"Kamu ngeliatin siapa, Ri?" Karin ternyata sudah sejak tadi melepaskan pelukannya. Aku mengusap wajah, kembali melirik ke meja Putra. "Heh, dipanggil malah bengong lagi." Karin menegurku kembali. Eh? Aku menatap Karin, dia mengikuti arah pandangku tadi. Beberapa detik, sahabatku itu tersenyum miring. Dia mencolek daguku. "Cie, kamu ngeliatin cowok itu, ya? Hati-hati, udah punya pacar, tuh."Aku menghela napas, kemudian menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan pemikiran Karin. Namun, dia menebak dengan tepat. "Udah, ah. Oh iya, kamu kapan ke rumah? Si Adel nanyain terus." "Besok, deh. Atau kalau ada waktu. Habis ngelahirin kamu ke rumahku aja kalo gak, sama Adel."Aku menganggukkan kepala, mengobrol dengan Karin memang menyenangkan, tapi sejak tadi mataku tak lepas menatap ke meja Putra. Mereka tampak akrab sekali. Aku memalimglan wajah, malas dengan adegan di sana. Ah, aku mengingat kata-kata Putra beberapa hari yang lalu. Apa dia bilang? Dia ingin membuat komitmen denganku
"Siapa, ya? Gak kenal." Aku menatap Bang Ridwan sebentar, kemudian berjalan ke kamar. Sungguh, aku tidak peduli lagi dengan pria itu. Dia mengganggu hidupku. "Tidak mungkin kamu lupa sama aku."Langkahku terhenti. Ya, dia Anang. Aku mengenalnya, sangat dekat. Tapi ternyata dia pindah ke negara lain untuk mengejar pendidikan. Akhirnya, aku melupakan Anang. Memilih untuk hidup dengan Mas Riky. Ah, aku lupa. Pernikahan ini juga harus berhenti karena kasus Mas Riky. "Aku kembali mau menepati janjiku, Ri. Aku akan menikahimu. Kita hidup bahagia. Selamanya." Mendengar itu, aku tertawa. Sungguh, lucu sekali perkataan Anang barusan. "Gak perlu. Aku udah punya anak sekarang. Kamu gak perlu nepatin janji itu. Gak ada yang harus ditepati. Lupain semuanya." Aku kembali melanjutkan langkah, tapi terhenti ketika ada yang menarik tanganku pelan. Saat aku menoleh, ternyata Anang. "Apalagi? Gak puas?" Bang Ridwan diam saja. Dia memang membiarkan masalahku sendiri, tidak mau ikut campur. Kecua
"Kamu habis darimana?" tanya Anang sambil menatapku. Aku mengangkat bahu. Kenapa Bang Ridwan tidak mengusir pria ini dari sini, sih? Kenapa dia masih ada di sini? "Bukan urusan kamu. Sana pulang.""Eh, Abang pergi dulu, ya. Ada urusan sama si Anang. Kamu jagaij Adel. Kalau ada apa-apa, telepon Abang aja."Keningku mengernyit melihat Bang Ridwan yang buru-buru turun dari lantai dua. Dia membawa jaketnya. "Abang mau kemana?" tanyaku sambil mengikutinya ke ruang depan. "Urusan sebentar. Jangan kemana-mana. Hati-hati di rumah. Jaga diri." Eh? Kayak mau pergi kemana aja. Aku memperhatikan Bang Ridwan. Dia masuk ke dalam mobil Anang. Entah kenapa, ada rasa cemas di hatiku. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar. Apa yang terjadi dengan Bang Ridwan dan Anang? Kenapa ada yang aneh? Ponselku berdering. Dari Putra. Ah, kenapa aku tidak meneleponnya dari tadi? "Halo, Putra."Tidak ada jawaban. Aku menunggu. Di seberang sana juga berisik sekali. Dia sedang ada di mana? "Halo
"Ini perempuannya?"Aku menatap mereka tajam. Dua orang pria ini terlihat tinggi dan besar, tapi hanya terlihat begitu. Ya, aku bisa menghadapinya."Bagus. Dia mangsa kita. Bawa hidup-hidup kata Bos.""Siapa Bos kalian, hah?!" teriakku.Mereka saling berpadangan, kemudian tertawa kencang. "Gak perlu tahu, Nona manis. Yang penting, kamu nurut sama kami. Lalu kami tidak akan menyakitimu."Aku balas tertawa kencang. Kedua pria ini memang tidak ada yang memiliki simpati sama sekali. Mereka tidak peduli, kalau aku wanita.Belum sempat mereka maju. Ada yang menggebuk dengan kayu. Aku menghela napas lega, ketika melihat Putra di pintu."Kamu baik-baik aja?" tanyanya sambil mendekatiku."Baik. Bang Ridwan mana?"Putra menatapku. Namun, tatapannya begitu berbeda. "Di rumah sakit, ketusuk."***Aku berlari kecil di lorong rumah sakit. Ingin segera bertemu dengan Bang Ridwan.Bagaimanapun juga, kekuatanku sebagian besar ada pada Bang Ridwan. Jadi, aku tidak akan sanggup melihatnya begitu."Pelan
"Ayo, Ri. Ngapain berdiri di situ. Bengong terus dari tadi." Eh? Aku menatap Putra yang sudah selesai membayar. Dia berjalan duluan, meninggalkanku sendiri. Aku menyusul Putra beberapa detik kemudian. Kami berjalan ke ruang rawat inap Bang Ridwan. Ternyata, Abangku itu sudah siuman. Dia tersenyum padaku. "Gimana? Aman, 'kan? Adel baik?" Pertanyaan Bang Ridwan tidak aku jawab. Dia menyebalkan sekali, bukannya memikirkan kodisi sendiri, malah memikirkan orang lain. "Pikirin kondisi sendiri. Jangan mikirin orang lain, kalau badan sendiri gak sehat." Aku menjawab ketus, sambil duduk di kursi. "Marah, hm? Padahal, Abang nanya baik-baik, lho. Malah dimarahin."Aku terdiam. Menatap mata Bang Ridwan yang lebih redup dari biasanya. Beberapa detik, aku menelungkupkan kepala ke lengan Bang Ridwan yang bebas. Memejamkan mata. "Jangan lagi, Bang. Cukup kali ini aja."Mataku memanas. Tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nantinya, kalau pikiran buruk ku ini terjadi. "Nangis, hey?" Ada
"Emang iya. Kamu belum percaya? Yaudah, kalau belum percaya."Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung ke sandaran kursi. Bagaimana kalau Putra benar-benar serius?Bersama Putra beberapa hari terakhir, juga ketika dia membujuk Adel. Entah kenapa, aku merasa Putra memang serius, meskipun kadang bercanda."Udah, jangan dipikirin. Kayak bumbu masakan naik harga aja. Itu gak penting."Mataku melirik Putra sekilas. Jangan dipikirin bagaimana ceritanya? Perasaan orang mana ada dibuat mainan.Aku memalingkan wajah. Berharap ada sesuatu yang membuat Putra tidak lagi mencintaiku. Ah, meskipun itu mustahil.Kami sampai di halaman rumah. Putra mampir sebentar. Dia mengobrol dengan Adel. Membuat suasana baru di rumah ini."Aku pulang dulu. Besok pagi langsung kesini. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja. Jangan malu-malu.""Oke. Makasih udah mau nemenin ketemu sama Bang Ridwan tadi."Putra mengacungkan jempol. Dia tersenyum lebar. "Sama-sama. Jangan sedih lagi, kamu wanita hebat."Setel
"Hah?"Putra melongo, dia melirikku sebentar. Kemudian kembali fokus menyetir. "Iya, sakit. Kamu gak tahu atau pura-pura gak tahu?" "Gak tau. Gak mau penasaran sama kehidupan orang lain. Urusanku sama ngurusin kehidupan kamu aja udah ribet."Aku melotot. Putra memang tidak mau tahu soal kehidupan orang lain. Suka-suka dia sajalah. "Ma, nanti Papa datang?" Mendengar itu, aku menoleh. Menatap Adel yang baru saja bertanya. "Gak tau, Sayang. Papa gak bilang apa-apa ke Mama.""Oh. Mama gak ngehubungin Papa?" "Kangen sama Papa, ya?" tanyaku pelan. "Enggak. Adel malah gak mau ketemu sama Papa." Aku menghela napas pelan. Semuanya gara-gara Mas Riky. Dia membuat Adel membencinya sendiri. Mobil berhenti di parkiran. Aku membantu Adel turun. Kemudian menoleh ke Putra. Dia yang menelepon pengacara kami. "Sabar," katanya sambil mengambil ponsel di kantong. "Aku pinjam ponsel kamu, dong. Tiba-tiba mati sendiri ponselku." Meskipun aneh, aku tetap memberikan ponsel ke Putra. Kebetulan aku
"Mama!"Kami sama-sama menoleh. Aku menatap Adel yang berdiri di deat gerbang rumah Mas Riky. "Sini, Sayang." Sudah lama sekali Adel tidak bertemu dengan Mas Riky. Mungkin, ini bisa membuat Papanya sedikit bahagia. Adel ragu-ragu mendekat. Dia menatapku aneh. Aku melirik Mas Riky yang berbinar. Dia pasti merindukan Adel. "Adel sayang." Mas Riky mendekat, kemudian memeluk Adel. Meskipun Adel tidak membalas, tapi dia tidak memberontak. "Papa kangen sama Adel." Aku melirik ke dalam rumah. Rumah ini terlihat kacau. Mas Riky sepertinya benar-benar kacau ditinggal oleh Hanin. Rumah kotor, bayinya sampai sakit begitu. Hampir lima menit Mas Riky memeluk Adel. Dia baru melepas pelukan, menyeka pipi diam-diam. "Adel ke rumah duluan, Ma. Oh, iya. Om Putra katanya mau pulang, ada urusan." Aku mengernyit, tapi kemudian mengangguk. Adel pergi duluan, sedangkan aku pamit dulu pada Mas Riky. "Kamu cocok sama Putra. Semoga dia gak sebodoh aku, menyia-nyiakan kesempatan." Mendengar itu, aku
POV Hanin. ***"Mas, kayaknya aku udah telat satu bulan, deh."Mas Riky yang sedang memeras kelapa langsung menoleh. Matanya melebar, dia seolah tidak percaya dengan perkataanku barusan. "Serius? Mau periksa sekarang? Biar aku beliin alat tesnya." Dia langsung berdiri, membuatku tersenyum. Ikut duduk di lantai. "Gak harus sekarang. Siapa yang nyuruh? Selesaiin marut kelapa dulu. Nanti, kita beli bareng-bareng."Senyum Mas Riky mengembang. Dia mengangguk mantap, buru-buru melakukan tugasnya kembali. Beberapa hari yang lalu, Ria dan Putra sudah pamit. Aku selalu mendoakannya agar cepat hamil. Doa yang sama untukku, aku berharap agar cepat memberikan keturunan pada Mas Riky. Jujur saja, rasa bersalah itu masih ada di hati dan pikiranku. Di mana Mas Riky harus kehilangan anak kami. Ya, bayi itu sebenarnya bukan anak Mas Riky, tapi dia tetap menyayangi sepenuh hati. Tidak peduli dengan omongan orang. "Aku aja yang masak. Kamu istirahat."Aku menggigit bibir, ketika melihat Mas Riky
POV Riky"Aku capek gini terus, Mas. Aku mau pisah aja dari kamu!"Bagaikan petir di siang bolong, aku melotot, menatap Hanin. Mulutnya benar-benar tidak bisa dikontrol."Jangan bicara sembarangan, Hanin! Mas gak suka!"Setiap hari kami mempermasalahkan ini. Aku pusing membahasnya. Tidakkah ada yang lain?Apalagi bayi kami sedang di rumah sakit. Butuh biaya banyak. Aku mengusap dagu, pusing dengan omelan Hanin setiap hari. Pembicaraan kami berakhir dengan Hanin yang pergi dari rumah. Aku mengembuskan napas pelan. "Kamu itu kenapa lagi sama Hanin? Berantem terus, gak pernah mau ngalah satu orang.""Kenapa, Ma? Mama yang gak mau minjamin uang ke aku."Ya, Mama tidak pernah mau meminjamkan uangnya. Padahal, aku sedang butuh sekali. Benar-benar menyebalkan. "Loh, kok jadi Mama yang disalahin? Kamu itu yang gimana. Gak becus jadi suami."Tanpa pamit, aku menutup telepon. Pusing berbicara dengan Mama. Sebenarnya, ini salahku. Memilih untuk hidup dengan Hanin, sepertinya adalah pilihan y
"Mas, kita ke tempat Hanin sama Riky lagi, yuk. Main ke rumah mereka."Mas Putra yang baru saja duduk di pinggir tempat tidur menoleh. Ini bulan madu kami hari kedua. Hamir memasuki siang hari. "Besok-besok aja, Sayang. Masa selama kita bulan madu ke sana terus, sih? Gak ada waktu berdua, dong.""Ya, gak gitu juga, Mas. Tapi kita bisa mengenal kembali Hanin dan Riky. Ini kesempatan emas, lho, Mas, untuk berbuat kebaikan ama orang lain."Suamiku itu tidak menanggapi. Dia memilih untuk tiduran, memeluk guling. Tidak menanggapi perkataanku. Tidak biasanya. Mas Putra malas-malasan begini. Apalagi, ini menyangkut masa laluku. Aku mengembuskan napas pelan. Mungkin, Mas Putra sedang lelah. Baiklah, tidak perlu memaksanya. "Kamu kayak gitu bukan karena masih sayang sama Riky lagi, 'kan?"Eh? Langkahku terhenti mendengar pertanyaan Mas Putra. Batal sudah aku mau ke kamar mandi sekarang. Aku tersenyum, jadi ini alasan dia malas-malasan?"Kamu tau, Mas. Meskipun ada orang yang lebih ganteng,
"Sayang! Kamu ngapain, sih, lama banget. Nanti ketinggalan pesawat, lho." Aku sejak tadi berteriak, menyuruh Mas Putra cepat-cepat. Dia mandi saja lama sekali. Tanganku cekatan memasukkan barang-barang Mas Putra ke dalam tas. "Santai, Sayang. Kalau telat, kita booking lagi." Dasar. Dia sukanya menghamburkan uang. Kalau bisa, aku cubit dia sekarang. Terdengar ketukan pintu di depan. Aku menyuruh Mas Putra membukakan, tapi dia malah tiduran di kasur. Seperti tidak peduli. "Buka pintunya sana." Aku memukul kaki Mas Putra pelan. Dia nyengir, kemudian beranjak."Aduh, menantu Mama yang cantik ini lagi siap-siap, ya. Kalian kayaknya heboh dari tadi."Aku tersenyum menoleh ke arah Mamanya Mas Putra. Hari ini, kami akan bulan madu ke Bali. Aku sudah menentukan tempatnya. Mas Putra hanya mengangguk-angguk setuju. Lalu menghubungi pihak sana. "Udah selesai, Mas."Mas Putra mengangguk. Dia membawakan beberapa koper ke depan. Saat perjalanan ke bandara, aku teringat sesuatu. Aduh, lupa dib
"Nih, siap-siap." Eh? Aku yang sedang melipat pakaian langsung menoleh, mataku tak lepas menatap kotak berwarna biru yang diletakkan Bang Ridwan di atas kasur. Bang Ridwan mengambilkan handuk, melemparnya padaku. Dia mau ngapain, sih? "Cepetan mandi. Pakai gaun yang ada di dalam kotak ini, terus dandan. Keluar kamar. Oke?" Aku tidak menanggapi, kembali sibuk dengan pakaian. Memangnya mau kemana, sih? Pakai gaun segala. Aneh banget. "Kamu denger, gak, Ria?" Bang Ridwan melemparku dengan tutup kotak. Untung tidak kena. Aku melotot padanya, mengusap lengan yang kemerahan. "Nyebelin banget, sih. Memangnya mau ngapain lagi? Males banget disuruh-suruh." "Cepat mandi. Jam tujuh harus udah selesai." Pandanganku berpindah ke jam weker. Sudah pukul setengah tujuh malam. Aku langsung melotot. "Kok Abang nyebelin banget, sih?!" Saat aku menoleh kembali, Bang Ridwan sudah tidak ada. Aku mendengkus pelan, sebal dengannya. *** Selesai berdandan, aku keluar dari kamar. Terdengar sua
"Heh, udah nyampe. Malah tidur lagi. Keenakan banget kayaknya tidur di mobil ini."Aku mengerjapkan mata. Hampir berteriak, ketika melihat wajah Putra dari dekat. Kenapa dia dekat sekali, sih? Aku memundurkan wajahnya dengan telunjuk."Udah sampai rumah, ya?""Belum. Kita sampai di rumah makan. Cepetan turun, ini udah malam. Aku mau pulang, tidur. Capek.""Kok tega banget nurunin di rumah makan, sih? Aku mau pulang, cepet turunin.""Ini orang buat emosi terus kayaknya. Turun gak? Ini udah di rumah kamu. Sana."Aku mengernyit. Putra tahu darimana rumahku? Setelah nyawaku terkumpul semua dan kantuk ini hilang. Ternyata memang benar, sudah sampai di rumahku."Kamu tahu darimana rumahku?" tanyaku di kaca mobil yang terbuka.Putra melirikku. "Sejak kamu pindah aku udah tahu. Mau kamu pergi ke ujung dunia juga, aku tahu alamat lengkap kamu."Wajahku memerah mendengarnya. Putra langsung mengendarai mobil, meninggalkanku sendiri.Entah perasaan apa ini. Aku seperti merasa ada yang berbeda."L
"Calon istri Putra, kenapa manggilnya saya, Pak?" Aku tertawa kecil. "Bapak salah orang, nih."Masa aku harus ikut menilai calon istrinya Putra. Apa-apaan ini? Aku tidak terima sama sekali, apalagi ada banyak orang. Ada Mama dan Papa Putra juga. Baru saja bertemu, sudah menyebalkan. Putra menatapku aneh, kemudian terdengar tawa. Kali ini, aku menatap keluarga Putra aneh. Mereka baru saja tertawa. Ada apa? "Calon istrimu benar-benar lucu, Put. Gemes Mama jadinya."Eh? Aku mengerjap-ngerjap. Aku? Calon istri Putra? "Jangan terlalu tegang, Ria. Tante sama Om cuma mau kenalan sama kamu, biar kita semakin dekat. Ah, atau kita mau sekalian bicarain pernikahan kalian?"Aku menggigit bibir, masih belum mengerti dengan makan malam ini. Putra mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Iyain aja, biar cepat. Kamu mau kejebak terus-terusan di sini?"Tentu saja tidak mau. Putra kembali menjauh dariku. Kalau saja ini bukan restoran atau tempat umum, sudah pasti aku menimpuk Putra. Kami baru ketemu sa
"Terus, mau cari rumah dimana?" tanya Bang Ridwan sambil menahan tanganku. "Terserah cari dimana, yang penting gak di sini atau di dekat sini." Aku langsung menarik tangan Bang Ridwan. Kami meninggalkan tempat ini. Huh, dasar si Putra. Datang-datang, menyebalkannya kembali. Bang Ridwan menyetir mobil, sesekali dia tersenyum jahil. "Kamu beneran marah sama si Putra?" Pertanyaannya itu tidak aku jawab. Kalau dia tahu, kenapa pakai bertanya? Kayaknya, Bang Ridwan juga ketularan menyebalkan. "Kamu sebenarnya mau beli rumah itu, gak, Ri?" Sebenarnya iya, tapi kalau sudah dibeli oleh Putra, untuk apa lagi? Mendingan cari rumah baru, deh."Pengen, suka banget sama desainnya, Bang. Tapi gak jadi, deh. Gak pengen lagi.""Oh." Bang Ridwan mengangguk, tapi matanya terus menatapku jahil. Ada apa dengannya, sih? Kenapa dia seolah-olah menggodaku barusan? ***"Adel! Bangun! Siang.""Iya, Ma. Ini udah, kok. Adel langsung berangkat ke kampus aja. Udah telat."Eh? Aku menatapnya aneh. Tidak bi
"Gak semua orang yang membantu kamu bisa dibilang baik, Nin. Semoga kamu dan Riky dikasih kesabaran, ya."Pandanganku teralih ke Mamanya Mas Riky yang sedang menangis sendirian di pojok ruangan. Aku menghela napas pelan. "Aku ke tempat Mama dulu, ya. Abang di sini aja." Bang Ridwan mengangguk. Meskipun masih ada tatapan kebencian di mata Abangku itu, tapi dia tidak mau membuat gaduh. Itu yang aku suka dari Bang Ridwan. Langkahku terhenti di depan Mama Mas Riky. Aku menghela napas pelan, kemudia duduk di karpet. Menatap orang yang pernah menjadi mertuaku ini. Setelah diam beberapa detik, aku akhirnya mengangkat tangan, mengusap lengan Mamanya Mas Riky. Awalnya, Mama Mas Riky menunduk, sibuk mengusap air mata. Kemudian dia mengangkat wajah. Menatapku. "Ri—Ria."Terdengar histeris. Aku mengerjapkan mata, ketika Mama Mas Riky memelukku. Sama terkejutnya ketika Hanin memelukku tadi. Ini benar-benar di luar dugaan. Beberapa tetangga yang baru masuk langsung menoleh ke kami. Aku menge