“Memangnya yang boleh datang ke hotel ini hanya pemenang saja? Be smart.” Sagara berjalan menjauhi Aidan ia masuk ke dalam lift dan membiarkan Aidan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Di lain tempat, Dayana tengah sibuk menyiapkan dirinya bertemu kembali dengan Aidan. Kali ini ia dituntut untuk bertindak dewasa yang harus membedakan mana urusan pribadi dan mana urusan professional.
“Mba, kenapa?” tanya Diyas yang melihat gerak-gerik Dayana.
Dayana menoleh menatap wanita yang berbeda 3 tahun darinya. “Ahh enggak kok. Oh iya, semua file sudah siap?”
Diyas mengangguk sebagai respon atas pertanyaan leadernya itu. Sedangkan wanita dengan rambut ter-jedai itu mengulas senyum dan mengacungkan ibu jarinya. Tepat pukul 9, seorang wanita muda mendekati Dayana dan berbisik. Dayana menganggukkan kepalanya ia pun mengatakan jika sebentar lagi dirinya akan ke sana.
“Terserah saja. Kita berhak memperjuangkan apapun yang dinilai baik. Perkara hasil, biarkan petugas pengadilan yang menentukan.” Setelah mengatakan hal itu, Dayana bergegas meninggalkan Aidan.Dayana tak mengerti mengapa pria itu masih terus mengejarnya, padahal yang wanita itu lakukan saat ini hanya untuk membantu pria itu berkumpul dengan wanita yang sudah memuaskannya tiap malam.“Dayana tunggu,” ucap Aidan kembali mengejar Dayana.Wanita yang berdiri di tengah lorong itu membalik tubuhnya dan menatap Aidan jengah.“Apalagi? Mau membual apalagi? Sudahlah aku lelah mendengar semuanya. Sekarang ini jalani hidup masing-masing, mau sampai kapanpun mas meminta aku kembali aku tak akan mau.”“Seburuk itukah aku di matamu, Day?”Dayana berdecih kesal ia memutar bola mata malas. “Jangan playing victim deh, Mas.
Dayana mengedarkan pandangannya, mencari tempat bersembunyi atau bahkan mencari pintu keluar lainnya.“Mang, saya tidak lama. Saya hanya sebentar untuk mengganti pakaian dan pergi ke luar kota dalam waktu yang lama. Saya titip rumah ya.” Mang Dadang mengangguk mendengarkan pesan dari tuannya.“Tuan‼” panggil Mang Dadang mencegah pria yang menggajinya masuk ke dalam rumah.“Ada apa, Mang?” tanya Aidan.Mang Dadang tampak memperhatikan jendela di belakang tubuh Aidan. Ia seakan memberikan kode pada seseorang untuk segera keluar. “Mang?” tanya Aidan karena Mang Dadang tak kunjung menjawab pertanyannya. “Ada apa sih Mang?” tanya Aidan seraya menoleh ke arah belakang.Pria itu tampak mengawasi bagian dalam rumahnya. “Itu Tuan, tadi ada petugas listrik yang datang dia menawarkan tambah daya. Cuman saya bilang nunggu Tuan pulang,” sahut Mang Dadang seraya menggerakan tangannya seakan memberi kode pada sosok di belakang Aidan.“Oalah, ya sudah kalau begitu. Besuk saja saya minta assisten yang
“Aku menemukan ini, apakah ini bisa dijadikan bukti kekerasan?” tanya Dayana seraya menyerahkan flashdisk miliknya.Sagara pun beranjak ia mengambil laptop miliknya dan menyambungkan flashdisk dengan laptop. Setelah itu Sagara menekan folder sesuai petunjuk dari Dayana. Keduanya mengamati bersama-sama setiap detail video yang terpampang di layar berukuran 16 inch itu. “Apakah ini semua yang terjadi?”“Iya itu adalah video kejadian sebelum aku menemukan obat ini dan keesokan harinya setelah aku keluar dari rumah sakit, ini yang terjadi,” sahut Dayana seraya menunjukkan video lainnya.Tak sanggup melihat kejadiannya hingga full, Sagara pun mematikan laptopnya. “Ini bisa kita jadikan bukti dan mempermudah proses. Lantas apa saja isi tuntutanmu? Apakah kamu mau uang atau hal lainnya?”Dayana tampak berpikir sejenak ia mencari jawaban yang
"I –i –iyaa bude, bude kok di sini?” tanya Dayana gugup. Wanita itu tampak tak nyaman dengan kehadiran wanita paruh baya yang menyapanya. “Bude itu mau ke kota mau menemui kamu, bude ada kabar kurang baik,” sahut wanita itu seraya mengambil kursi di samping Dayana. “Maksudnya Bude?” tanya Dayana bingung mendadak perasaannya tak enak. Ia khawatir dengan keadaan ayah ibunya di kampung. Wanita paruh baya itu tampak menghela napas berat. “Ayahmu koleps Day, ia harus segera diberi tindakan. Kami mencoba menelponmu namun nomormu tak bisa dihubungi.” Dayana tercekat, ia lupa memberikan kabar pada keluarganya di kampung. Sejak menikah dengan Aidan, pria itu sengaja mengganti nomor Dayana dengan alasan ia cemburu jika ada yang menghubungi wanita itu. Alhasil, sudah lima bulan terakhir ia tak bisa berkomunikasi dengan ibu atau keluarga lainnya. “Iya bude, maaf. Nomor Dayana ganti karena kemaren Daya kena musibah.” “Musibah apa nduk?” tanya wanita paruh baya yang dipanggil Bude itu. Dayana
“Ikut serta? Di Jakarta banyak sekolah yang baik dan disiplin, kita bisa memasukkan Rai ke sana. Lagi pula Rai juga harus fokus dengan sekolahnya, bukan?”“Rumahku tidak layak untuk ditinggali. Aku harus mencari kontrakan baru setelah itu aku akan mengajak mereka pindah.” Sagara mengangguk dan membiarkan wanita itu menentukan pilihannya sendiri.Hari pun semakin sore, Dayana hendak menjaga ayahnya di klinik terdekat. Namun sayang, semua keluarga menolaknya, ia justru meminta wanita berusia 22 tahun itu untuk beristirahat terlebih dahulu. Dengan terpaksa Dayana pun pasrah dan menuruti kemauan keluarganya.“Mba tinggal di Jakarta enak ya? Pasti jabatan mba sudah tinggi?” tanya Rai saat mereka akan bersiap pergi ke surau dekat rumahnya.Dayana mengulas senyum, sebelah tangannya terulur mengusap puncak kepala Rai. “Dibilang enak ya enak, Dek. Dibilang gak enak ya pasti gak enak. Semua bergantung bagaimana kita menjalaninya saja. Yang pasti hidup di kota itu keras, Dek. Kalau kamu berani a
Dayana tampak kikuk, manik matanya menatap ke sekitar seakan ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan Diyas. “Em –““Kita memang harus berani jika apa yang kita lakukan benar. Jangan karena jabatan lantas lupa bahwa kebenaran itu tidak bisa dibeli,” sahut Sagara membantu Dayana, wanita berumur 22 tahun di depannya menghela napas lega, kehadiran Sagara ternyata memang banyak membantunya.“Iya juga sih Pak,” sahut Diyas, meja tersebut kembali hening. Dayana sibuk dengan Rai yang terus bercerita tentang sekolahnya juga tentang kehidupan sehari-hari. Sedangkan Diyas dan Sagara sibuk dengan ponsel mereka. Sagara harus mengerjakan beberapa pekerjaan tertundanya.Saat asyik mengerjakan tugasnya, ponsel Sagara berdenting singkat. Ia membuka pesan yang dikirimkan tanpa nama itu. Sebuah foto yang menunjukkan kemesraan dua insan di tengah kepadatan cafe sore itu. Sagara pun memberikan pons
“Ibu siapa yang bilang calon suami?” tanya Dayana panik. Terlebih di belakangnya ada Diyas yang menatapnya penuh tanya.“Loh bukannya kamu dulu bilang? Akan pulang seraya memperkenalkan calon suami kamu?” tegur Ibu Dayana bingung.Dayana menghela napas berat. “Ibu, Mas Saga ini bukan calon suami Daya. Maksudnya kami hanya berteman saja.”“Masak sih? Sorot mata dan gerak-gerik kalian berbeda, yah mungkin kamu belum siap ngasih tahu ibu. Tetapi ibu akan mendoakan yang terbaik untuk kalian yah, semoga berjodoh. Jangan lupa manggilnya jangan jangkar!” Ibu Dayana pun pergi segera masuk ke dalam rumah karena ia akan bersiap pergi ke klinik menengok Ayah Dayana.Dayana menghela napas berat. “Diyas kamu jangan salah paham ya, aku sama –““Ihhh kalau beneran juga gak papa tahu, Mba. Aku senang malah, kalian cocok kok.
“Penginnya sih kamu, cuman cacing di perutku meminta diisi. Bagaimana jika kita makan dahulu baru melanjutkannya lagi? Tubuhmu sangat nikmat dan membuatku candu. Setibanya di Jakarta aku harap kamu masih mau menemani ranjang dinginku.”Tania tersenyum, ia berdiri dan berjalan mendekati Aidan yang menatapnya lapar. Dengan berani dan tanpa rasa canggung, Tania mengecup bibir Aidan sekilas. “Kenapa sebentar?” protes Aidan membuat Tania tersenyum miring.“Kalau lama nanti ada yang bangun,” balasnya melirik ke arah bawah Aidan.“Sekarang pun sudah bangun,” sahut Aidan seraya menggendong tubuh Tania ke arah kursi yang berada di dekat jendela kamar hotel, jendela yang menunjukkan detail kota ngapak dari lantai atas. Ia mendudukkan wanita itu dengan lembut, Tania tersenyum karena lagi-lagi ia berhasil mengundang hasrat pria itu bangkit dari dalam sana.Tak menu
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras