Bagian 6
“Alrik?” lirihku dengan gerak tubuh yang canggung.
“Sudah lama sekali!” Lelaki itu berseru dengan binar mata yang tak percaya. Kenapa harus bertemu dengan dia di saat begini, sih? Bikin moodku semakin payah saja!
“Iya, sudah lama. Silakan duduk.” Tawarku kagok. Pria berkulit putih bersih dengan tubuh yang atletis itu pun mengangguk. Senyumannya tampak lebar sekali, hingga geligi rapinya terlihat. Mau tak mau, aku yang belum mandi dan bau asem ini harus duduk berhadapan dengan seorang pria klimis metroseksual yang bahkan harumnya bisa tercium dari jarak beberapa meter. Astaga, betapa doublenya kesialanku hari ini.
“Kenapa tidak pernah muncul di grup SMP? Aku cari-cari namamu pun tidak ada di sana. Kamu nggak gabung?” Alrik, seorang anak gedongan yang kedapatan apes bisa berpacaran denganku saat kami masih kelas 8 dulu, ternyata masih sama seperti masa remajanya. Ramah, murah senyum, dan tidak anti dengan orang-orang ‘terbuang’ sepertiku. Bahkan hingga aku belum juga bisa mengejar ketertinggalan dari teman-teman lain yang sudah sukses, dia masih saja ramah padaku. Bukan karena aku cinta monyet yang dia tembak hanya karena kami satu grup paduan suara dulu. Namun, itu karena sifat manusiawinya yang kulihat semakin terasah.
“Aku tidak gabung,” ucapku pelan dengan membuka mulut kecil-kecil supaya aroma napasku tak tercium.
“Aku masukin, ya? Teman sebangkumu yang jadi adminnya. Masa kalian tidak pernah kontak-kontakan?” Yang Alrik maksud pasti Dwiva. Perempuan yang kudengar telah menjadi dokter umum itu sudah sekian lama hilang kontak denganku. Aku juga sengaja tak menambahkannya sebagai teman di media sosial manapun. Iya, aku minder. Sengaja menjauh dari circle SMP yang rata-rata adalah anak orang berduit. Aku hanya beruntung saja bisa masuk SMP favorit itu. Hanya bermodal nilai di atas rata-rata doang. Iya, aku dulu memang sepintar itu. Sayangnya, kepintaranku berhenti berkembang saat menginjak bangku SMA. Entahlah kenapa bisa begitu. Mungkin karena kematian almarhum Mama yang membuatku menjadi pesimis menatap dunia yang sungguh keras ini.
“Ntar aja,” kilahku dengan senyum tak enak hati.
“Ayolah. Biar reuni nanti kita ngumpul. Hanya kamu yang tidak nongol di grup itu. Aku bahkan hampi ingat dengan satu angkatan kita di SMP dulu. Grupnya asyik kok. Membaur.” Alrik begitu antusias. Pria yang baru kutemui beberapa menit itu langsung mengalir begitu saja. Dia memang masih seperti yang dulu, meskipun saat naik ke kelas 9 aku memutuskan jalinan kasih dengannya. Alasannya? Karena Alrik itu anak mami. Apa-apa sama maminya. Aku malu sekali karena jadi bahan ledekan anak-anak kelas. Eh, nggak tahunya, sekarang dia bertumbuh menjadi pria yang sangat gagah. Yang lebih membelalakkan mata adalah kunci mobil berlambang kepak sayap dengan tulisan ‘mini’ di tengahnya. Oh, sudah pakai Mini Cooper, pikirku. Beda sekali dengan aku yang masih memakai Honda Beat keluaran tahun 2010. Sungguh ironis.
“Hehehe.” Aku hanya tertawa kecil. Memasang muka kikuk dan mulai tak betah duduk berlama-lama dengan cowok ini. Aku malu. Luar biasa malunya.
“Eh, aku sampai lupa menanyakan kabarmu saking asiknya ngobrolin grup. Gimana kabarmu, Venda? Sejak lulus SMP kita tidak pernah ketemu lagi. Masih tinggal di Gang Mentimun?”
Dengan perasaan yang seperti menahan luka, aku pun menjawab, “Kabarku biasa saja. Rumah di Gang Mentimun sudah lama dijual sejak mamaku meninggal.” Senyumku getir. Pertanyaan sederhana Alrik entah mengapa malah membangkitkan memori masa lalu yang begitu pahit.
“Innalillahi. Aku tidak tahu itu. Turut berduka cita, Ven. Jadi, kamu tinggal di mana sekarang?”
“Di perumahan Ananta. Sama suami,” sahutku. Kutegaskan kata suami di akhir kalimat agar Alrik mengerti bahwa aku telah menikah. Lelaki itu sontak terkejut. Wajahnya berubah. Apakah dia tak menyangka bahwa aku telah menikah?
“Sudah punya anak?” tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepala. “Belum. Baru setahun menikah.”
Alrik tersenyum kecil. Ekspresinya seperti tak enak hati saat mendengar jawabanku. “Semoga disegerakan,” ucapnya lembut.
Tidak. Aku sebentar lagi menjadi janda, jadi sebaiknya kamu simpan saja doamu itu, Rik. Begitulah ucapku dalam hati. Namun, aku hanya menyahut kalimat Alrik dengan anggukan saja.
“Kamu sendiri?” Aku memberanikan diri untuk bertanya balik padanya. Semoga bau mulutku tidak membuat Alrik pingsan setelah ini.
“Alhamdulillah belum. Masih betah menjomlo. Jomlo karatan,” ucapnya sambil tertawa renyah.
What? Jomlo karatan? Seriusan? Ah, sepertinya tidak mungkin. Lelaki tampan begini apalagi berasal dari kalangan kaya raya, mana mungkin masih jomlo. Aku yang melarat ini saja ada yang mau, kok. Ya, meskipun yang mau ternyata kelakuannya seperti dakjal.
“Jangan gitulah. Mungkin belum jumpa jodohnya,” kataku membesarkan hatinya.
“Maybe.” Alrik mengendikkan bahu bidangnya. Menatap nanar dengan muka yang seperti sedang merenung. Apakah ucapanku telah menyakiti perasaannya? Buru-buru aku mengalihkan pembicaraan.
“Sibuk apa sekarang, Rik? Apa kabar mamimu?”
“Sibuk kerja aja. Kebetulan kantorku nggak jauh dari sini. Mami kabarnya baik. Lagi senang merawat anggrek. Biasalah, sudah tua. Nggak ada kegiatan.”
“Oh, kantormu dekat sini? Di mana itu? Mamimu pengen cucu kali.” Aku tertawa kecil. Namun, kupikir itu lawakan yang garing. Sedangkan aku sendiri punya momongan saja belum. Sok-sokan bilang maminya Alrik pengen cucu segala. Mendadak aku jadi malu sendiri.
“Ruko dekat perempatan itu. Hadap-hadapan sama toko alat tulis. Kamu dulu aja yang ngasih cucu buat papamu. Akunya cari istri dulu aja.” Alrik senyum kecil. Sepertinya candaanku tidak menyakiti hatinya. Untung saja.
“Oh, kamu kerja di toko elektronik itu ya, Rik?” Seketika aku mengingat bahwa di depan toko alat tulis ada sebuah toko elektronik yang agak sepi. Bangunan rukonya bagus dan halaman parkirnya cukup luas. Sayang, yang beli tidak seberapa. Kasihan juga Alrik, pikirku. Meskipun bawa Mini Cooper, ternyata dia hanya pegawai toko elektronik. Apa dia tidak kuliah, ya? Ah, tapi nggak mungkin. Apa dia yang punya tokonya?
“Bukan. Toko itu udah pindah. Aku baru nempatin seminggu ini.”
Aku manggut-manggut. Pikiranku ternyata sempit sekali. Seketika mukaku langsung panas karena malu. Bodoh sekali pertanyaanku. Mana mungkin si anak mami ini kerja di toko elektronik! Argh, cari topik lain saja. Biar tidak ketahuan bodohnya.
Tak lama, makanan pesanan kami akhirnya datang juga. Ternyata Alrik memesan nasi kuning dengan lauk irisan semur daging sapi yang menggoda selera. Lelaki itu juga memesan minuman yang sama denganku, teh hangat.
“Terima kasih ya, Mbak,” ucap Alrik pada si mbak-mbak pelayan warung dengan sangat sopan. Mbak-mbak berambut pendek itu langsung tersenyum semringah dengan wajar yang berseri-seri. Siapa yang tak senang diucapkan terima kasih oleh cowok good looking begitu? Pasti si mbaknya langsung senang seharian, pikirku.
“Sama-sama, Mas,” sahut mbaknya sambil berlalu dengan gerak yang kemayu.
“Ayo, makan, Ven.” Alrik lalu senyum ke arahku. Lelaki itu mulai meraih sendoknya dan aku pun mengikuti gerakannya.
Kami berdua pun makan tanpa bersuara lagi. Fokus ke hidangan masing-masing. Dalam diam, sebenarnya aku masih menyimpan banyak tanya seputar Alrik yang selama ini sudah kulupakan. Di mana pria itu sekarang tinggal? Apakah dia masih menempati rumah lamanya yang berada di daerah Gading Indah yang tak jauh dari sekolah kami dulu? Apa yang menyebabkan dia masih menjomlo di usia kami yang sudah memasuki angka 27 ini? Namun, semuanya hanya kupendam saja. Mungkin lain waktu ketika kami bertemu kembali, aku bisa menanyakan segala pertanyaan itu.
Tiba-tiba, ponsel Alrik berdering. Lelaki itu langsung merogoh kocek celana pendeknya dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Ponsel keluaran terbaru dengan harga fantastis itu membuat mataku seketika membeliak untuk setengah detik. Wow, semakin tajir lelaki ini, pikirku. Aku makin merasa kerdil saja di hadapan Alrik. Kuralat pikiranku semula yang berharap akan bertemu lagi dengannya di lain waktu dan menanyakan segala penasaranku terhadapnya. Semoga aku tak pernah lagi berjumpa dengan Alrik, pikirku. Perjumpaan hanya akan membuat keminderanku bertambah pesat sebab melihat suksesnya Alrik yang berbanding terbalik dengan hidupku yang sangat biasa saja.
“Halo, Vin. Aku lagi sarapan. Gimana?” Alrik terdengar sangat berwibawa. Pria itu langsung memasang wajah serius saat mengangkat telepon dari temannya.
“Oke, aku segera ke sana. Suruh mereka untuk tunggu sebentar. Suguhkan kopi dan ajak ngobrol di lobi.” Entah mengapa, mendengar ucapan Alrik membuatku mendadak mengira bahwa dia adalah seorang CEO atau sejenisnya. Makin jiper, itulah yang kurasa. Sepertinya Alrik sedang berbicara dengan bawahannya dan dia tengah ditunggu oleh klien penting. Astaga, sekaya ini masih mau saja makan di warung sarapan yang didatangi oleh orang miskin sepertiku. Apa Alrik tidak alergi?
“Oke.” Alrik lalu mematikan ponselnya dan menaruh kembali dalam kocek. Aku yang sempat terpana melihat Alrik berbicara di telepon, buru-buru menyantap buburku dan berpura-pura seperti tak baru saja menatapnya heran. Lewat ekor mata, kulihat lelaki itu mengeluarkan dompet dan menarik sesuatu dari sana.
“Venda, aku pulang duluan, ya. Ini kartu namaku. Kamu bisa hubungi aku di nomor ponsel yang tertera. Siapa tahu, kamu ingin dimasukan ke grup alumni,” ucap Alrik terburu-buru sambil meyodorkan kartu nama yang bahkan terbalik itu. Kuterima kartu itu dan aku langsung mengangguk-angguk ke arahnya.
“Hati-hati, Rik,” sahutku seraya melambaikan tangan padanya.
Pria itu langsung bangkit dan berjalan cepat. Saat kutoleh, tubuhnya telah melesat ke meja kasir sana dan menaruh uang begitu saja kepada kasir, kemudian berlari menuju parkiran. Alrik pun hilang dari pandanganku.
Aku yang penasaran, langsung membalik kartu nama yang diberikan Alrik tadi. Syok. Itulah yang kurasakan saat pertama kali membaca nama beserta gelar yang tertera di katu itu. Dalvano Alrik Sebastian, S.H.,M.H. Juga tertulis di sana nama perusahaan yang dia pimpin, yaitu Dalvano and Partners Law Firm.
“Oh, pengacara,” gumamku sambil meratapi nasib diri sendiri yang sangat menyedihkan. Dunia oh, dunia. Saat teman-temanku sudah sukses di usia muda, mengapa aku masih begini-begini saja?
Ponselku yang tersimpan di saku baju piyama, tiba-tiba bergetar. Aku yang termenung dalam kesedihan pun mendadak kaget. Cepat kurogoh saku dan kulihat nama yang tertera di layar. Ibun. Emosiku langsung bangkti lagi setelah tertidur beberapa saat. Mau apalagi orang ini, pikirku?
“Venda sayang, anak mantuku yang paling Ibun sayang. Di mana kamu, Ven? Ibun sudah mau sampai di rumahmu, Nak.”
Mendengar kalimat Ibun via telepon, mendadak membuat perutku teraduk-aduk. Bubur yang semula sudah masuk ke lambung, serasa mau keluar lagi. Jijik! Sungguh menjijikan. Apakah pertanyaannya perlu untuk kujawab? Rasanya, ponsel ini ingin kubanting saja supaya tak lagi mendengarkan celoteh palsu dari perempuan tua munafik itu!
BAGIAN 7 Main rapi, Ven, main cantik! Jangan gegabah, jangan grasa-grusu. Santai, tenang, jangan mudah tersulut emosi. Begitulah kalimat-kalimat afirmasi positif yang kuucap dalam batin. Melawan orang munafik berkepala dua, haruslah hati-hati. Aku tidak boleh salah langkah. Sedikit saja terpeleset, akulah yang jadi mangsa mereka. “Aku di luar,” sahutku santai pada Ibun meski hati ini seperti sedang dikruwes-kruwes dengan garpu. Awas kau nenek lampir. Suatu hari nanti, pasti akan kena batunya juga. “Di luar mana, Sayang? Pulang ke rumah suamimu dulu, ya? kita harus bicarakan baik-baik semuanya—” Agak panas hatiku, la
BAGIAN 8 “Venda, Ibun minta maaf, Nak! Ibun yang salah. Kamu jangan mendiamkan kami begini seolah masalah kita tidak bisa diperbaiki!” Aku yang baru saja tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ditarik pelan tanganku oleh Ibun. Perempuan paruh baya yang masih terlihat aura kecantikannya itu ternyata menyusulku dari belakang. Kutengok lagi ke depan sana, ada Mas Zaki yang mencoba menahan Mbak Lala supaya tidak mendekat ke arah kami. Mbak Lala yang berapi-api. Dia seakan ingin meledak melihat kelakuanku. Kenapa juga dia yang kebakaran jenggot? “Bun, sudahlah! Ayo, kita pulang! Venda nggak bisa menghargai Ibun!” pekik Mbak Lala sambil sekuat tenaga berusaha menepis genggaman erat di tangannya. Mas
BAGIAN 9POV AUTHOR “Keterlaluan Venda! Bisa-bisanya dia sekasar itu! Di mana rasa takut dan patuhnya? Siapa yang sudah merasukinya sampai berubah begini?” Zaki sibuk bertanya-tanya dengan gumaman ketika dia keluar dari kamar. Pipinya terasa begitu perih usai ditampar oleh sang istri untuk pertama kalinya. Venda yang selama ini dipandangnya sebagai wanita lugu, ternyata diam-diam menyimpan kebuasan. Zaki tentu terperanjat dan kaget. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Dia mulai resah sekarang. Jangan-jangan, Venda akan berani meninggalkannya kelak? Dia tak yakin apakah bisa hidup apabila tanpa wanita royal pemurah itu. Sedangkan, tuntutan hidupnya sangat tinggi. Lebih tepatnya, tuntutan dari Ibun. Pria berkulit eksotis dengan tampang yang lumayan itu berjalan gusar menuju teras. Dia
BAGIAN 10POV AUTHOR Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda. [Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.] Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?&nb
BAGIAN 11 “Maafkan kami, Ven. Ampuni kesalahanku dan Ibun. Aku mohon.” Mas Zaki terus memohon. Bahkan matanya kulihat kini melinangkan air mata yang tak sedikit. Dua tangan kekarnya memagut pelan lututku. Membuatku semakin gerah dengan sandiwara tak bermutu mereka. “Cukup! Hentikan tingkah konyol ini!” Aku menjerit. Habis sudah sabarku. Ibun dan Mas Zaki akhirnya kompak berdiri. Keduanya sama-sama menghapus air mata dengan jemari, lalu menatapku dengan ekspresi yang takut-takut. “Mas, Bun, sudahlah. Hentikan tangisan kalian berdua. Kita anggap semua masalah ini selesai,” kataku sambil menahan gejolak di dalam
BAGIAN 12 Seharian itu, aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Entah itu memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Kerjaanku hanya leyeh-leyeh di atas kasur sembari memainkan ponsel. Sengaja hari ini aku tidak membuka orderan jamu tradisional, padahal beberapa pelangganku sejak tadi sudah bolak-balik bertanya apakah ada jamu yang ready atau tidak. Semuanya kujawab tidak ada. Kukatakan bahwa hari ini jadwalnya kang jamu libur. Ternyata, nikmat sekali hidup bersantai ria. Tak perlu memperhatikan rumah tangga dan mengurusi segenap tetek bengek dagangan. Toko online-ku tutup. Proses orderan di market place pun kupending. Biasanya, aku paling anti bermalas-malasan seperti ini. Waktu bagiku adalah segalanya. Namun, itu kemarin. Tidak berlaku dengan hari ini. Inginnya aku membuang waktu percuma saja. Mau me
BAGIAN 13 Jelang sore itu juga, aku segera membuang segala pikiran negatif yang melanda usai memblokir Anita. Cukup beberapa menit untuk menenangkan diri, aku pun tak ingin membuang banyak waktu lagi. Cepat bergerak menuju dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil seluruh sisa stok empon-emponan serta rempah daun yang sudah kubungkus dengan kertas koran. Saat aku sedang memisahkan satu per satu rimpang, tiba-tiba pikiranku melayang kembali. Teringat akan ucapan Anita via WhatsApp tadi. Aku pun langsung menghitung-hitung, berapa bahan yang harus kukeluarkan untuk membuatkan pesanannya. Untuk membuat empat liter jamu kunir asem, setidaknya aku membutuhkan setidaknya 1 kilogram kunyit, 250 gram jahe merah, 200 gram kencur, 2 bung
BAGIAN 14 Pagi-pagi sekali aku bangun untuk berangkat ke pasar membeli bahan baku pembuatan jamu tradisional maupun masker organik. Pukul setengah lima pagi usai salat Subuh aku pergi sendirian dengan mengendarai motor bututku. Mas Zaki? Dia masih ngorok di peraduan. Tak mau peduli dengan apa yang kulakukan sepagi buta ini. Aku sudah tak masalah lagi. Toh, sebentar lagi benalu itu akan kuenyahkan dari sini. Lihat saja. Dia pikir, aku akan diam saat melihat tingkah laku busuknya? Total ada lima buah plastik belanjaan yang kutumpuk jadi satu dalam karung putih. Susah payah aku mengemudi motor dengan bawaan yang kusimpan pada injakan depan. Hal ini bukanlah barang baru bagiku. Namun, hari ini terasa semakin sakit saja. Baru kusadari, ternyata selama ini aku terlalu bodoh. Mudah sekali dimanfaatkan lelaki. Hanya diam
Bagian 31 ENDING Tujuh bulan setelah perceraian “Sayang … aku pusing banget ini bikin makalah. Kamu bisa bantuin aku nggak?” Aku merengek. Merapat ke Mas Alrik, lelaki yang telah menikahiku dua bulan lalu. Ya, usai insiden di kantor polisi di mana aku mengetahui bahwa Zaki telah berselingkuh dengan kepala cabangnya, hari itu juga bersama Alrik aku mendatangi Pengadilan Agama. Berkas perceraian langsung kuurus. Tak memakan waktu lama, hanya sekitar dua bulan saja surat cerai itu langsung berada di genggaman. Statusku langsung menjadi janda tanpa anak. Di waktu yang sama juga, Zaki mendekam dalam lapas sebab hakim telah memutuskan hukuman penjara baginya atas kasus penganiayaan yang dia lakukan padaku dan Alrik. Tuntutannya tak main-main, dua tahun kurungan penjara. Ibun, Mbak Lala, dan Anita? Juga turut mendapatkan konsekuensi atas tindakan tolol mereka. Keduanya
Bagian 30 “Ibu mengenal wanita ini?” Polisi bernama Reyno yang pagi ini mengenakan kemeja putih yang dilinting lengannya hingga siku itu bertanya padaku. Pria macho berkulit eksotis dengan bentuk rahang yang tegas tersebut kemudian menyodorkan ponselnya. Kuraih ponsel Pak Reyno dengan perasaan was-was. Kala kupandangi foto yang tertera di layar, dahiku langsung mengernyit. Sosok Alrik yang duduk di sebelah pun ikut melongok demi melihat apa yang tengah terpampang di layar. “Siapa itu?” tanya Alrik bernada penasaran. “Bu Regina?” gumamku pelan dengan penuh tanda tanya di kepala.&nb
Bagian 29 Pertemuan dengan Papi tadi malam begitu sangat berkesan bagiku. Sedikit pun tak terbesit di benak bahwa sosok Papi bisa seramah itu. Ya, gara-gara ucapannya Alrik. Dia ternyata mengerjaiku dan usahanya berhasil. Rasa takut sekaligus minder sempat mengetahui. Eh, pas bertemu, semuanya malah 180 derajat berbeda. Papi peduli, baik, dan sama sekali tak memandangku rendah. Tawaran yang dia berikan pun tak main-main. Kuliah di kampus yang dia pimpin, meskipun masuk kelas ekstensi alias kelas malam khusus pekerja. Ya Allah, kurasa seperti ini adalah mimpi di tengah siang bolong. Seakan mustahil, tetapi nyata adanya. Malamnya, aku tidur bersama Mami di kamar yang sangat luas ini. Kami banyak bercerita sebelum terlelap tidur. Termasuk tentang Alrik yang kata Mami tak juga kunjung punya pacar di usianya yang tak terlalu lama lagi akan masuk ke angka 30. Mami bi
Bagian 28 “Lho, mentang-mentang Papi buncit, jadi dikira makan orang, ya?” Papi ikut tertawa geli. Mami yang dirangkulnya pun setali tiga uang. Mereka tiga beranak kompak terpingkal. Sumpah, aku jadi malu sendiri. Mukaku pasti sudah sangat merah. “Tau, tuh!” Tangan Alrik mengepal dan meninju pelan lenganku. Sangat pelan. Lebih mirip dengan colekan. Astaga, Alrik! Awas kamu, ya. “Ya, sudah. Ayo duduk. Kita pesan kopi dulu. Nongkrong di sini mumpung masih awal.” Papi dengan sangat ramahnya mengajak kami duduk bersama di bangku-bangku kayu. Mami duduk di sebelah Papi, sedang aku duduk di sebelah Alrik menghadap mereka. Aku memilih duduk di dekat tembok pembatas balkon. Supaya bisa melempar pandang ke arah j
Bagian 27 “Maaf bikin kalian menunggu.” Mami tiba-tiba masuk ke mobil. Duduk di sebelahku seraya menaruh dua kantung belanjaannya di bawah. Masih tersisa butir air mata di pipi. Lekas kuusap dengan gerakan cepat supaya Mami tak melihatnya. “Ini susu untuk Venda, ini susu untuk Alrik,” ucap Mami kemudian. Tangan lentik beliau membagi satu per satu kaleng dingin berisi susu steril putih yang memiliki rasa tawar tersebut. Bukan favoritku. Namun, harus kuhabiskan seperti kata Alrik tadi. Mami pasti akan senang bila aku menghabiskan barang pemberiannya. “Makasih, Mi,” ucapku lirih. Takut-takut kutoleh ke arah Mami. Khawatir apabila dia melihat mataku yang sembab. Untungnya, Mami tidak ngeh. Dia tak begitu men
Bagian 26 “Eh, nggak!” Aku pun akhirnya meluncurkan sangkalan kepada Alrik. “Oh, syukurlah.” Jawaban singkat Alrik bernada beda. Dia juga sepertinya sama grogi denganku bila kutelisik dari warna suaranya. Entahlah. Semoga hanya perasaanku saja. Namun, bila memang kami sama-sama grogi dan apa yang kami grogikan ternyata beralasan, artinya aku harus menyiapkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada. “Ah, apa yang harus digrogiin, sih? Emangnya Papi itu makan orang? Makin tua Papi itu makin wise, lho. Orangnya selalu bersahabat pada siapa pun. Tenang aja, Venda. Papi nggak gigit orang. Dia pasti senang kalau tahu ternyata kamu masih tinggal di dekat-dekat sini.” Mami langsung merangkul tubuhku. Beliau menepuk-nepuk lembut lengan kananku. Huhft, semoga apa yan
BAGIAN 25 Mami mendandaniku dengan spesial malam ini. Demi mengajak jalan keluar, beliau rela mengeluarkan pakaian terbaik dari lemari besarnya di kamar. Aku segan bukan main. Setelah dipinjamkan piyama, sekarang Mami memaksaku untuk mengenakan sebuah dress selutut motif abstrak dengan warna cerah. Kombinasi antara merah muda, hijau mint, dan kuning pastel. Seperti warna minyak yang dicurah ke air. Saat melihat merek yang tertempel di belakang kerang, semakin takjub diriku. Ini baju butik karya desainer wanita ternama Indonesia. Ya ampun, beban sekali saat harus mengenakannya. “Mi, nggak apa-apa?” tanyaku gugup. “Lho, kenapa emangnya? Pakai aja, Ven. Muat kok, ini. Badan kita kan, beti. Beda tipis.” Mami t
BAGIAN 24 “Venda, apa kata mertuamu? Sudah selesai neleponnya?” Mami yang masih menantikan kami di meja makan, bertanya sambil bangkit dari tempat duduk. Raut wajah perempuan paruh baya dengan kulit putih dan dagu lancip tersebut tampak risau sepertinya. Aku tahu, pasti beliau ikut kalut memikirkan masalahku. “Sudah, Mi. Aku sudah beri tahu kalau anaknya sedang diperiksa oleh polisi. Begitu juga dengan iparku yang nomor satu.” Aku kembali duduk di kursi. Meraih piringku yang masih setengah isinya dan kembali makan dengan lahap. Aku tak boleh menyisakan masakan Mami, pikirku. Beliau sudah lelah menyiapkan semuanya, meskipun saat masak Mami juga pasti tak menduga bahwa aku akan datang ke sini dengan membawa masalah yang segudang.&n
Bagian 23 [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?] Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku. [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.] Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara. [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik