah, ia tak tahu apakah ucapan pria di
“Belum tetapi akan,” jawab Sagara tenang dan santai. Berbeda dengan Dayana yang sudah dirundung kegelisahan dan salah tingkah.Tim marketing itu hanya tersenyum tipis dan kembali melanjutkan penjelasannya tentang ruangan lain juga taman belakang yang masih kosong. Wanita itu juga mengajak Dayana untuk melihat unit lain yang masih satu ukuran hanya berbeda type bangunannya.Rumah terakhir yang Dayana singgahi bergaya minimalis namun lebih terlihat nyaman dengan taman kecil di sudut rumah dengan air mancul kecil. Satu hal yang Dayana sukai dari bangunan itu adalah tangga yang mengantarkan ke pintu utama. Di lantai pertama, terdapat sebuah kamar utama, ruang tamu, ruang keluarga, dapur serta ruang makan dan kamar mandi. Sedangkan di lantai dua terdapat tiga buah kamar tambahan dengan ruang keluarga yang menghadap langsung ke arah hamparan taman komplek.“Jadi ibu suka unit yang mana?” tanya marketing
“Kamu di sini?” tanya Lala seraya menatap Dayana terkejut.“Eh iya, sama ibu, adik sama ….”“Pak Sagara, ‘kan?” lanjut Nabila dengan senyum menggoda.Bella menyenggol bahu Dayana dan meliriknya. “Cie udah makin dekat saja nih.”Dayana berusaha mengelak namun, semakin ia mengelak semakin gencar pula sahabatnya menggoda dirinya. Akhirnya, keempat sahabat Dayana ikut serta bermain di arena permainan bersama dengan adik-adik Dayana. sedangkan Dayana lebih memilih duduk di kursi tunggu bersama dengan Ratih.“Terima kasih ya, Mba. Kamu sudah menyenangkan adik-adikmu. Setidaknya Rai gak sedih lagi, ibu juga gak lihat Rai dibully. Setiap pagi, Rai selalu bantu ibu membuat jajanan pasar atau nasi kuning untuk dijual di sekolahan. Sudah lama ibu mendengar cerita tentang pembullyan itu dari Rara. Tetapi kamu tahu sendiri mba
Sejak pengakuan Sagara di teras rumahnya beberapa jam yang lalu membuat Dayana tak bisa tidur hingga jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Dayana hanya berguling ke kanan dan kiri seraya menghela napas berulang kali.Ia menyalakan ponselnya lantas menutupnya kembali. Dayana membaringkan tubuhnya menatap plafon rumah berwarna putih. Terlintas raut wajah Sagara pria yang belakangan ini selalu ada di dekatnya. Wajah pria itu ketika tersenyum, serius bahkan ketika ia sedang jahil.“Apa aku jatuh cinta padanya? Seperti ia kepadaku? Apa kali ini perasaanku terbalaskan?” Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benak Dayana.Dering di ponselnya mengalihkan perhatian Dayana, wanita itu meraih gawainya dan menatap nama yang tertera di layar berukuran 6,5 inc. Dayana tampak ragu, ia bingung harus menggeser tombol hijau atau merah. Hingga entah bagaimana terdengar suara barithon yang menyapanya.&
“Mas kenapa makin pelosok ya?” tanya Tania mengedarkan pandangan ke arah sekitar. “Perasaan dulu jalannya gak gini deh. Apa kita nyasar Mas?” wanita itu tampak panik, apalagi di samping kiri dan kananya hanya terdapat tebing berbatu yang curam.“Tenang dulu, siapa tahu di depan sana ada rumah warga yang bisa kita tanyai.” Aidan mencoba tetap tenang walau di dalam hatinya timbul rasa panik dan bingung.Tania tampak gelisah di dalam duduknya berulang kali ia menegok ke arah belakang dan samping mobil. “Mas gimana kalau habis bensin di tengah jalan?”Ucapan wanita itu menyadarkan Aidan, sejak kemarin ia belum mengisi bahan bakar mobilnya. “Mas kita putar balik saja. Kita cari lokasi lain yang tidak di sini.”“Tidak apa. Bensinnya masih ada kok.”Tania mendesah pelan, di depan sana terlihat gelap dan berkab
Sagara menyimpan kembali surat itu ke dalam kotak dan meletakkannya di atas nakas. Pria itu membaringkan tubuhnya di atas kasur berukuran king size yang dibalut bedcover tebal bermotif salah satu club bola favoritnya. Lambat laun rasa kantuk pun menyerang pria kelahiran 95 itu. Ia memejamkan mata dan masuk ke alam mimpinya.Suara adzan shubuh yang berkumandang memanggil umat muslim untuk menjalankan tugasnya pun terdengar sayup di teling Dayana. Wanita itu bergegas bangun dari tidurnya, ia terduduk di pinggir ranjang, netranya menatap ke sekeliling kamar yang baru saja ia tempati. Rumah yang terasa nyaman dan teduh, terlebih ia bisa berkumpul dengan adik juga ibunya.“Nduk, sudah bangun?” panggil Ratih mengetuk pintu kamar Dayana.“Sudah bu,” sahut Dayana dari balik kamarnya, ia masih mengumpulkan nyawa yang tertinggal di alam mimpi.“Ya sudah ibu tunggu di bawah ya, kit
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras