Pria itu membaca huruf yang tertera di kontak ponsel Dayana. “Suamiku? Tetapi dari nada dan bahasa yang ia gunakan sepertinya ada yang tidak beres.”
Saat ia sibuk dengan pikirannya, seorang perawat membuka pintu ugd “Dengan keluarga pasien?” pekik seorang perawat di ambang pintu ugd.
Pria itu bangkit dari duduknya. “Bagaimana keadaannya sus?”
“Pasien hanya mengalami kelelahan dan cidera pada bagian tangan serta bahu sebelah kanan. Apa bisa kita ambil tindakan?”
Kening pria tegap itu berkerut. “Tindakan?”
“Kita perlu mengambil rontgen juga general check up untuk pemeriksaan lebih detail, karena pada saat kami mengganti pakaian pasien tanpa sengaja kami melihat luka memar di beberapa bagian tubuh juga rahangnya. Mungkin sebelumnya pasien pernah terjatuh.”
“Lakukan saja dok, saya akan mengurus administrasinya.” Setelah mendengar pernyataan pria itu, perawat pun mengarahkan untuk segera menuju ke bagian administrasi dan menyelesaikan semuanya.
Dengan penuh tanda tanya, pria itu berjalan di lorong rumah sakit mengabaikan pandangan kagum setiap kaum hawa yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. “Saya mau mengurus pasien atas nama … .” Pria itu membuka dompet Dayana dan mencari kartu identitasnya. “Dayana Frederica Amaranth, yang baru saja masuk ugd.”
“Baik pak, boleh saya pinjam kartu identitasnya?” Pria itu mengangguk dan menyerahkan kartu identitas Dayana.
‘Nama yang indah,’ lirihnya tanpa sadar.
“Dengan bapak siapa?” tanya petugas administrasi itu.
“Sagara.” Petugas pun meminta pria bernama Sagara itu untuk menunggu sejenak.
Setelah proses administrasi selesai, Sagara pun kembali ke ruang ugd. Setibanya di sana, ia melihat brankar Dayana sedang didorong keluar dari ruang ugd. “Mau dibawa ke mana sus?”
“Kita pindahkan pasien ke ruang rawat pak, seraya menunggu pasien sadar setelah itu kami akan melakukan proses rontgent.” Sagara mengangguk, ia pun mengikuti langkah perawat yang memasuki lift khusus pasien.
Lima belas menit berlalu, brankar Dayana tiba di ruang Flamingo kelas vvip. Perawat pun memindahkan tubuh Dayana ke ranjang rawat setelah itu meminta Sagara untuk segera mengabarkan ke perawat jaga jika sewaktu-waktu Dayana sadarkan diri, Sagara mengangguk.
Pria itu melepaskan jasnya dan menyampirkan ke atas sofa, dia duduk di salah satunya seraya pandangan mata yang tak lepas dari tubuh Dayana. Ia pun terasa tak asing dengan wajah Dayana. Seperti pernah bertemu namun ia lupa tepatnya di mana.
“Dayana … Dayana … Dayana, siapa ya? Wajahnya terlihat familiar pun dengan namanya. Tetapi siapa ya? Terus suara penelpon tadi aku seperti kenal.” Sagara hanyut dalam kebingungannya, hingga dering di sakunya berbunyi.
Ia pun segera menggeser tombol hijau dan menempelkannya ke sebelah telinga. “Hallo bro!” sapa Sagara.
[“Di mana bro? Jadi kumpul gak nih? Masak pulang ke indo gak mau mampir dulu?”]
“Waduh penginnya sih mampir bro, tetapi gue lagi ada urusan nih.”
Terdengar desahan kecewa dari balik sambungan telepon. [“Wahh sayang banget ya, padahal hari ini sekalian perayaan hari jadi perusahaan bokap gue loh. Beneran gak bisa datang nih? Usahain lah Bro, ntar juga ada si Aidan kok.”]
“Aidan?”
[“Iya bro, makanya usahain datang ya! Gue tunggu!”] Sambungan telepon pun terputus, Sagara menatap bingung layar ponselnya.
Ia memikirkan sebuah nama yang melekat di hidupnya, nama pria yang menjadi rival dalam selimutnya. Saat Sagara larut dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah ranjang Dayana. Pria itu bergegas keluar kamar mencari perawat jaga.
Tak lama ia pun kembali bersama dengan beberapa perawat. “Biar saya periksa terlebih dahulu ya Pak.” Sagara pun mengangguk dan membiarkan petugas kesehatan itu memeriksan tubuh Dayana.
Selang sepuluh menit, perawat wanita itu keluar dan menghampiri Sagara, ia pun mengatakan jika rongent akan dilaksanakan malam ini. Sagara mengangguk dan menyerahkan segalanya pada pihak rumah sakit.
“Saya di mana?” tanya Dayana pada Sagara yang berdiri di sampingnya.
“Di rumah sakit, kamu tadi menabrak mobilku dan jatuh pingsan.”
“Ahh maafkan aku, aku tii –ti –dak sengaja,” ujar Dayana penuh sesal. Ia merutuki kebodohannya yang berkendara sambil melamun. “Apa ada orang lain yang menjadi korbannya?” tanya Dayana khawatir.
“Beruntungnya hanya kamu yang menjadi korban, sebenarnya bukan kecelakaan besar. Kamu hanya tidak bisa mengimbangi motormu ketika mobilku berhenti di persimpangan jalan tadi. Jadi yah, korbannya hanya dirimu.” Terdengar hembusan napas lega dari Dayana, melihat sikap wanita yang tengah terbaring lemah itu Sagara menaruh rasa kagum.
‘Sepertinya dia memang wanita baik-baik, dia bahkan memikirkan pengguna jalan lainnya ketimbang menanyakan keadaannya sendiri atau bahkan motornya,’ batin Sagara melihat sikap Dayana.
“Apa lenganmu masih sakit?” tanya Sagara setelah keheningan yang mendera ruangan itu.
Dayana menoleh menatap lengannya yang terbalut gips. “Ah ini, tidak papa. Aku terjatuh saat mandi tadi.”
“Oh oke. Lebam di wajahmu juga karena terjatuh?”
Air muka Dayana pun berubah namun, secepat kilat ia kembali menetralkan keterkejutannya. Dayana pun melempar senyum tipis dan berkata, “Ini aku tidak sengaja terjatuh saat tidur jadinya terantuk tepi nakas.”
Sagara pun mengangguk-anggukkan kepala, walau di dalam hatinya pria itu masih menaruh curiga dengan luka lebam di wajah Dayana.
Keheningan pun kembali tercipta, Dayana memalingkan wajahnya ingatan sebelum ia terjatuh pun kembali berputar. “By the way tadi ada telepon dari suamimu … marah-marah.” Ucapan Sagara kembali mengundang ingatan Dayana. “Setelah itu dia mematikan sambungan teleponnya.”
Bahu wanita itu bergetar hebat, ia teringat bagaimana sang Suami bercumbu dengan wanita lain, kegiatan yang pria itu lakukan di dalam mobil bahkan di tengah jalan. Sagara yang terkejut dengan reaksi wanita di depannya pun mengerutkan kening bingung. ‘Perasaan gue gak mukul deh? Kok nangis? Apa gue salah ngomong ya?’ tanya Sagara dalam hati.
Dayana tak bisa membendung air matanya sendiri, ia pun menangis sesegukan hingga napasnya tercekat. “Day, are you okay?”
Dayana menggeleng di sela tangisannya, ia pun menggigit punggung tangannya untuk menyembunyikan suara tangisnya. “Ehh jangan digigit, nanti luka. Kalau mau nangis, nangis saja. Memang kita baru kenal, tetapi kamu gak perlu sungkan.” Tak ada respon apapun dari Dayana, wanita itu masih sibuk menangis dalam diamnya.
“Sepertinya kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.” Dayana pun meletakkan kembali tangannya, ia menatap Sagara dengan air mata yang berlinang. “Aku keluar ya?” Tanpa menunggu persetujuan Dayana, Sagara memilih keluar dari kamar rawat itu dan membiarkan Dayana menenangkan dirinya.
‘Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa ia menangis kala aku menyebut nama Suami?’ batin Sagara yang berdiri di balik pintu kamar rawat Dayana.
Cukup lama Dayana larut dalam tangisannya hingga air matanya pun mengering. Tangisannya berhenti bertepatan dengan kedatangan petugas kesehatan yang hendak melakukan rontgen hingga ke general check up. Ia pun tertidur dengan lelapnya setelah kelelahan menjalani pemeriksaan dan menangis. Sagara pun terpaksa bermalam di rumah sakit, tidur di sofa yang tak memadai tubuhnya yang tinggi.
Suara kicauan burung menyambut setiap insan yang hendak beraktivitas di pagi hari. Sagara masih tertidur di sofanya, sedangkan Dayana wanita itu sudah bangun dan hanya berdiam diri di atas ranjangnya. Sebelah tangannya terpasang gips untuk menopang keretakan di tulang tangannya akibat jatuh tertimpa motornya sore kemarin dan juga luka akibat Aidan mendorongnya tempo hari.
“Kamu sudah bangun?” tanya Sagara yang terbangun kala mendengar suara ranjang berdecit.
“Maaf sudah membangunkanmu,” sesal Dayana tak enak hati.
“Bukan masalah, ini sudah pagi memang seharusnya aku bangun? Oh iya kamu tak ingin menghubungi suamimu? Setidaknya beri ia kabar jika kamu ada di sini ‘kan?”
Dayana pun menggeleng. ‘Percuma memberinya tahu, ia tak akan pernah peduli denganku,” lirih Dayana dalam hati.
“Kenapa? Bukankah ia suamimu?” tanya Sagara membuat air muka Dayana berubah.
“Kapan aku bisa pulang?” tanya Dayana mengalihkan pertanyaan Sagara. “Mungkin menunggu hasil pemeriksaan terakhir, memangnya ada apa?” sahut Sagara, ia mengerti jika wanita di depannya enggan membahas tentang sosok sang Suami. Dayana mengangguk, wanita itu kembalu diam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar rawat. “Ada masalah?” Dayana menoleh sejenak, lantas kembali memandang plafon rumah sakit. “Jika iya pun sepertinya aku tak pantas berbagi denganmu.” Sagara mengangguk ia mengerti, jika Dayana masih canggung terhadapnya. “Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, katakan saja. Ini kartu namaku, aku seorang lawyer jika hal buruk menimpamu, kamu bisa segera menghubungiku.” Dayana kembali melempar netranya menatap pria berkemeja di sampingnya. “Sagara Andaru Biantara,” lirih Dayana membaca kartu nama yang digenggamnya. Setelah memberikan kartu namanya, pria itu memilih duduk di sofa dan menikmati secangkir kopi hangat yang ia pesan dari aplikasi online. Dayana larut dalam
“Oh kamu sudah dengar semuanya? Bagus deh! Mulai sekarang aku gak perlu lagi berpura-pura di depanmu!” sahut Aidan masih mendekap tubuh Shana di dalam gendongannya. Mereka masih dalam keadaan menyatu satu sama lain. “Oh iya mau di sini? Mau ngapain? Mau lihat permainan panas kami? Silakan saja!” Aidan berjalan menuju ranjang ia meletakkan Shana dengan begitu lembut seakan wanita itu akan hancur jika terjatuh di atas kasur. “Kamu keterlaluan mas!” Dayana berjalan keluar kamar ia tak ingin melihat kegiatan ranjang suaminya yang dengan santainya bermain di atas ranjang mereka bahkan di bawah figura pernikahan mereka. Dayana berjalan tertatih, ia terduduk di lantai depan pintu kamarnya. Nyeri di tangan dan sekujur tubuhnya seakan tak sebanding dengan nyeri di hati wanita berambut sepunggung itu. Ia terus meremas ujung pakaiannya dengan tubuh bergetar, dadanya naik turun menahan amarah yang membuncah. Dari posisinya saat ini, Dayana dapat mendengar jelas desahan nikmat yang Aidan dan Sh
“Iya Day, kamu gak papa ‘kan?” tanya wanita itu dengan senyum ramah. “Aku gak papa, Lin. Terima kasih ya, atas bantuan kamu,” ucap Dayana setelah ia berhasil bangkit dari posisinya. “Kamu kenapa di pinggir jalan begini, terus ini kenapa kamu bawa koper? Tangan kamu kenapa?” Dayana menghela napas panjang, sesekali ia melirik ke arah Aidan berlari. “Penjelasannya panjang Lin, intinya sekarang ini aku sedang dikejar-kejar orang gila.” Linda mengerutkan keningnya, ia pun menatap Dayana bingung. “Ya sudah nanti kamu jelaskan di mobilku saja ya?” Dayana mengangguk cepat, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kabur dari Aidan dan menuntut pria itu atas segala tindakan yang pria itu lakukan. Di dalam mobil, Dayana hanya diam saja sedangkan Linda wanita itu sedang membelikan air mineral untuk Dayana. “Ini Day, kamu minum dulu supaya lebih tenang.” Dayana pun mengangguk dan menegguk habis air itu. “Terima kasih, Lin.” “With my pleasure, Day. So, whats happen?” Dayana pun menceritaka
“Shana? Jadi kamu ceweknya?” ujar Sagara terkejut. “Sagara … em aku bisa jelasin semuanya. Ini hanya salah paham saja. Sebentar gini –“ “Stop, gue gak butuh penjelasan apapun tentang ini semua. Apa yang gue lihat sudah cukup menjelaskan semuanya. Terima kasih!” Sagara pun berjalan cepat menjauhi ruang tamu rumah Aidan, pria itu bahkan merubah sapaannya menjadi lo-gue. Hatinya tak hanya terkoyak dengan ucapan Aidan tetapi hatinya pun hancur melihat sosok wanita yang akan menjadi tunangannya ternyata berselingkuh. “Sagara dengarkan aku‼ Sagara aku mohon‼” pinta Shana seraya berlari mengejar Sagara. “Aku mohon!” ujarnya setelah berhasil meraih pergelangan tangan Sagara. Sagara memalingkan wajahnya ia enggan menatap wanita yang sudah menghancurkan kepercayaannya. “Dengarkan aku, aku tidak berselingkuh –“ ucapan wanita itu terpotong kala Sagara menatapnya tajam. “Iya aku berselingkuh. Maafkan aku, tetapi aku mencintai kamu, Gar. Hanya kamu yang aku inginkan.” “Simpan semua ucapan mani
Di sebrang jalan sana, Aidan baru saja keluar dari florist, sebelah tangan pria itu membawa sebuket bunga mawar putih yang tampak begitu indah. Dari kejauhan Dayana melihat sosok yang duduk di samping kemudi. Beruntung kaca mobilnya terbuka, sehingga ia bisa leluasa mengambil gambar dan menyaksikannya secara langsung. Dari layar ponselnya, Dayana melihat Aidan menyerahkan bunga tersebut pada Shana. Wanita yang tengah memakai dress tanpa lengan dan kerah itu tampak tersenyum bahagia. Ia pun tak sungkan memberikan kecupan hangat yang dibalas dengan senang hati oleh Aidan. Saat Dayana sibuk merekamnya, tiba-tiba layar ponselnya menggelap. Dayana pun mendongak perlahan. Ia melihat tubuh tegap berdiri di depannya. “Sagara?” lirih Dayana saat bertukar pandang dengan Sagara. “Jangan menyakiti hatimu semakin dalam.” Dayana pun segera menyimpan ponselnya. “Apa semua pria sama saja?” tanya Dayana setelah menyimpan ponselnya. Ia bersandar pada kursi halte, bahunya tampak turun. Tanpa banyak
Keadaan Dayana semakin terhimpit, ia tak bisa mengelak lagi. Petugas keamanan menemukan dompet ibu-ibu itu. Dayana mendesah kasar, wajahnya dipenuhi kebingungan. Bisik-bisik pun mulai terdengar menghiasi sekeliling Dayana, ada yang menyerangnya ada pula yang merasa iba pada Dayana. “Cantik-cantik kok pencuri‼” “Justru karena cantik makanya jadi pencuri. Jangan-jangan dia juga pelakor ibu-ibu.” “Ih dipegangin bu suaminya nanti dicuri juga.” Dayana hanya diam mendengarkan bisik-bisik yang tertuju untuknya. “Pak sungguh saya tidak melakukan hal itu, saya juga tidak tahu kenapa –“ “Halah mana ada sih maling yang mau ngaku‼ Kalau maling ngaku semua penjara pasti penuh!” “Iya pak, tangkap saja Pak. Laporkan ke kantor polisi, ini bisa mencoreng nama baik mall ini loh Pak! Masak mall sebesar ini ada copetnya!” “Bu, ikut saya ke kantor. Daripada ibu kena amuk masa.” Dengan pasrah Dayana pun mengikuti langkah kaki petugas keamanan itu. Awalnya Dayana mengira jika dirinya akan dibawa ke
“Tidak ada,” sahut Dayana singkat. “Terima kasih sudah membantuku … lagi.” “Anytime, kapan pun kamu butuh bantuan sebisa mungkin aku akan bantu. Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong menolong, ‘kan?” balas Sagara dengan tenang. “Masuklah.” Pria itu membukakan pintu mobil untuk Dayana. Dayana menangguk, setelah Dayana duduk Sagara berjalan memutari mobil ia membuka pintu mobil dan duduk di bagian kursi kemudi. “Sekarang apa rencanamu? Jadi belanja?” “Sepertinya aku sudah tak berniat lagi.” Sagara pun mengangguk ia lantas menyalakan mesin mobil. Di tengah perjalanan, terbesit niat Dayana yang ingin meminta bantuan pada Sagara untuk mengurus perceraian juga tuntutannya. “Saga?” cicit Dayana tanpa melihat ke arah sang Pemilik nama. “Ya?” tanya pria itu melirik dari ekor matanya. Dayana tampak ragu menceritakan permasalahannya. Ia tak enak hati jika harus melibatkan pria itu dalam setiap masalah yang menimpa hidupnya. “Em … .” “Ada apa katakan saja.” “Apa kamu bisa memban
“Maaf pak, lebih baik saya kehilangan pekerjaan daripada kehilangan harga diri. Terima kasih, saya akan mengajukan surat resign. Secepatnya.” Dayana mengatakannya dengan tenang walau di dalam hatinya bergemuruh amarah yang membuncah.Setelah mengucapkannya Dayana pun berjalan menuju pintu utama. “Kalau kamu mengajukan resign, saya akan buat namamu buruk.”“Saya tidak peduli, Pak. Terima kasih,” balas Dayana dan berlalu meninggalkan ruangan pria tambun itu.“Na? Ada apa? Kudengar kamu dipanggil hrd?” tanya rekan kerjanya yang berdiri di ambang pintu ruang hrd.Dayana menghela napas berat. “Aku resign, La.”“Hah? Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya rekan kerja sekaligus temannya dari kampung asal Dayana.“Ceritanya panjang. Nanti siang aku ceritakan. Kamu kembalilah bekerja, jangan karena aku kamu jadi kena masalah juga.”“Apa karena gosip itu?” tanya rekannya lagi.Dayan mengendikkan bahu. “Salah satunya, ya sudah aku keluar yah. Nanti siang kita bertemu di tempat biasa. Semangat bekerja
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras