"Ka Arga ... Kumohon dengarkan a ....""Diam. Jangan pernah mengikutiku!" bentakku sambil berjalan menuju mobil kemudian menutup pintunya dan tidak memedulikan Luna yang masih mematung di sini.Amarahku belum bisa kuredam. Aku takut kalap dan main hakim sendiri. Tatapanku penuh amarah melihatnya berdiri di sana. Aku meninggalkannya sendiri dan berlalu dengan mobilku. Aku benar-benar ingin sendiri dulu - tak kuat menahan gemuruh di dada ini yang kian membuncah. Dan lelaki itu hanya tersenyum puas melihat kami. Aku tak pernah menyangka Luna bisa berbuat seperti itu. Benar kata Rita dan Eka, aku memang lelaki bodoh yang bisa ditipu dengan diam dan keluguan Luna. Sikap anggun dan tenangnya menutupi keburukannya. Bisa-bisanya aku diperdaya olehnya dengan mudah. Aku memang buta dan bodoh.Kenapa aku terlalu mudah memercayai Luna?Pikiranku terus menerawang kejadian sebelumnya. Masih membekas di ingatanku tentang foto mereka. Saat Luna menikmati juga pelukan itu. Sungguh menjijikkan!Aku mu
Mataku samar-samar melihat orang-orang berdatangan mengelilingiku. Perlahan penglihatanku mulai memudar, memutih kemudian tertutup - tak tahu apa yang terjadi setelahnya.***Aku membuka mata perlahan. Kulihat sekeliling, dinding bercat putih. Ini bukan kamarku. Sebuah selang infus menancap di punggung tanganku. Aku mulai sadar bahwa aku berada di ruang perawatan. Entah, sudah berapa lama aku berada di sini.Ingin sekali aku bangkit, tetapi nyeri kurasakan sakit sekali di pinggangku. Kuusahakan terus untuk bangun, tetap saja tak bisa. Kenapa sakit sekali semua badanku?Aku mulai ingat terakhir kali di Club malam. Oh, aku ditabrak! Kakiku?Aku menoleh, ingin melihat kakiku - ternyata sudah digips. Aku mencoba untuk menggerakkannya. Benarkah tulang kakiku patah.Ouch. Sakit sekali!"Maaf, Pak. Jangan gerakan kaki anda. Tulang kaki anda butuh pemulihan. Mohon tenang ya, Pak! Saat ini anda masih dalam penanganan kami." Seorang perawat menghampiriku dan melarang untuk bergerak. Yang kuden
POV LunaSejak kejadian itu aku sangat sedih dan terpukul. Arga sangat marah hingga tak memedulikan aku yang mengiba padanya. Aku dibiarkan sendiri berdiri seperti orang yang tak punya harapan lagi. Aku tak tahu harus ke mana. Balik ke dalam rumah pun tak mungkin. Atau pergi mengikutinya ke rumah, aku tak berani. Aku takut ia sangat marah padaku kalau bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini. Sudah dua hari aku berada di hotel ini. Aku memutuskan tinggal di sini, tempat yang aman bagiku daripada di rumah bersama mereka, saudariku. Apalagi ada lelaki seperti Fisal, ih menakutkan. Untungnya, ATM-ku masih banyak saldonya karena Arga selalu mentransfer sebagian gajinya ke rekeningku. Mungkin ini waktu yang tepat untuk bertemu Arga. Biasanya, amarah seseorang sudah mulai stabil kalau sudah beberapa hari. Aku memutuskan ke rumah menemuinya sekaligus menjelaskan semua masalahnya. Semoga ia menerima penjelasanku."Assalamualaikum, Bi.""Wa'alaikum salam. Dari mana aja, Non. Gak pulang k
"Nak Arga, bukan maksud Bi Minah mau ikut campur urusan kalian, tapi Bi Minah tak kuat menyimpan ini semua.""Maksud Bi Minah?" Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya."Selama Nak Arga di rumah sakit, Non Luna selalu menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.""Menyalahkan kenapa, Bi?" Aku makin penasaran. "Luna ngomong, karena kesalahannya, Nak Arga sampai masuk rumah sakit.""Luna ngomong seperti itu, Bi?""Iya, Nak. Aku kasihan sama dia, tapi dia memang kuat dan tegar bisa menyelesaikan pekerjaannya walaupun dirundung sedih.""Mmm ....""Karena Bi Minah maksa terus, akhirnya dia mau cerita." "Apalagi yang Luna cerita sama Bi Minah?""Katanya, dia tak punya siapa-siapa selain Nak Arga. Dia sangat takut kehilangan Nak Arga."Aku mengembuskan napas berat, mendengar cerita Bi Minah. Sampai sedalam itu Luna bersedih. Dan satu lagi yang membuatku terkejut, ternyata Luna dijebak oleh kedua adik angkatnya tersebut. Itu yang kudengar dari Bi Minah. Sebanyak itu Luna bercerita dengan Bi
"Aku bilang, cepat kalian keluar dari rumah ini. Kemas barang-barang kalian dan cepat keluar dari sini. Ceeepaaat ...!" Amarahku seakan meledak dan ingin menelan mereka mentah-mentah sekarang juga. Kalau bukan karena Luna menahanku, mungkin mereka sudah kujadikan rempeyek."Cepat angkat kaki kalian dari sini!" bentakku geram dengan mata menyala-nyala."I-ya Ka." Eka dan Rita berhamburan ke kamar hendak mengambil barang mereka. Mereka sangat panik. Begitu juga wajah mereka terlihat pucat. Mungkin mereka tak menyangka ada kami di sini. Mereka berdua terlihat lesu menenteng tas dan barang-barang yang perlu untuk dibawa."Bisa beri kami waktu untuk mengemas semua barang-barang ini?" Eka mengiba, tetapi aku tak mengindahkan permintaan itu. Orang seperti mereka tidak layak dikasihani. Kalau dikasihani, mereka makin melawan dan merendahkan."Ingat, detik ini juga rumah sudah harus kosong. Kalau tidak, kalian akan tahu sendiri akibatnya!" "Ka Luna, apa kau tidak kasihan sama kami dan Mama
"Apa salahku, Pak? Tolong, aku tak mau dipenjara. Penjarakan saja kakakku dan suaminya," ucap Rita mulai ketakutan."Apa maksudmu, Rit? Maksudmu Eka dan Fisal?" Bu Mega menatap Eka, tak mengerti."Mama bakalan terkejut kalau tahu sebenarnya," jawab Rita."Maksudmu apa, sih? Mama gak ngerti." Bu Mega masih bingung dengan ucapan Rita. "Baiknya, ikuti kami dulu! Nanti jelaskan saja di kantor. Mohon kerjasamanya agar proses penyidikan ini berjalan lancar," ucap salah seorang dari anggota kepolisian tersebut."Aku tak mau dipenjara! Huu ... Hu ...." Rita memohon sambil terisak.Hampir dua jam Rita dan Bu Mega dicecar berbagai macam pertanyaan. Wajah Rita terlihat sedih. Ia langsung dibawa ke ruang tahanan, sedangkan Bu Mega dipersilakan untuk pulang. "Ma, jangan tinggalin Rita, Ma. Ma ...."Bu Mega melirik ke kami sebentar kemudian berlalu. Setelah beberapa lama kami tiba, dua buah mobil masuk ke pelataran parkir di depan kantor polisi.Kami masih harap-harap-cemas. Mungkinkah mereka be
"Dialah dalangnya semua ini. Dia pantas diberikan hukuman yang paling berat." Tatapan itu seakan tak terima dengan ucapan tadi.Aku pun tak kalah geramnya melihat lelaki itu. Karena ulahnya, kini kami harus menanggung kerugian besar untuk membangun kembali gedung-gedung yang telah hangus. Belum lagi, kaki ini belum seratus persen pulih, jadi aku belum bisa bekerja secara penuh.Tanpa pertanyaan lagi, mereka langsung dimasukkan ke dalam tahanan. Dia harus menanggung semua kerugian yang ditimbulkan karena ulahnya. Iwan sudah menghubungi pengacara untuk mengurus masalah ini yaitu masalah pembakaran gedung dan penabrakan yang hampir merenggut nyawaku."Tolong, Ga, lepasin Eka! Dia tidak bersalah," ucap Bu Mega sambil memohon.Entah, bagaimana menjelaskan ke Bu Mega. Bukankah tadi Rita sudah dibawa ke ruang tahanan. Aku masih terdiam mendengar ucapannya."Lun, tolong jelaskan ke Arga kalau Eka tidak bersalah. Ini semua pasti ulah Fisal yang mengajak Eka untuk melakukan itu," lanjut Bu Meg
"Ih, Ka Arga aja deh yang buka!" Luna memberikannya padaku dan bersembunyi di balik punggungku."Buka aja, Ka Arga!""Ada apa sih, Non ... Nak Arga, kok paketnya cuma ditatap?" Bi Minah ikut gabung bersama karena melihat kami yang sedari tadi kebingungan menatap paket tersebut."Paket, Bi. Kami ragu membukanya.""Emang isinya apa?" tanya Bi Minah."Belum tahu, Bi. Soalnya, kami tidak memesan.""Sini deh, biar aku yang buka." Luna sudah tak sabar dan meraih kembali.Krek! Bunyi plastik dibuka. Degup jantungku cukup kencang. Luna seakan tidak mengkhawatirkan apapun. Ia terus membukanya.Aku mengernyitkan dahi, menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Perlahan demi perlahan Luna membukanya. Lapisan pertama sudah dibuka. Luna membuka lapisan berikutnya, belum nampak juga apa isinya. Hingga ia membuka paket di lapisan terakhir. "Sepertinya surat atau kartu, Ka." Kuembuskan napas berat mendengar ucapan Luna."Kenapa surat atau kartu setebal ini bungkusannya? Bikin jantungan saja." Aku m
POV ArgaButik milik Luna semakin laris dan menjadi buah bibir warga internet.Butik tersebut baru berjalan sekitar lima bulan, tetapi sudah meningkat pesat. Peminatnya sudah sangat banyak dari berbagai pelosok. Promosinya sangat masif dilakukan reseller secara langsung, maupun secara tidak langsung oleh customer sendiri."Nyonya, semua undangan sudah berdatangan." Suara seseorang di balik sambungan telepon."Tolong beritahu Lastri untuk mengkoordinir penerima tamu," titah Luna di balik sambungan telepon. "Baik, Nyonya. Ada kabar buruk, Non!""Kabar buruk apa?""Be-berapa pieces baju sebagai contoh yang akan ditayangkan nanti, basah terkena air hujan." Suara dibalik telepon terdengar cemas."Masih ada contoh gambar desainnya 'kan?""Mohon maaf, Non, tidak ada. Saya sudah menanyakan ke teman yang lain, tapi tidak ada." "Sherly! Kenapa kau tidak menyimpan file-nya sebagai arsip?""Saya mo-hon maaf, Non." Sherly terdengar putus asa.""Acaranya sebentar lagi! Aduh ....""Kenapa tidak ka
POV ArgaPagi ini aku sudah siap dengan pakaian yang rapi. Jariku masih sibuk mengetik sebuah pesan sambil menunggu jemputan. Tak butuh waktu lama, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah kemudian berhenti di depan pintu. "Silakan masuk Tuan!""Terima kasih, Pak Iwan." Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju mobil."Sama-sama, Pak. Pesawat akan berangkat sejam lagi. Kita masih memiliki waktu untuk boarding pass." Aku mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Selama dua hari Luna pergi dari rumah, aku sangat gelisah. Selalu memikirkan keadaannya dan bagaimana dia menghabiskan harinya di sana. Mobil memasuki Bandara kemudian berhenti. Setelah penerbangan dari Surabaya ke Jakarta sekitar satu setengah jam lebih, kami pun tiba. Kami langsung menuju mobil hitam yang menunggu kami. Mobil hitam tersebut sudah kami pesan sebelumnya. Pak Iwan mengendarai mobil dan membawaku ke hotel, tempat Luna menginap. "Tuan, silakan! Di sini kamarnya!" Andry menunggu kami dan menunjukkan kamar Luna. "
POV Arga"Bi Minah, lihat Non Luna, Gak?" Dadaku memompa tidak menentu sambil menuruni anak tangga. "Maaf, Tuan, saya hanya melihatnya pagi tadi. Dia sangat rapi, mungkin dia pergi kerja ke kantor!" "Bi Minah tidak melihatnya membawa koper?""Koper! Tidak Tuan. Dia tidak membawa apa-apa, Tuan. Aku hanya melihatnya berpakaian rapi saja seperti biasa." "Dia mengatakan apa-apa sebelum pergi?""Tidak, Tuan. Ada apa sebenarnya Tuan?"Bi Minah terlihat bingung, tidak mengerti dengan pertanyaanku. Apa Luna pergi tanpa sepengetahuan Bi Minah?Argh!Oh, aku ingat Pak Yanto. Dia pasti melihat Luna. Aku bergegas keluar dan memanggil Pak Yanto agar segera mendekat padaku."Pak, lihat Non Luna keluar?" "Iya, Pak. Pagi tadi, ia keluar seperti biasanya.""Pak Yanto tidak melihat Non Luna membawa koper?" "Saya tidak memperhatikannya, Pak. Soalnya Non Luna menyuruh taksi masuk ke dalam dan saya tidak melihat jelas saat dia masuk ke dalam taksi.""Argh! Kenapa kalian tidak bisa membantu! Info ap
POV Luna"Arga, semua tamu undangan telah hadir. Apakah sebaiknya kita duduk dulu? Setelah itu, baru kita pergi." Aku berbisik pelan ke Arga dengan harapan dia mau menghentikan langkahnya dan mengikuti saranku. Aku tahu seperti apa temperamen Arga. Kalau dia sudah bertekad dan memutuskan sesuatu, ia tidak akan pernah menarik lagi apa yang telah ia katakan sebelumnya. "Pa-k Arga, mohon maaf atas kelalaian saya karena tidak memberi peringatan ke pasangan saya sebelumnya. Saya akan melakukan apapun yang anda minta untuk aku lakukan terhadap wanita itu."Air muka Pak Peter berubah pucat. Ia sangat gelisah, bagaimana meyakinkan Arga agar mendengarnya. Aku juga kasihan melihatnya yang entah seperti apa acara ini akan berlangsung. Ternyata tujuan utama pelaksanaan acara ini untuk menarik banyak investor yang akan bekerjasama dengan mereka. Itulah mengapa, Pak Peter sudah tidak mempertimbangkan lagi image-nya di depan tamu undangan yang hadir dengan memohon kepada Arga.Arga merupakan sala
POV LunaDi saat kami tiba, beberapa mobil sudah terparkir. Kami membuka pintu mobil kemudian keluar."Ayo!" Arga mengulurkan tangannya padaku. Aku pun meraihnya."Kok, tanganmu berkeringat? Kau gugup?""Iya, kan ini pertama kali bagiku!""Selamat datang, Tuan!" Kami disambut oleh seseorang yang ditugaskan untuk menerima tamu. "Mari ikuti saya, Tuan dan Nyonya, aku akan menunjukkan tempat duduk untuk kalian."Kami pun mengikutinya. Sepertinya acaranya belum dimulai karena para tamu mulai berdatangan. Beberapa wajah tidak aku kenal sama sekali."Bapak dan Ibu, silakan duduk di sini!" Tempat kami Sepertinya sangat istimewa di bagian depan sekali. Aku melirik ke kanan dan kiri, beberapa wajah yang tidak asing. Mereka ialah dewan direksi yang baru saja melakukan rapat bersama Arga siang tadi. Beberapa pasang mata memerhatikan kami. Semua berdiri menyalami kami. Sepertinya sekitar kurang lebih lima belas menit lagi akan dimulai bila mengikuti waktu sesuai undangan. "Baik, terima kasih.
POV Luna"Kau mau ikut denganku ke perusahaan?" Aku pun mengangguk.Arga telah rapi dengan kemeja dan celananya. Ia akan segera keluar dari kamar. Ia mengajakku ke kantornya. Karena aku tidak memiliki kesibukan maka aku memutuskan mengikutinya. "Kalau kau tidak betah, kau boleh berhenti saja dari pekerjaanmu." Arga berbicara padaku sambil menyetir mobil.Kalau dipikir-pikir lagi, saran Arga memang benar. Sepertinya, aku tidak mungkin akan bertahan lama lagi bekerja di pekerjaanku sekarang."Kau kenapa? Kau masih diam dari tadi," tanyanya lagi."Tidak, kok. Aku suka dengan pekerjaan ini.""Tapi, lingkungannya tidak membuatmu nyaman." "Hanya masalah kecil, kok. Aku pasti bisa melewatinya.""Kau bisa mencari tempat lain, kalau kau ingin ...." Arga berbicara lagi setelah keheningan beberapa lama."Aku sudah mencoba, tidak ada lagi. Di daerah ini kan hanya dua saja. Yang satu, sedang tidak membuka lowongan pekerjaan.""Atau aku membantumu berbicara dengan direkturnya?""Arga!" tatapku pa
Dia terlihat sangat jauh berbeda, tidak terlihat seperti anak gadis yang kukenal dulu. Bila ditaksir, dress yang dipakainya berkisar jutaan, tidak kurang sedikit pun nilainya dari mata siapa saja yang melihat."Rita!" "Panggil aku Nyonya Peter!" ucapnya sambil berkacak pinggang. "Dia Tuan Peter, calon suamiku dan juga salah seorang pemilik saham di perusahaan ini."Dahiku berkerut saat mendengar ucapannya. "Kau yang bernama Luna?""Iya, benar, Tuan." Lelaki itu menatapku dengan tatapan penuh hasrat. "Saya banyak mendengar tentangmu dari Rita!" Aku sedikit merinding ditatap seperti itu dan matanya masih terpaku menatapku. Matanya tidak berkedip sedikit pun. Aku tidak berani menatap padanya, aku mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku sudah menduga bahwa Rita telah membicarakan sesuatu yang buruk tentangku. Mungkin dibumbui dengan cerita-cerita fiksi buatannya agar terdengar dramatis.Ia dari dulu tidak pernah suka padaku, bahkan tidak menganggapku sebagai kakak atau apapun namanya.
POV Luna"Selamat sore, Tuan. Tadi, ada seorang wanita yang mencari Non Luna." Pak Yanto mendatangi kami ketika Arga akan memarkirkan mobil.Aku saling pandang dengan Arga karena bingung. Kalau wanita yang dimaksud adalah salah seorang klien di perusahaan Arga, mungkin Pak Iwan yang akan menghubungi Arga. Namun, Wanita tersebut mencariku."Bapak tidak mempersilakan dia untuk masuk dulu?""Dia tidak mau, Non. Setelah aku bilang Non Luna masih kerja, dia langsung pergi.""Apakah ada yang ingin dia sampaikan, Pak?""Sepertinya, tidak ada, Non.""Pak Yanto ingat ciri-cirinya seperti apa?""Rambutnya ikal, tingginya sebahu, dan kulitnya kuning langsat, dan mungkin usianya sekitar 20-an."Arga menoleh padaku dan mengucapkan, "Apakah mungkin itu Rita?"Dari ciri-ciri yang disebutkan oleh Pak Yanto, Rita yang sangat memenuhi. "Apakah Pak Yanto lihat tanda di keningnya?""Oh, iya. Aku baru ingat! Ada tanda bintil hitam.""Baik, Pak. Terima kasih.""Sama-sama, Non."Aku hampir saja tidak mengi
POV Arga"Dasar wanita jalang tidak tahu malu! Kau memanggil tuan ini dengan menyebut namanya. Apakah kau tidak tahu tata krama?" Mataku melirik sekilas ke mejanya. Dia yang tadi mengenalkan diri dengan nama Celine. "Dasar wanita jalang! Kau memang wanita bermuka tebal. Hanya karena kau membaca nama yang tersemat di dadanya, kau seolah mengenalnya untuk menarik perhatiannya!" "Kau memang pelacur yang berpengalaman!"Tiba-tiba bunyi tamparan keras melekat ke pipi wanita di depanku. Kalau aku tidak salah dialah yang bernama Lusi. Aku masih mengingatnya ketika dia mengejek Luna."Aku punya nama. Apakah kau tidak tahu membaca papan nama yang ada di meja kerjaku?" Luna menatapnya tajam. Bibirnya bergetar. Mataku membulat saat melihat Luna yang cukup berani menampar pipi wanita di sampingnya."Kau ... Wanita jalang! Berani sekali menamparku. Apa kau bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini?" Wanita itu histeris. Matanya seakan melompat dari tempatnya.Saat tangannya akan mendarat di pipi L