“Iya Day, kamu gak papa ‘kan?” tanya wanita itu dengan senyum ramah.
“Aku gak papa, Lin. Terima kasih ya, atas bantuan kamu,” ucap Dayana setelah ia berhasil bangkit dari posisinya.
“Kamu kenapa di pinggir jalan begini, terus ini kenapa kamu bawa koper? Tangan kamu kenapa?”
Dayana menghela napas panjang, sesekali ia melirik ke arah Aidan berlari. “Penjelasannya panjang Lin, intinya sekarang ini aku sedang dikejar-kejar orang gila.”
Linda mengerutkan keningnya, ia pun menatap Dayana bingung. “Ya sudah nanti kamu jelaskan di mobilku saja ya?”
Dayana mengangguk cepat, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kabur dari Aidan dan menuntut pria itu atas segala tindakan yang pria itu lakukan. Di dalam mobil, Dayana hanya diam saja sedangkan Linda wanita itu sedang membelikan air mineral untuk Dayana.
“Ini Day, kamu minum dulu supaya lebih tenang.” Dayana pun mengangguk dan menegguk habis air itu.
“Terima kasih, Lin.”
“With my pleasure, Day. So, whats happen?”
Dayana pun menceritakan kejadian yang sebenarnya, mulai dari kebiasan Aidan yang sering main tangan, hingga perselingkuhan yang dilakukan suaminya itu. “Jadi, Pak Aidan sudah menikah?”
“Maksudnya?” tanya Dayana bingung mendengar pertanyaan Linda.
“Selama ini yang aku tahu itu Pak Aidan belum menikah, for your information perusahan tempat aku kerja kebetulan kerja sama dengan perusahaan Pak Aidan, dan selama ini ya kita gak pernah tahu kalau sudah menikah. Soalnya beliau seringnya mengenalkan Shana sebagai calon istrinya. Aku tak tahu jika ternyata kamu adalah istrinya. Tetapi tunggu bukannya kamu dan Shana itu … bersahabat ya?” ujar Linda.
“Apa kamu sudah tahu ini sejak lama Lin? Maksudku apa memang selama ini dia mengakui Shana sebagai kekasihnya?”
Linda pun menoleh dan menatap Dayana iba. “Iya, tetapi bukan sebagai kekasih melainkan sebagai calon istrinya. Ya sudah sekarang aku antar kamu ke rumah sakit ya? Gips kamu sepertinya terbuka?” tanya Linda menyimpan ponselnya.
“Emm kayaknya enggak perlu ke rumah sakit Lin.”
“Kamu yakin? Gak mau diobatin dulu?” tanya Linda seraya menatap Dayana khawatir.
“Iya aku baik-baik saja kok.”
Linda pun mengangguk ia membiarkan Dayana menenggak sisa air mineral lainnya. “Jadi apa yang bisa aku bantu?”
Dayana pun termenung, saat ini ia seorang diri dan tak punya tempat tinggal, kedua orang tuanya meninggal dunia, rumah mertua pun tak ada. “Bisakah kamu membantuku mencari kost atau rumah petak kecil Lin? Jika memang merepotkanmu, antarkan aku ke blok m saja? Biar aku mencari sendiri.”
Linda pun menggeleng, ia mengatakan jika dirinya tak keberatan mengantarkan Dayana mencari kontrakan wanita itu bahkan menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara. Namun, Dayana tak mau merepotkan siapapun, ia menolaknya dan memilih tinggal seorang diri.
“Kamu sekarang kerja di mana Day?” tanya Linda di sela-sela perjalanannya.
“Aku saat ini bekerja di salah satu perusahaan Lin di daerah blok m, makanya aku meminta bantuanmu mencari di sana, agar lebih dekat ke tempat kerjaku,” sahut Dayana sendu. Ia menatap kosong ke arah jalanan, semua masalah datang dalam waktu sekejap.
“Bukannya dari sini ke blok m itu jauh ya, Day? Kamu setiap hari berangkat begitu?”
Dayana mengangguk. “Iya Lin, setiap hari setelah menyiapkan sarapan untuk Mas Aidan yang entah dimakan atau tidak.”
Linda pun memilih diam, ia tahu jika Dayana sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dan ia tak mau memperkeruh kesedihan Dayana. Setelah menyusuri jalanan ibukota, mobil Dayana berhenti tepat di sebuah persimpangan jalan, ia pun menanyakan jalanan mana yang akan Dayana pilih.
“Kanan saja, Lin. Karena kantorku berada di dekat sana.” Linda pun mengangguk ia kembali melajukan mobilnya.
1 jam berlalu, mobil merah Linda telah menyusuri banyak gang namun Dayana tak kunjung menemukan rumah dengan harga yang ramah di kantongnya. “Jadi gimana Day? Kayaknya lebih baik kamu menginap di tempatku deh Day,” tawar Linda dengan penuh semangat.
“Terima kasih tawarannya Lin, tetapi aku gak mau merepotkan kamu. Em gini saja, antar aku ke komplek ini yah. Kemarin aku tidak sengaja lewat situ dan melihat ada rumah yang dikontrakan mungkin cocok untukku,” pinta Dayana, Linda pun mengangguk dan mengarahkan mobilnya sesuai dengan petunjuk yang Dayana berikan.
Mobil merah Linda memasukki kawasan perumahan yang terlihat merakyat, mobilnya pun menyusuri jalanan sesuai petunjuk Dayana, dan setelah melalui banyak belokan, mobil itu berhenti tepat di depan rumah type 36 dengan nuansa berwarna sage green.
Setelah melakukan penawaran yang pelik, akhirnya rumah itu berhasil Dayana tempati dengan harga yang ramah di kantong. “Linda terima kasih banyak atas bantuannya yah. Sering-sering mampir ke sini yah.”
Linda menoleh dan menganggukkan kepalanya, setelah itu ia membantu Dayana membersihkan rumah yang baru saja Dayana kontrak. “Pasti, nanti aku akan sering-sering main ke sini. By the way, kalau kamu mau kerjaan yang gajinya lumayan aku bisa bantu kamu Day. Kebetelun perusahaanku sedang open recuitment untuk bagian pemasaran, mungkin kamu bisa mendaftar?”
Dayana tersenyum. “Terima kasih Day, tetapi aku terlanjur nyaman di perusahaan yang sekarang. Mungkin lain waktu ya, Lin?”
“It’s okay, Day.” Mereka pun kembali melanjutkan kegiatannya, Dayana mengepel lantai rumah sedangkan Linda membersihkan teras kecil yang ada di sana.
Di lain tempat, Aidan tengah terduduk di ruang tamunya dengan dada yang bergemuruh. “Lu tahu yang lu lakuin itu gila, Dan!”
“Lu gak tahu apa-apa lebih baik lu diam, Gar.”
Sagara tersenyum sinis. “Gue gak akan tinggal diam ngelihat lu ngelakuin itu ke Dayana.”
“Lu suka sama dia? Ambil saja sampah itu!”
“Sampah? Aidan Aidan, cewek yang lu bilang sampah itu lu nikahin setahun yang lalu. Cewek yang lu sembunyiin dari dunia ini. Gue bahkan gak tahu kalau lu sudah nikah, selama ini lu bohongin anak-anak tongkrongan. Gila lu ya!” ujar Sagara menaikkan nada bicaranya.
“Ya terus lu mau apa? Toh gue gak hamilin tuh orang, kalau gak karena wasiat nyokap gue, gue ogah ngurus cewek sampah kek gitu. Miskin, gak seksi, gak guna!”
“Gue gak ngerti sama jalan pikiran lu, Dan. Kalau lu memang gak butuh dia, lepasin. Biar dia bisa mendapatkan hidup dan pria yang lebih layak dibandingkan lu yang gak tanggung jawab dan otak selangkangan.”
Aidan terdiam ia memikirkan ucapan Sagara, sebenarnya ia ingin melepaskan Dayana, toh selama ini ia tak pernah menaruh sedikit pun rasa pada Dayana. Baginya Dayana hanyalah boneka dan babu yang bisa ia suruh-suruh untuk mengurus kebutuhan rumahnya.
“Kenapa lu diam? Baru sadar kalau lu bukan pria yang layak untuk dia?”
“Lagian lu tahu apa sih? Lu cuman lihat kejadian dalam hitungan menit saja ‘kan? Lu gak tahu kejadian lengkapnya ‘kan?”
Sagara berdecih tatapan matanya menyorot Aidan tajam. “Dengan melihat ekspresi ketakutan Danaya dan lebam di tubuhnya gue sudah dapat menyimpulkan kelakuan lu, Dan.”
“Wow lu sudah lihat tubuhnya? Selain sampah dia juga murahan ya? Gampang banget ngasih tubuhnya buat orang lain.”
Sagara memejamkan matanya menahan darah yang mendidih. “Dengan kalimat sesederhana itu saja lu bisa menyimpulkan kalau Dayana ngasih tubuhnya buat gue ya? Gue pikir otak lu itu sudah naik setingkat ternyata sama saja.”
“Mau lu apa sih?” tanya Aidan yang mulai tersulut emosi.
Sagara bangkit dari duduknya ia menatap Aidan yang masih berada di sofa. “Mau gue? Simple. Lepasin Dayana dan biarkan dia dapat hidup dan pria yang layak, bukan kayak lu.”
“Terus kayak lu? Gue kira kepulangan lu dari luar negeri itu bikin selera lu naik ya? Ternyata sama saja. Sama - sama selera rendah,” ejek Aidan seraya memalingkan wajahnya dan tertawa mengejek.
Sagara mengepalkan telapak tangannya, rahangnya mengeras sorot mata pria itu tampak tajam dan membunuh. “Ulangi Dan?”
Aidan tersenyum sinis dan berkata, “Selain selera rendahan ternyata pengacara kayak lu juga budeg ya? Pantas gak pernah dapat kasus?”
“Jangan‼” pekik seseorang membuat gerakan tangan Sagara tertahan di udara, pria itu menoleh dan manik matanya membulat sempurna.
Hai guys, hope you like it yah. Jangan lupa tinggalkan koment agar author makin semangat nulis dan upnya. Kalian juga bisa follow akun ig @meilyyanam agar dapat info terbaru baik tentang buku ini ataupun seputar dunia menulis yahh :)
“Shana? Jadi kamu ceweknya?” ujar Sagara terkejut. “Sagara … em aku bisa jelasin semuanya. Ini hanya salah paham saja. Sebentar gini –“ “Stop, gue gak butuh penjelasan apapun tentang ini semua. Apa yang gue lihat sudah cukup menjelaskan semuanya. Terima kasih!” Sagara pun berjalan cepat menjauhi ruang tamu rumah Aidan, pria itu bahkan merubah sapaannya menjadi lo-gue. Hatinya tak hanya terkoyak dengan ucapan Aidan tetapi hatinya pun hancur melihat sosok wanita yang akan menjadi tunangannya ternyata berselingkuh. “Sagara dengarkan aku‼ Sagara aku mohon‼” pinta Shana seraya berlari mengejar Sagara. “Aku mohon!” ujarnya setelah berhasil meraih pergelangan tangan Sagara. Sagara memalingkan wajahnya ia enggan menatap wanita yang sudah menghancurkan kepercayaannya. “Dengarkan aku, aku tidak berselingkuh –“ ucapan wanita itu terpotong kala Sagara menatapnya tajam. “Iya aku berselingkuh. Maafkan aku, tetapi aku mencintai kamu, Gar. Hanya kamu yang aku inginkan.” “Simpan semua ucapan mani
Di sebrang jalan sana, Aidan baru saja keluar dari florist, sebelah tangan pria itu membawa sebuket bunga mawar putih yang tampak begitu indah. Dari kejauhan Dayana melihat sosok yang duduk di samping kemudi. Beruntung kaca mobilnya terbuka, sehingga ia bisa leluasa mengambil gambar dan menyaksikannya secara langsung. Dari layar ponselnya, Dayana melihat Aidan menyerahkan bunga tersebut pada Shana. Wanita yang tengah memakai dress tanpa lengan dan kerah itu tampak tersenyum bahagia. Ia pun tak sungkan memberikan kecupan hangat yang dibalas dengan senang hati oleh Aidan. Saat Dayana sibuk merekamnya, tiba-tiba layar ponselnya menggelap. Dayana pun mendongak perlahan. Ia melihat tubuh tegap berdiri di depannya. “Sagara?” lirih Dayana saat bertukar pandang dengan Sagara. “Jangan menyakiti hatimu semakin dalam.” Dayana pun segera menyimpan ponselnya. “Apa semua pria sama saja?” tanya Dayana setelah menyimpan ponselnya. Ia bersandar pada kursi halte, bahunya tampak turun. Tanpa banyak
Keadaan Dayana semakin terhimpit, ia tak bisa mengelak lagi. Petugas keamanan menemukan dompet ibu-ibu itu. Dayana mendesah kasar, wajahnya dipenuhi kebingungan. Bisik-bisik pun mulai terdengar menghiasi sekeliling Dayana, ada yang menyerangnya ada pula yang merasa iba pada Dayana. “Cantik-cantik kok pencuri‼” “Justru karena cantik makanya jadi pencuri. Jangan-jangan dia juga pelakor ibu-ibu.” “Ih dipegangin bu suaminya nanti dicuri juga.” Dayana hanya diam mendengarkan bisik-bisik yang tertuju untuknya. “Pak sungguh saya tidak melakukan hal itu, saya juga tidak tahu kenapa –“ “Halah mana ada sih maling yang mau ngaku‼ Kalau maling ngaku semua penjara pasti penuh!” “Iya pak, tangkap saja Pak. Laporkan ke kantor polisi, ini bisa mencoreng nama baik mall ini loh Pak! Masak mall sebesar ini ada copetnya!” “Bu, ikut saya ke kantor. Daripada ibu kena amuk masa.” Dengan pasrah Dayana pun mengikuti langkah kaki petugas keamanan itu. Awalnya Dayana mengira jika dirinya akan dibawa ke
“Tidak ada,” sahut Dayana singkat. “Terima kasih sudah membantuku … lagi.” “Anytime, kapan pun kamu butuh bantuan sebisa mungkin aku akan bantu. Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong menolong, ‘kan?” balas Sagara dengan tenang. “Masuklah.” Pria itu membukakan pintu mobil untuk Dayana. Dayana menangguk, setelah Dayana duduk Sagara berjalan memutari mobil ia membuka pintu mobil dan duduk di bagian kursi kemudi. “Sekarang apa rencanamu? Jadi belanja?” “Sepertinya aku sudah tak berniat lagi.” Sagara pun mengangguk ia lantas menyalakan mesin mobil. Di tengah perjalanan, terbesit niat Dayana yang ingin meminta bantuan pada Sagara untuk mengurus perceraian juga tuntutannya. “Saga?” cicit Dayana tanpa melihat ke arah sang Pemilik nama. “Ya?” tanya pria itu melirik dari ekor matanya. Dayana tampak ragu menceritakan permasalahannya. Ia tak enak hati jika harus melibatkan pria itu dalam setiap masalah yang menimpa hidupnya. “Em … .” “Ada apa katakan saja.” “Apa kamu bisa memban
“Maaf pak, lebih baik saya kehilangan pekerjaan daripada kehilangan harga diri. Terima kasih, saya akan mengajukan surat resign. Secepatnya.” Dayana mengatakannya dengan tenang walau di dalam hatinya bergemuruh amarah yang membuncah.Setelah mengucapkannya Dayana pun berjalan menuju pintu utama. “Kalau kamu mengajukan resign, saya akan buat namamu buruk.”“Saya tidak peduli, Pak. Terima kasih,” balas Dayana dan berlalu meninggalkan ruangan pria tambun itu.“Na? Ada apa? Kudengar kamu dipanggil hrd?” tanya rekan kerjanya yang berdiri di ambang pintu ruang hrd.Dayana menghela napas berat. “Aku resign, La.”“Hah? Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya rekan kerja sekaligus temannya dari kampung asal Dayana.“Ceritanya panjang. Nanti siang aku ceritakan. Kamu kembalilah bekerja, jangan karena aku kamu jadi kena masalah juga.”“Apa karena gosip itu?” tanya rekannya lagi.Dayan mengendikkan bahu. “Salah satunya, ya sudah aku keluar yah. Nanti siang kita bertemu di tempat biasa. Semangat bekerja
Setelah terdiam cukup lama, Dayana pun memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Ia kembali memejamkan mata sejenak merasakan kepahitan di hidupnya. Hingga dering singkat di ponselnya kembali terdengar dengan setengah hati, Dayana membuka ponselnya.Ia menatap tak percaya isi pesan yang diterimanya, napas wanita itu memburu ia bahkan nyaris menjatuhkan ponselnya. Beruntung dirinya masih bisa menyelamatkan satu-satunya barang berharda yang ia punya.Di lain tempat, Aidan tengah menatap layar ponselnya dengan senyum lebar. Entah mengapa ada rasa senang di dalam dirinya ketika melihat Dayana tersiksa atau bersedih. Wanita yang dipilihkan ibunya itu sama sekali tak masuk kriteria Aidan, ia menikahi Dayana hanya demi wasiat sang Ibu dan permintaan terakhirnya. Aidan tak pernah sedikit pun menaruh hati pada Dayana, itu sebabnya ia selalu bertingkah kasar dan semaunya sendiri.“Mas? Lagi senang banget kayaknya?” sapa seorang wanita yang baru saja datang dari kamar mandi. Ia tampak leb
Salah seorang notaris mengeluarkan brangkas mini ia menekan angka di sana, setelah itu brangkas terbuka. Aidan menatap isi brangkas mini yang terbalut dengan warna metalic.“Sebenarnya ada satu wasiat lagi yang tertinggal, Pak. Dan berdasarkan perintah mendiang, mereka meminta kami untuk membukanya setelah tepat satu tahun kepergiannya.”“Mengapa begitu?” tanya Aidan merasa ada hal yang tidak beres akan terjadi.“Saya sendiri tidak tahu maksud mendiang ayah dan ibu, Bapak. Saya hanya menjalankan perintah dan permintaan client saja. “Apa bisa saya baca sekarang?” tanya pria itu, Aidan pun mengangguk mempersilakannya.“Bandung, tiga puluh oktober 2021. Teruntuk putraku satu-satunya aku tahu kamu bertanya-tanya mengapa aku membuat surat ini, ‘kan? Ibu tahu kalau pernikahanmu tak berjalan mulus bukan? Anakku, terimalah ia seperti ayahmu menerima ibu dulu. Sayangi dia seperti ia menyanyangi ibu. Jangan kamu menyakitinya karena dia perempuan yang terbaik untukmu. Bersama surat ini ibu ingin
“Pak Aidan?” tanya wanita itu dengan mata menyipit.Aidan terkejut kala wanita di sampingnya menyebutkan namanya, ia pun menatap wajah wanita itu lekat-lekat. Mencoba menggali ingatannya akan wanita di sampingnya.“Bapak tidak akan ingat saya siapa, tapi saya ingat siapa bapak.” Lagi-lagi Aidan terkejut mendengar penuturan wanita di sampingnya. “Saya Bella, sekretaris perusahaan Adiguna.”Kening pria itu berkerut, ia seperti familiar dengan nama wanita itu. “Ck, tidak perlu diingat lebih lanjut. Akan memalukan.”Interaksi keduanya tak luput dari penglihatan bartender yang bekerja di balik meja bar, ia mengamati keduanya yang tampak akrab berbicara. Keduanya pun larut dalam pikirannya hingga ia mengangkat gelasnya berbarengan.“Ini tuan dan nyonya,” ujar bartender itu seraya menyerahkan dua gelas dengan aroma yang sama me
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras