Lanjut jangan nihh?
“Sagara? Kamu di sini? Eh masih di sini?” tanya Dayana bingung ia pun menjaga suaranya agar tak banyak yang mendengar ucapannya.Pria itu tersenyum tipis, lengan kekarnya menarik kursi kosong di samping kiri Dayana. “Iya, kebetulan memang hari ini aku menginap di hotel ini.”“Karena?”Sagara mengendikkan bahunya. “Sedang ingin saja.” Dayana mengangguk ia pun membuka bekal makanannya.Bekal sederhana dengan masakan rumahan itu tampak menggiurkan. “Kamu gak pesan makan?”Sagara memalingkan perhatiannya dari ponsel, ia menoleh menatap Dayana tepat di manik mata hazel wanita itu. “Masih kenyang, nasi goreng tadi lezat sekali.”“Sungguh. Kamu menyukainya?”Sagara mengangguk. “Apa kamu membuka cattering?”Kening Dayana berkerut,
“Kamu gila ya mas? Lagian kenapa harus bingung sih? Kamu ‘kan akan menikahiku 3 bulan lagi. Atau memang semua ucapan kamu itu palsu?” tanya Shana menyudutkan Aidan yang sedang dipenuhi amarah.“Ck, terserahlah.” Pria itu berjalan menuju pintu keluar kamar rawat Shana. Ia melangkahkan kaki menuju taman rumah sakit.Hatinya masih tak menerima kenyataan jika hubungan gelapnya dengan Shana berakhir serumit ini, belum lagi masalah harta warisan yang belum ia miliki sepenuhnya. Aidan menjatuhkan tubuhnya ke kursi taman, ia memejamkan mata seraya menengadahkan kepala ke arah langit.Saat sedang asyik dengan hembusan angin, ponsel pria itu berdering nyaring. Aidan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemeja. Pria itu menggeser tombol hijau setelah itu ia menempelkan benda pipih berhargar puluhan juta itu ke telinganya. “Hallo,” sapa Aidan.“Selamat siang
“Tidak, ‘kan aku hanya bertanya. Aku sendiri tidak tahu kabar dia.”Bella menatapnya penuh selidik. “Sungguh? Kamu tak tahu beritanya? Atau kamu hanya pura-pura tidak mau tahu?”“Bukan begitu, aku sungguh tak tahu kebenarannya dan tak tahu apapun. Ah sudahlah tidak perlu dibahas.” Dayana pun mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel. Ia membaca grup kerjanya dan membaca beberapa pesan yang masuk.Setelah perjalanan yang memakan waktu nyaris 20 menit itu, akhirnya mobil Bella berhenti di depan gerbang sebuah perusahaan dengan pagar khas berwarna hijau. Tak lama seorang wanita yang membawa paperbag datang mengetuk kaca mobil. Bella tersenyum, ia menurunkan kaca mobil dan membuka akses pintu mobil.Wanita muda itu masuk ke dalam. “Gila yah, di kantor viral banget ngomongin model yang diduga hamil,” gerutunya begitu duduk di jok mobil.
“Hah? Enggak dong, Bel. Ngapain juga aku bohong. Kita ke sini ‘kan mau senang-senang jadi yuk.” Dayana terus berusaha mengalihkan perhatian dua sahabatnya. Ia menarik lengan dua wanita sepantaraan dengannya menuju ke wahana bermain lainnya. Pilihan Dayana jatuh pada permainan pump it up. Dayana hanya menjadi pengamat selain ia tak bisa bermain seperti itu, ia juga kendala dengan tangannya sendiri. Bella dan Lala asyik menikmati permainan mereka, bak lupa daratan ia tak lagi mengingat kecurigaan terhadap sikap Dayana. Dayana berdiri di tiang yang berada tak jauh dari arena permainan pump it up. Dayana menyandarkan tubuhnya di sana. Wanita itu memikirkan ucapan dan sikap Aidan yang mendadak berubah padanya. Pria itu berubah dalam hitungan hari, selama menikah Aidan tak pernah sedikitpun memanggil namanya dengan lembut. “Lagi mikirin apa?” ucap seseorang dari arah belakangnya. Dayana menoleh manik matanya membulat kala mellihat sosok yang berdiri tak jauh darinya. “Sagara?” “Iya, kam
“Mas nanya? Mas yakin nanya sama aku?” tanya Dayana seraya memutar bola mata malas. “Gak ada yang perlu mas lakuin, karena sampai kapanpun aku gak akan pernah mau kembali sama mas.” Tak ada keraguan sedikitpun dalam ucapan Dayana, sorot matanya pun mengatakan jika ia bosan dengan segala drama yang dilakukan pria di depannya. “Tetapi aku pengin memperbaiki semuanya. Tuhan saja pemaaf, masak kamu tidak.” Dayana mendelik tak percaya, pria di depannya membawa-bawa Tuhan dalam perdebatannya kali ini. “Mas bawa-bawa Tuhan? Waktu mas selingkuh dan main tangan, ada gak mas ingat Tuhan?” tanya Dayana tajam dan datar. “Setiap orang memiliki kekhilafannya, Na. Yang terpenting sekarang Mas sudah menyesal dan pengin memperbaiki semuanya.” Aidan tak berhenti mengatakan hal yang sama berulang kali. “Aku ngak tahu apa alasanmu memintaku kembali. Aku juga tak tahu mengapa kamu begitu getol meminta kesempatan kedua. Yang pasti, seujung kuku pun aku tak akan pernah mau kembali padamu.” Dayana berbali
"Ini pemberian dari seseorang,” sahut Dayana setelah terdiam cukup lama.Bella dan Lala terdiam sesaat ia ingin menanyakan siapa seseorang itu namun ia kembali mengurungkan niatnya kala adzan maghrib berkumandang. Dayana pun mengajak kedua sahabatnya untuk segera menunaikan perintah agama itu.Seusai beribadah, Dayana pun beranjak menuju dapur, sedangkan kedua sahabatnya membuka beberapa pemberian Sagara. Tak jarang mereka berdecak kagum kala melihat barang yang dibelikan untuk Dayana adalah barang-barang mewah.“Na, kamu beneran gak ada hubungan sama si pemberi ini?” tanya Bella pada Dayana yang memunggunginya.“Memangnya untuk apa aku bohong Bel.”“Bukan begitu, ini barang-barang mewah loh. Dia cewek atau cowok?” lanjut Bella seraya membuka bungkus selanjutnya.“Ia hanya tak enak hati.” Dayana menjawab m
“Heh‼ Lu apa-apaan sih Shan‼” pekik Bella memaki wanita di depannya.Dayana masih mengusap pergelangan tangan kirinya yang memerah bekas cengkaraman tangan Shana. “Gak usah ikut campur ya. Ini bukan urusan lu.” Shana mengacungkan jari telunjuknya ke arah Bella. Sayangnya nyali wanita bermata hijau itu tak mudah surut ia semakin maju ke depan dan berdiri tepat di hadapan Shana menyembunyikan tubuh Dayana dari wanita di depannya.“Gak malu ya? Sudah jadi pelakor masih berani nunjukin mukanya?”Shana menatapnya nyalang. “Heh! Jangan sembarangan ya! Gue bukan pelakor! Teman lu tuh yang perebut laki orang.”Dayana memejamkan matanya, kini semua pengunjung alun-alun berkerumun mengelilingi empat wanita yang sedang bersitegang. “Hah? Apa coba ulangi?”“Teman lu yang pelakor, lagian yakin banget jadi bini sahnya? Nik
“Ini bukan tentang Shana, Mas. Tetapi aku memang tak bisa lagi mendampingimu dan menjadi istrimu. Berulang kali aku memberikan kesempatan itu dan kamu selalu mengabaikannya.”“Apa tidak bisa beri aku 1 kali kesempatan lagi?” tanya Aidan memancing rasa iba Dayana.Dayana menghela napas berat. “Sampai kapanpun aku tidak akan bisa memberikan kesempatan itu lagi mas. Bagiku … semua sudah usai.” Wanita berpakaian olahraga itu berjalan menjauhi Aidan yang masih termenung di tempatnya.Waktu pun begitu cepat berlalu, kedekatan Dayana dan Sagara semakin tampak terlihat walau di depan orang mereka harus berpura-pura tak saling mengenal. Kinerja Dayana pun semakin menunjukkan progress yang baik.Hari ini sidang pertama untuk mediasi akan diadakan, Dayana telah bersiap dengan blouse berwarna nude dihiasi celana bahan berwarna dark black, lengannya pun tak lagi terpasang gips. Sepanjang jalan menuju ke pengadilan agama, ia hanya diam dan tak banyak berkata.Hari ini ia datang bersama dengan salah
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras