Baru saja Sarita berniat mengangkat kepalanya dan menoleh melihat apakah benar suara itu pemilik hatinya. Dua bola mata Sarita membulat sempurna, sosok Sagara telah berdiri tegak di belakangnya dengan pakaian casual hanya menggunakan kaos hitam dan celana pendek. "Apa kabar, Sarita?"*Kak Saga!""Sejak kapan panggilan itu berubah, Sari?" tanya Sagara langsung tanpa disaring lebih dulu. Sarita seketika menunduk, wajahnya bersemu merah. Jelas terlihat semburat merah merambat di kedua pipi, hal ini membuat Sagara tersenyum tipis. Ujung ibu jarinya terulur menyentuh dagu runcing milik Sarita. Perlahan kepala Sagara mendekat lalu melabuhkan sebuah ciuman lembut pada bibir nude yang begitu menggoda. Menerima sentuhan yang begitu lembut, reflek ujung jari kaki wanita itu berjinjit dan meminta lebih. Sagara terhenyak, pesona Sarita memang sulit ditolak. Namun, Sagara sadar semua butuh proses dan kini dia yakin akan rasa yang selama ini begitu menggebu hingga hasratnya menggelora. Perlahan
Sarita berdiri dari duduknya, wanita itu tengadah menatap ke langit. Malam yang penuh bintang berharap hati perempuan itu juga dipenuhi oleh bintang yang bersinar. Sagara berdiri dan memeluk tubuh Sarita dari belakang, "Selama ini aku sudah menahannya, Sari. Aku tidak minta lebih, cukup kamu berdiri di sisiku selalu!"Sarita menggeliat mencoba melepaskan pelukan Sagara. Jantung perempuan itu sudah berpacu dengan denting jarum jam yang melingkar di pergelangannya. "Jangan banyak gerak jika tidak ingin aku terkam malam ini juga!" Sagara berkata lirih di cuping kanan Sarita, membuat wanita itu bergidik. Hening, keduanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, Sarita masih tidak percaya dengan segala ucapan pria yang saat ini mendekapnya. Dalam otaknya masih dipenuhi tanya mengenai beberapa hal yang tidak dia tahu. Sarita mengusap punggung Sagara yang berada di perutnya dan berkata, "Sejak kapan rasa itu menguasai jiwamu, Saga?"Sagara terdiam, bibirnya menghembuskan napas lembut p
Sarita masih diam berdiri di ambang pintu, meski aroma masakan khas milik Bagaskara begitu menggugah nafsu makannya dia kekeh berdiri. Alifian menatap sendu dan penuh harap pada bundanya. Namun, sorot mata yang kecewa dan luka mampu ditangkap pria kecil itu. "Sudah siap, segera berangkat agar tidak terlambat!" Alifian segera meraih kotak bekalnya lalu meraih tangan ayah kandungnya dan mencium punggung tangan itu takzim. Setelahnya Kaki kecil itu mulai melangkah mengikis jarak dengan bundanya. "Mari kita berangkat, Bun!"Sarita berbalik badan mengikuti langkah putranya. Namun, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal oleh Bagaskara, "Ijinkan aku kembali merajut kasih denganmu, Sarita!" pinta Bagaskara. Untuk sesaat Sarita terpaku, hatinya yang dulu selalu berdebar mana kala kulitnya bersentuhan dengan kulit mantan suaminya kini musnah. Rasa itu tidak hadir, bahkan berubah muak. Setelah menguasai lagi rada enek, wanita itu menghempas cekalan tangan Bagaskara dam berbalik menatap tajam
Setelah mengantar putranya dan menatap punggung Alifian hingga anak tersebut menghilang di balik pagar, Sarita segera melajukan kendaraan roda empat menuju ke butik. Dengan santai dia mengemudikan mobilnya hingga butuh waktu cukup lama untuk sampai di butik miliknya. Kedua bola matanya membulat kala di dapati sebuah mobil berplat khusus, dia begitu hapal akan nopol yang tertera. "Mungkinkah Anne datang? Rasanya tidak mungkin, apa juga yang dia bicarakan!"Langkah Sarita sedikit meragu tetapi akhirnya dia pun harus memberanikan diri menghadapi mantan mertuanya itu. Dengan langkah pasti wanita itu mulai mengikis jaraknya dengan daun pintu utama butik. Perlahan tangannya mendorong pintu utama dan segera mengedarkan pandangannya, rupanya wanita tua itu sedang berdiri di sela gaun pengantin limited edison. "Aoa yang sedang wanita itu lakukan di sini, Kumala?""Awalnya tadi sempat menanyakan keberadaan Nona, kemudian bertanya lagi letak gaun engantin yang lemited. Jadi aku jawab sesuai ke
Bagaskara turun dari mobil, langkahnya santai tetapi ketik melewati mobil khusus milik Ni Luh kedua matanya membeliak tidak percaya. Maka dengan sedikit berlari di menuju ke dalam butik. Niatnya ingin melakukan pendekatan pada Sarita agar pernikahannya bisa batal, tetapi sosok dua wanita beda usia sudah ada di dalam dan sedang bersitegang. "Sial, sepertinya usahaku akan gagal hari ini!"Dengan tergesa Bagaskara langsung menawarkan bantuan untuk mengantar kedua wanita pulang dengan alasan adanya rapat. Ni Luh terlihat mengulum senyum malu tetapi berbeda dengan Bagaskara, "Sialan pakai senyum palsu lagi. Enek laaah!""Aku antar mereka pulang dulu, Sarita. Jangan keluar dari butik, aku ada perlu!" kata Bagaskara lalu suaranya menurun lebih rendah lagi, "Aku merindukan waktu berdua denganmu, jadi tunggu!"Sarita langsung melotot tidak percaya dengan pendengarannya. Wanita itu langsung mendengus lirih. "Kabari aku segera jika pria itu datang, Kumala!""Baik, Nona. Apa perlu aku buatkan
Sementara di sebuah ruang kerja, terlihat Sagara mulai resah dan galau. Jiwanya seakan sedang merasakan ingin sesegera mungkin menyelesaikan semua pekerjannya hari itu juga. "Ada apa dengan jiwaku ini?"Lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke sisi jendela. Perlahan dibukanya jendela itu lalu menatap pada padatnya jalan utama kota. "Mengapa aku begitu ingin menemuinya? Inikah yang namanya rindu?"Sagara masih melihat pada jalan, sesekali bibirnya melengkung tipis bahkan sedikit tergelak. Sepertinya ada sesuatu yang menarik hingga mampu membuatnya tertawa lirih. "Badut itu begitu kekeh memperjuangkan wanitanya. Mungkinkah ...."Setelah puas menatap jalan utama kota, Sagara menutup kembali jendela itu lalu duduk menghadap layar Laptop yang sejak tadi dibiarkan menyala. Tangannya lincah menekan tuts demi tuts untuk membalas email yang masuk Bukan hanya Email saja dia juga harus mengecek pengeluaran dan pemasukan dari perusahaan tersebut. Saat sedang membalas beberapa pe
Sagara masih terdiam di depan pintu ruang kerja Sarita. Debar jantungnya makin kencang membuat lelaki itu meraup kasar wajah tampannya. Jiwanya menjadi gelisah, tetapi tujuannya kian menguat. "Aku harus bisa!"Perlahan gagang pintu ditarik ke bawah oleh Sagara, pandangannya langsung tertuju pada wajah ayu yang menunduk terfokus pada lembaran kertas dan pensil. "Apa aku mengganggumu, Sari?""Tidak, tetapi silakan duduk dulu. Aku mau melanjutkan desain ini, tinggal puasan terakhir!""Jika kamu masih sibuk, sebaiknya lain kali saja!" Sagara mendengus lirih, wajahnya menampilkan kekecewaan atas sambutan wanita yang berhasil membuat jantungnya tidak sehat. Mendengar dengusan kasar sepupunya itu, akhirnya kepala Sarita terangkat. Saat itu juga ditariknya bibir merah muda untuk mengurangi kekecewaan Sagara. Sarita beranjak dari duduknya dan berjalan mengikis jarak keduanya. Kaki jenjang yang indah membuat fokus Sagara terpecah, dalam hati pria itu mengumpat atas keindahan yang terpampang n
Keduanya segera berjalan menuju ke tempat parkir. Sagara terlihat begitu santai, setelah sampai di tempat parkir Sagara membukakan pintu mobil. "Silakan!*Sarita segera masuk dan duduk di bangku samping kemudi, setelah membuat wanitanya nyaman Sagara segera berjalan menuju ke bangku kemudi. Mobil mulai menyala mesinnya lalu gas diinjak perlahan. Mobil melaju meninggalkan butik Sarita. " Kamu ingin makan siang dimana, Sari?""Terserah, asal nikmat dan Alifian suka.""Kita ke hypermart saja bagaimana?""Makanan siap saji lagi kah, Saga? Itu tidak baik."Sagara berdecak lirih dan saat itu juga mendapat lirikan tajam dari Sarita, seketika membuat lelaki itu mendesah panjang. "Lalu kamu ingin makan dimana, kali ini biarkan aku menjadi sopir kalian!"Sarita terdiam, otaknya mulai memutar memory mengenai menu putranya akhir-akhir ini yang selalu dia dan Saga siapkan dengan menu instan. Maksud hati ibu satu anak itu ingin makanan sehat bagi putranya. "Bagaimana jika restaurant nusantara, Sa
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika