"Mas ini malem banget, lho. Emang Mbak Wenda ke mana? Masa perempuan malam-malam kelayapan?" ucapku pura-pura tak tahu dengan mulai ember memprovokasi.
Aku perlu mempengaruhi otak Mas Rayyan agar sedikit lebih pinter, dengan cara halus. Tak ada gunanya grasak-grusuk menembak ke intinya dengan mengatakan, kalau dia laki-laki bodoh yang sedang dikibulin sang istri.Aku ingin penderitaan yang Mbak Wenda dan Mas Revan alami sempurna. Salah langkah hanya akan menghancurkan rencana keseluruhan yang sudah kususun dengan rapi."Iya, dia tadi siang izin ke luar kota, Ri." Mas Rayyan masih memperlihatkan ekspresi panik."Lain kali Mas sebagai laki-laki jangan lembek sama istri. Masa iya istrinya pergi ke luar kota tanpa alasan jelas diizinin aja. Lah sekarang Mas sendiri yang repot.""Iya, Ri. Kalau bisa ceramahnya nanti saja. Kasian Wenda ini." Mas Rayyan mengucap terus terang.Argh! Gemes. Ingin sekali kupukul pria di depanku ini supaya mau mikir. Orang lagi ngasih tahu, malah dibilang ceramah."Huft! Ya, sudah tunggu Mas."Aku berbalik masuk ke dalam untuk berganti pakaian, karena saat Mas Rayyan datang tadi aku hanya memakai daster dan kerudung, yang kugantung dekat ruang tamu agar bisa dipakai saat darurat. Kututup pintu dan tak kusuruh pria itu masuk.Aku berjalan dengan bersungut-sungut. Harusnya aku tadi pura-pura khawatir pada Mbak Wenda, tapi rasa kesal ini membuat tak bisa menahan emosi. Ingin sekali kulampiaskan sekarang juga. Lebih lihat Mas Rayyan, yang otaknya bermasalah.Sampai di kamar, Mas Revan masih tertidur pulas. Obat tersebut pasti selain membuat halusinasi juga memberatkan kepalanya.Setelah memakai jaket kesayangan, aku keluar meninggalkan Mas Revan. Menemui Mas Rayyan yang sudah resah di bawah."Mas karena kita gak mungkin semobil berdua. Mas tetap pakai motor Mas sendiri. Aku ikut di belakang dengan mobilku," terang ku. Meski suami berselingkuh tak mungkin kubalas dengan bermudah-mudah bergaul dengan pria lain.Tapi kalo dilihat dari wajah polos dan sakit otaknya yang sudah akut, kok mustahil dia marah. Jangan-jangan malah dibelain?"Em itu, Ri." Mas Rayyan menggaruk kepala. Seperti enggan dan malu mengatakan maksudnya."Ya?" Mataku menyipit ke arahnya."Em, aku tak punya uang sama sekali. Gaji yang kudapat dari kerja serabutan juga sudah diminta semua sama Wenda. Aku bahkan sampe malu mau pinjem temen. Udah kebanyakan. Dan semua karena Wenda." Pria itu bicara polos.Aku mendesah."Ya Tuhan ... dan Mas pasrah aja gitu? Gak coba diskusi sama Mbak Wenda soal penghasilan dan utang-utang Mas?""Em, sudah. Ri. Tapi ...." Laki-laki di hadapanku seperti anak kecil. Sedikitpun dia tak memperlihatkan nada marah pada istrinya. "Wenda gak mau denger."Aku memutar bola mata malas. Kenapa tidak disunat lagi saja kalau gak bisa tegas jadi laki?"Ri. Sudah terlalu lama kita bicara. Aku Takur Wenda kenapa-kenapa." Mas Rayyan bicara hati-hati. Pasti takut aku tak mmeberinya uang untuk bensin.Aku memang kejam. Tapi tidak pada orang baik sepertinya. Kubuka tas yang kugendong. Mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dan menyodorkan padanya."Gak usah banyak-banyak, Ri. Lima puluh ribu juga cukup," ucapnya polos."Ah, sudah lah. Ambil saja!" Ku dorong uang itu dan berjalan ke arah mobil melaluinya.Aku jadi ikut kesal ada Mas Rayyan. Kenapa bisa ada orang selugu itu? Apa Mbak Wenda sudah memeletnya?____________Mobilku melaju mengikuti motor Mas Rayyan. Menembus pekatnya malam. Jika tanpa laki-laki itu pasti aku juga tak berani pergi. Dengan motor Ninjanya, Mas Rayyan terlihat gagah di depan sana. Dia juga bukan pria yang buruk rupa. Heran saja kenapa uang bisa membutakan Mbak Wenda.Kalau hanya soal uang, semua bisa diupayakan berdua. Seperti aku dan Mas Revan dulu. Namun, semua berkebalikan sekarang. Meski telah bisa dikata sukses, aku kembali jatuh ke titik nadir karena perselingkuhan Mas Revan.Kenapa tidak Mas Rayyan saja jodohku sejak dulu?Ah, mikir apa aku sih?Dan melihat dia memohon-mohon agar aku ikut, pasti demi Mbak Wenda agar perempuan itu nyaman naik mobilku saat pulang. Wanita itu membuatku sangat iri. Suaminya dan suamiku sama-sama mencintainya.Kasihan lelaki seperti Mas Rayyan. Dia tulus mencintai istrinya, tapi dibalas dengan pengkhianatan. Apa aku aja saja dia menjalankan rencanaku?Tapi bagaimana jika di balik sikap lugunya ternyata tahu hubungan Mbak Wenda dan Mas Revan, dan dia diam karena memanfaatkan itu? Jaman sekarang saudara kandung saja jadi pengkhianat, bagaimana saudara ipar?Oh, tidak!Kamu tidak boleh gegabah, Ri!___________Berjam-jam kami lalui menuju gunung Kidul. Hampir subuh kami tiba. Gila aja, aku berkorban demi selingkuhan suamiku. Begitu sampai, Mas Rayyan langsung menelepon Mbak Wenda untuk mengatakan lokasinya.Begitu kami bertemu, Mbak Wenda yang terlihat menyedihkan berlari ke arah kami."Ri ...!" serunya. Aku menyipitkan mata. Kenapa manggil namaku.Mas Rayyan tersenyum lega melihat sang istri. Namun, justru saat bertemu dia memelukku, bukan suaminya. Aneh wanita ini!"Ri, makasih, ya ....." Mbak Wenda menangis dalam pelukanku.Aku membalas pelukannya dengan enggan. Duh, ingin sekali kudorong kamu ke lembah Mbak. Kenapa dengan mudahnya kamu menusukku dari belakang?Tak terasa aku menangis dalam pelukannya, wanita yang kurindukan sedari kecil perhatiannya. Wanita yang dilahirkan dari rahim yang sama.Kami menangis saling berpelukan. Jika dia menangis lega setelah ketakutan, aku menangis karena perbuatannya menghancurkan rumah tanggaku.BersambungKami bertiga akhirnya pulang. Dengan Mbak Wenda naik mobil bersamaku. Sementara Mas Rayyan naik motor sendiri."Apa ini? Benyek-benyek." Mbak Wenda merasa ada yang tak nyaman, ketika pantatnya mendarat di kursi mobilku.Aku menyembunyikan senyum menahan tawa. Rasakan itu Mbak."Oh, Mbak .... itu saos super pedes. Belum sempet kubersihin tadi!" Aku berseru pura-pura menyesal.Tentu saja aku senang. Sengaja sebelum keluar menyusul Mbak Wenda, kuambil saos buat dibawa ke kafe dari box di garasi. Untung aku pilih pedas level dewa. Emang enak? Haha."Mana tembus lagi, Ri ... ke dalamanku. Ya ampun. Perih."Bagus semoga kena itu-mu juga Mbak! Barang murah dan busuk yang kamu jajakan pada suami orang."Lagian Mbak kenapa malam-malam gini pake rok sependek itu? Untung gak diculik dan diperkosa orang." Aku cari celah menyalahkannya. Lagian tukang selingkuh sepertinya bukannya justru senang diperkosa orang?"Em, kan niatnya gak sampai malam, Ri. Sebentar ketemuan temen trus pulang. Eh, malah te
"Udah Ri, jalan. Kita ke rumahmu. Oke?" Mbak Wenda menutup pintu mobil tanpa peduli pada suaminya yang berdiri seperti orang bodoh.Entah di mana hati mbakku itu? Suami sudah baik, datang jauh-jauh karena khawatir padanya, malah dibalas seperti itu."Oh, maaf Mbak. Aku banyak urusan, nih. Mau langsung ke kafe," elakku. Ya lah. Gawat dong kalau dia maksa ke rumah dan mendapati Mas Revan yang masih linglung."Huft!" Mbak Wenda meniup berat. "Ya udah kan gak papa, aku istirahat aja di rumahmu, Ri. Aku males ketemu laki-laki tak berguna itu.""Lho ... gak bisa dong, Mbak. Kan di rumah ada Mas Revan. Masa Mbak mau berduaan sama dia?""Lho emang kenapa?" tanya Mbak Wenda. "Kenapa?" Aku menyipitkan mata ke arah kakak perempuanku itu. Sebenarnya aku tahu, Mbak, kamu udah terbiasa wik-wik sama suamiku. Jadi bebas saja kalau mau berduaan tanpa aku. Tapi tidak lagi untuk sekarang. Semua sudah terbongkar dan aku tak akan membiarkanmu menikmati perzinahan kalian."Em, ya gak papa, kan. Ri? Emang
"Mas Revan?!" seruku saat ke luar mobil."Ya, kenapa, Ri? Kamu terkejut gitu? tanyanya dengan menyilang tangan di dada.Tenang, Ri. Jangan menunjukkan sikapmu seperti penjahat yang tertangkap basah."Mas baik-baik saja?" tanyaku dengan mata melebar."Maksudmu?" Pria itu mengangkat satu alisnya."Ya ... aku pikir, tadi malam Mas sedang gak sehat. Makanya aku pergi tanpa bangunin Mas," paparku sesantai mungkin. Jujur aku khawatir dia menemukan sesuatu setelah sadar. Tapi apa? Aku merasa sudah membuang semua jejak, termasuk membuang kantong sampah di dapur. Juga menghapus semua percakapan sekaligus riwayat panggilan ke nomor Mbak Wenda di ponsel Mas Revan."Aku baik-baik aja, Ri. Tapi aneh nih, badanku jadi pegel-pegel." Pria itu memijat-mijat tengkuknya."Kalian kenapa, sih? Ayok masuk dulu!" Mbak Wenda berjalan melalui kami."Ah, ohya. Aku bawa ini tadi buat sarapan kalian." Mas Revan mengambil bungkusan di kursi belakang dan mengangkatnya.Sementara Mbak Wenda yang sudah sampai pint
"Mas!" teriakku pada Mas Revan.Pria itu menoleh. Melepas tangan Mbak Wenda yang memelas terduduk di lantai. Mungkin baru sadar ada istrinya di sini.Pria itu gelagapan menatapku. "Em, ini ... Ri, kasian Mbak Wenda.""Mas harusnya gak ikut campur!" ucapku ketus.Mbak Wenda seketika menatapku dengan pandangan tak percaya. Heh! Mungkin dia kira aku akan menolongnya."Em, biarkan Mbak Wenda tanggung jawab atas perbuatannya." Kupegang lengan Mas Revan dengan ucapan lembut tapi memaksa. Yab, dia pasti terpaksa menurutiku karena takut istrinya ini curiga dan membongkar perselingkuhan mereka."Tap-" Ucapannya tertahan kala mataku menyipit."Jika pun ada yang membela, harusnya Mas Rayyan, bukan aku apalagi Mas Revan," sambungku, menarik lengannya menjauh."Ri ... kamu tega pada Mbakmu sendiri?!" Dua manik mata kakak perempuanku dipenuhi kaca-kaca. Menatap nyalang padaku. Duh, kasihan sekali. Dia pasti sangat marah padaku."Diam kamu jalang!" seru salah satu wanita dengan pakaian seksi. Dia ju
"Ada apa, Mas? Kenapa Mas Rayyan sepanik ini?" Biasanya pria itu wajahnya selalu santai, walau dihujat dan dimaki-maki istrinya sendiri. Bahkan saat kepalanya dibenturkan pun dia akan tetap stay cool jika yang melakukan sang istri.Namun, kali ini ada aura berbeda. Aku mencium bau masalah dari kedatangan Mas Rayyan. Mimik wajahnya terlalu kentara menampakkan kecemasan."Lihatlah, Ri." Mas Rayyan mengucap lesu sambil menyodorkan benda pipih di tangan. Di sana tampak gambar Mbak Wenda tengah melayani seorang pria."Apa ini? Mas dapat dari mana?" Meski sudah tahu wanita itu berselingkuh dengan Mas Revan, tetap saja hatiku sakit melihat mereka berdua berada dalam satu ranjang. Mata ini memanas. Airmata sudah berjejalan ingin ke luar. Namun, kutahan karena malu pada Mas Rayyan."Sepertinya mereka menjalin hubungan di belakang kita, Ri." Ucapan itu terdengar lemah. Apa dia berputus asa?Kalau saja kamu tahu, Mas. Aku sudah mencium aroma perselingkuhan mereka sejak kemarin-kemarin. Bedanya,
Kudorong tubuh Doni menjauh. Karena sangat kesal, kuberi dia tendangan berputar yang kupelajari saat latihan silat dulu, hingga tubuhnya terjungkang ke belakang."Au!"Doni mengaduh dan meringis kesakitan. Dipeganginya kepala bagian belakang yang terhantup dinding.Rasakan! Masih untung tidak kutendang alat vital dan bukan pusakanya itu yang kuhancurkan. Cowok buaya sepertinya perlu diberi pelajaran. Apa dia pikir aku ini perempuan bucin, yang kalau dicium akan langsung jatuh cinta padanya karena meleleh baper?"Kura*g aj*r kamu, Don! Maen sosor aja!" Aku melotot marah. "Sekali lagi kamu ulangi aku pecat kamu!" Telunjukku sempat mengarah pada pria yang berusia dua puluh tiga tahun itu sebelum ke luar mengejar Mas Rayyan. Meski aku tak peduli anggapannya tentangku aku perlu meluruskan bahwa aku adalah perempuan baik-baik, dan Mas Revan selingkuh bukan karena sifat burukku yang juga suka selingkuh.Aku juga perlu tahu, kenapa dia kembali menemuiku, setelah aku pergi lebih dulu mening
Dari jendela ruang kerja, aku bisa menatap motor milik Mas Rayyan menjauh dari area Kafe. Kuusap beberapa kali dada. Ada getaran aneh yang tak kumengerti sebabnya.Mungkin ini alasan kenapa pria dan wanita tidak boleh terlalu dekat dalam agama yang kuanut. Karena degup-degup seperti ini seringkali muncul dan membawa banyak spekulasi.Untung saja aku gak mudah jatuh cinta, jadi bisa kutepis perasaan aneh saat dekat dengan pria. Mas Rayyan yang kalem atau pun Doni yang super ngeselin.Sepertinya aku juga perlu menjauh dan menjaga jarak. Selain agar kejadian Doni yang main sosor tidak terjadi, juga agar aku bisa menjaga hati. Aku sudah berhasil membuat aturan pada Doni, tapi bagaimana dengan Mas Rayyan? Mana mungkin rencana yang sudah kubuat sedemikian rupa bisa berhasil tanpanya?Kuketuk-ketukkan telunjuk ke pipi. Berpikir. Jangan sampai kehormatan seorang Ria jatuh lantaran hubungan busuk antara pria dan wanita tak halal. Lagi pula aku belum bisa percaya pada siapa pun di dunia ini. Ak
"Eh, mau ngapain kamu?" ketusku pada Doni yang sudah membuka pintu dan menaikkan sebelah kakinya ke mobilku. Sementara aku menatap intens dari kursi kemudi, pada pria yang mengenakan kemeja tergelung hingga siku. Duh, idaman banget emang penampilan Doni. Kalau aja aku bukan istri orang dan dia tak lebih muda dariku, pasti sejak lama kuterima cintanya."Loh bukannya Mbak. Eh, maksudku Bos minta aku ikut?" Doni menautkan dua alisnya dengan tatapan protes.Aku mendecih. Membuang pandang sebentar lalu kembali menatapnya dengan sinis. "Hiss. Ikut sih ikut. Tapi pakai mobil sendiri. Aku gak mau ya dimodusin sama brondong kaya kamu." Seketika Doni tersenyum. Entah, apa maksudnya? Sampai aku sadar kata brondong itu menyatakan dia pria muda yang menarik untuk wanita yang lebih dewasa dari dia. Kini ia menyelidik ke wajahku hingga kikuk dan kembali menatap ke depan.Deuh, jangan sampai ada warna merah di pipi ini. Hal itu akan membuat Doni makin besar kepala."Ok-key ...." Doni menutup pint
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba