Hari ini aku dan tante Yuni pergi ke kantor poliso, memberi berkas pelaporan atas nama Kinanti dan Om Budiman serta Sari.Aku sengaja membuat si pelapor adalah tante Yuni, Alhamdulillahnya adik ibuku itu tidak keberatan. Dia pun sama sekali sangat antusias alias gregetan ingin memasukkan Sari ke penjara, si tukang fitnah, bahkan Tante Yuni dan Om Santoso dulu sudah mendaftarkan nama mereka di kantor KUA, nama itu diganti oleh si cecunguk Sari. Nama Tante Yuni kujadikan sebagai pelapor tentu saja punya tujuan, pertama agar Kinanti heran dan mereka bertanya-tanya, mengapa tante Yuni sebagai pelapor? Mengapa Om Santoso membiarkan istri keduanya itu mengadukan istri pertama.Selain itu, aku juga sengaja membuat Tante Sari naik darah karena secara dia menuduh Tanteku sebagai pelakor, padahal semua sudah tahu ceritanya.Tante Yuni itu bukan pelakor tetapi tumbal dari fitnah yang dilancarkan Tante Sari untuk menggaet Om Santoso. Sebelum Wanita lugu bertahun lalat di hidung itu bertolak menja
Bang Rio memelukku dengan kencang. Dan ia pun mulai menangis. Aku hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya mencoba untuk menenangkannya.“Sudahlah, Bang. Malu kalau abang menangis di sini. Lebih baik kita pulang. Memangnya Abang mau menginap di sini?” ujarku setengah bercanda.Di luar dugaan, Bang Rio malah bersujud dan memeluk kakiku, tentu saja aku berusaha menghindar.Tetapi, semakin aku berusaha menghindar semakin erat pelukan Bang Rio di kakiku.“Maafkan Abang, Dek. Selama ini, Abang pikir jika orang-orang di sekitar Abang tidak pernah berniat mencelakai Abang. Bahkan, Abang sempat tidak percaya kalau mama juga sangat jahat dan memiliki rencana untuk membunuh Abang. Maafkan Abang sudah tidak percaya kepadamu,” kata Bang Rio kepadaku.Aku meraih tangan Bang Rio, kemudian memaksanya untuk berdiri. Tidak enak kan kalau ada yang melihat, nanti dikiranya aku sedang menganiaya suamiku sendiri.“Sudah Bang, jangan menangis seperti ini. Malu badan besar tapi menangis seperti balita. Apa tidak
Sore itu Bang Rio kembali ke kota bersamaku. Kami menjemput Alya dan Revo yang selama beberapa hari tinggal bersama ibuku.“Kita mau ke mana Rum?” tanya Bang Rio kepadaku, aku hanya tersenyum penuh arti.“Ya jelas mau pulanglah, Bang. Emangnya mau ke mana? tanyaku kepada Bang Rio, alih-alih menjawab pertanyaan yang sebelumnya ia lontarkan.“Loh, Abang ini kan tanya Dek.Ini rasanya bukan jalan ke rumah kontrakan kita,” kata Rio lagi.“Aku punya kejutan untuk Abang. Jadi Abang nggak usah rewel.”Rasanya aku tidak sabar memberikan kejutan kepada suamiku. Dia pasti sangat senang sekali kalau kami sudah memiliki rumah sendiri.Aku memang sengaja tidak memberitahukan kepada Bang Rio, kalau sekarang ini kami sudah memiliki rumah sendiri. Karena aku ingin memberikan kejutan kepada suamiku yang tampan dan Budiman itu.Sesampainya di halaman rumah, Bang Rio mengerutkan dahi saat melihat kedua anak kami berlari menyambut kami bersama ibu.“Hore! Papa sama Mama pulang!” teriak Alya.Aku langsung m
"Tidak Rum. Abang tidak setuju, pokoknya kamu harus mengembalikan uang modalnya kepada Hen. Kita semua tahu kalau sahabatmu itu sudah menghianatimu. Bahkan ingin melenyapkanmu juga, bukan? Jadi, lebih baik kita tidak memiliki hutang budi apapun kepadanya. Abang mau kamu mengembalikan semuanya. Abang berjanji Rumi, kalau abang nanti akan mengganti semua uang kamu. Termasuk juga uang pembelian rumah ini, Abang akan menggantinya,” kata Bang Rio kepadaku.“Tapi, tunggu Bang. Bukankah selama ini juga Hen sudah merugikan kita? Ya anggap saja uang pemberiannya ini adalah kompensasi karena kejahatan yang sudah dia lakukan,” ujarku. Tetapi, Bang Rio menggelengkan kepalanya. Sepertinya hati malaikat suamiku ini kumat. Aku tahu betul pribadinya, Bang Rio tidak akan pernah membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan juga. Kalau perlu dia akan tetap bersikap baik kepada orang-orang yang sudah menjahatinya.“Dia memang jahat, tetapi kita juga tidak boleh membalas ke
Dengan berbekal alamat yang diberikan oleh ibuku, aku dan Bang Rio bertekad untuk mencari kebenaran dari keluarga Bang Rio. Bukannya kami gila harta, tetapi kami hanya memperjuangkan apa yang menjadi haknya Bang Rio.“Apa menurutmu kita akan berhasil, Rumi?” tanya Bang Rio.“Ya kita jangan pesimis, Bang. Kita harus optimis dulu. Kita hadapi saja berdua, bukankah selama ini kita ada apa-apa juga saling bahu-membahu. Jadi, Rumi yakin kalau sekarang juga kita pasti bisa melewatinya. Asalkan kita bersama-sama, ingat Bang bersatu kita teguh bercerai kita runtuh,” kataku dengan penuh semangat.“Kamu udah kayak pasukan demonstrasi aja, Rum., Ya udah sekarang kamu udah siap belum? Anak-anak sama siapa?Ibu nggak masalah ya kalau kita titipin anak-anak terus menerus?” kata Bang Rio.“Kalau ibu masalah, dari kemarin-kemarin Ibu udah protes. Buktinya Ibu baik-baik aja tuh. Selama beberapa lama aku di kampung aja Ibu nyaman-nyaman aja menjaga Revo sama Alya. Abang nggak usah khawatir,” kataku.Set
Aku sangat terkejut ketika mendengar dari anak buahku jika ada yang mencariku dan Bang Rio. Maka kami pun segera mencuci tangan kemudian bergegas menuju ke depan. Kami tidak mau jika ta mu kami menunggu terlalu lama.Saat kami ke depan ternyata ada seorang lelaki separuh baya sedang menunggu kami, dan saat melihat kami Ia pun tersenyum dengan ramah.“Selamat siang Pak, Anda mencari siapa?” tanyaku dengan sopan. Aku berpikir jika kemungkinan dia adalah pelanggan baru di bengkel kami, maka kami pun harus bersikap ramah kepada pelanggan bukan? Meski ini sedikit aneh,karena jarang sekali langganan kami meminta untuk bertemu langsung dengan pemiliknya.“Maaf, tadi saya mendengar ibu dan bapak mencari Pak Rustandi. Apakah betul demikian?” tanya lelaki itu.Aku dan Bang Rio mengerutkan dahi, kami saling berpandangan tetapi kemudian aku mengganggukan kepala dengan cepat.“Iya, betul Pak. Kami baru saja dari rumah Pak Rustandi dan mencari beliau tetapi kata security di rumah itu beliau sedang t
“Aku merasa sangat kecolongan. Ternyata selama ini ada banyak sekali hak yang harus aku perjuangkan. Hak yang seharusnya aku nikmati bersama anak dan istriku, dinikmati oleh orang lain yang tidak berhak sebetulnya,” kata Bang Rio ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku hanya menganggukan kepalaku.“Ya, selama ini kamu terlalu sabar dan selalu saja menjadi orang baik, Bang. Baik itu boleh tetapi jika orangnya seperti kamu itu bukan baik lagi... tetapi terlalu baik. Bahkan kamu membiarkan orang-orang yang benci kamu mendzalimi kamu begitu saja. Termasuk juga Tante Sari. Kamu ingat betapa kamu kemarin begitu ngotot untuk mengeluarkan dia dari penjara, padahal aku sudah mengatakan jika aku memiliki alasan kenapa aku menuntutnya. Kamu baru diam setelah aku berikan bukti-bukti nyata kan, Bang,” ujarku kepada Bang Rio.“Maafkan Abang Rumi, selama ini Abang dibutakan. Abang tahu jika Abang bersalah dan abang minta maaf,” kata Bang Rio kepadaku. Aku menghela napas panjang dan mengang
Saat kami tiba di rumah, terlihat sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumah kami. Dan seseorang turun dari mobil itu berjalan masuk ke halaman rumah. Kemudian mobil itu pun segera berlalu. Sepertinya mobil itu hanya taksi online. Aku dan Bang Rio saling berpandangan.“Sepertinya ada tamu, Bang. Apa kamu memberitahukan alamat kita kepada orang lain Rum? Maksud Abang kepada saudara kita?” Aku menggelengkan kepala, “Hmm, tidak ada orang yang tahu alamat rumah ini. Entah kalau misalkan orang itu memang sengaja mencari alamat rumah kita dan ingin bertemu dengan kita. Ya sudahlah, Bang ... Kita temui saja. Kita kan nggak tahu siapa tamunya,” katakuKami pun bergegas memasuki halaman dan membuka pintu rumah. Saat pintu dibuka seseorang yang sudah familiar tampak sedang duduk bersama ibuku di ruang tamu dan saat melihat kami orang itu langsung berdiri dan tersenyum.“Bang Rio, Mbak Rumi.”“Mili, kok kamu di sini?” tanyaku. Ya, yang datang adalah Mili adiknya Bang Rio. Selama ini setahu