Dari jendela ruang kerja, aku bisa menatap motor milik Mas Rayyan menjauh dari area Kafe. Kuusap beberapa kali dada. Ada getaran aneh yang tak kumengerti sebabnya.Mungkin ini alasan kenapa pria dan wanita tidak boleh terlalu dekat dalam agama yang kuanut. Karena degup-degup seperti ini seringkali muncul dan membawa banyak spekulasi.Untung saja aku gak mudah jatuh cinta, jadi bisa kutepis perasaan aneh saat dekat dengan pria. Mas Rayyan yang kalem atau pun Doni yang super ngeselin.Sepertinya aku juga perlu menjauh dan menjaga jarak. Selain agar kejadian Doni yang main sosor tidak terjadi, juga agar aku bisa menjaga hati. Aku sudah berhasil membuat aturan pada Doni, tapi bagaimana dengan Mas Rayyan? Mana mungkin rencana yang sudah kubuat sedemikian rupa bisa berhasil tanpanya?Kuketuk-ketukkan telunjuk ke pipi. Berpikir. Jangan sampai kehormatan seorang Ria jatuh lantaran hubungan busuk antara pria dan wanita tak halal. Lagi pula aku belum bisa percaya pada siapa pun di dunia ini. Ak
"Eh, mau ngapain kamu?" ketusku pada Doni yang sudah membuka pintu dan menaikkan sebelah kakinya ke mobilku. Sementara aku menatap intens dari kursi kemudi, pada pria yang mengenakan kemeja tergelung hingga siku. Duh, idaman banget emang penampilan Doni. Kalau aja aku bukan istri orang dan dia tak lebih muda dariku, pasti sejak lama kuterima cintanya."Loh bukannya Mbak. Eh, maksudku Bos minta aku ikut?" Doni menautkan dua alisnya dengan tatapan protes.Aku mendecih. Membuang pandang sebentar lalu kembali menatapnya dengan sinis. "Hiss. Ikut sih ikut. Tapi pakai mobil sendiri. Aku gak mau ya dimodusin sama brondong kaya kamu." Seketika Doni tersenyum. Entah, apa maksudnya? Sampai aku sadar kata brondong itu menyatakan dia pria muda yang menarik untuk wanita yang lebih dewasa dari dia. Kini ia menyelidik ke wajahku hingga kikuk dan kembali menatap ke depan.Deuh, jangan sampai ada warna merah di pipi ini. Hal itu akan membuat Doni makin besar kepala."Ok-key ...." Doni menutup pint
"Ah, bukan apa-apa, Mas." Aku mulai tak bisa mengendalikan sikapku. Hingga memilih berlari ke luar membawa map tersebut. "Maaf aku buru-buru!" Aku berjalan cepat ke luar."Sayang, tunggu!" seru Mas Revan yang ternyata mengikuti. Kuharap Doni sudah berdiri di depan pintu menyambut map ini.Suara bel berbunyi. Syukurlah! Pasti itu Doni. Pria itu memang sangat bisa diandalkan.Aku berjalan setengah berlari ke arah pintu. Jangan sampai Mas Revan menangkapku dan mengambil benda di tangan yang menjadi penentu masa depan kami.Syukurlah tanganku mencapai pintu lebih dulu. Aku lega sekali. Namun, bukannya rasa lega yang kudapat. Tapi bertambah kaget setengah mati!Mbak Wenda berdiri di depan pintu dengan tatapan marah."Hallo, Ri. Akhirnya ketemu juga kita. Kalau kamu sudah tahu mengenai perselingkuhan kami. Kenapa masih pura-pura?" Tangan wanita yang mengenakan tangtop dan jeans ketat itu menyilang di dada.Sementara saat melihat ke belakang Mas Revan sudah berdiri tak jauh dariku. Ia pun me
Doni menarik lenganku menuju mobilnya. Seketika aku mendongak menatap pria yang mengenakan kemeja berwarna marun tersebut dengan mata memicing, sebagai bentuk protes."Udah, Mbak! Ikut aja. Dan lagi jangan paksa aku manggil Bos di luar Kafe." Pemuda itu seolah tahu semua yang kupikirkan."Apa?" Aku terkejut dengan pernyataannya.Doni menaikkan sebelah bibir. Diikuti senyum masam melirik pada Mas Revan dan Mbak Wenda yang bertengkar. Namun, masih sempat melirik kami. Dari ekspresi Doni aku paham semua maksdunya.Mungkin maksud manajerku itu adalah membuat Mas Revan cemburu, atau hendak menjagaku di dekatnya. Karena bisa saja jika berangkat dengan mobil sendiri, Mas Revan nekad mengejar lantaran tak terima aku bilang akan mengurus surat cerai.Apalagi yang bisa kuharapkan dari pria seperti Mas Revan? Memaafkan dan memberinya kesempatan? Tidak. Lakukan apa pun, asal jangan selingkuh. Aku tak akan pernah memaafkannya. Lantaran semua orang juga tahu, bahwa selingkuh itu seperti candu. Memb
"Begini, Ri. Jagan sampai karena kedekatanmu dengan pria lain, membuat buaya buntung mendapat angin segar. Menjadikan hubunganmu sebagai celah untuk menyerangmu balik." Mega bicara serius. Yah, kapan juga dia gak serius? Dia kan orang yang bekerja di bidang hukum."Maksudnya?" tanyaku keheranan."Di pengadilan itu yang bicara adalah bukti. Bukan kejujuran seseorang." Mega menjawab sambil mengenakan kembali kacamatanya. Untuk kemudian menatap deretan aksara di atas kertas yang kuserahkan. Aku mulai paham ke mana arah pembicaraan wanita yang selalu tampak rapi tersebut."His. Tapi itu gak masuk akal, Ga. Aku dan Doni tak punya hubungan lain. Semua hanya sebatas kerja," kilahku. Lagian mana mungkin aku jatuh cinta pada Doni. Tak akan pernah. Apalagi sampai menjalin hubungan, kalau itu terjadi, pasti aku sudah kehilangan kewarasan."Ya, sudah lah. Tadinya aku gak mau ikut campur urusanmu. Tapi ternyata kamu berniat menceraikan suamimu. Jadi aku pikir, salah jika aku diam saja gak membahas
"Hamil?!" Mataku melebar. Apa ini cuma akal-akalan Mbak Wenda untuk menjegal rencana Mas Rayyan untuk menceraikannya."Hem? Nggak mungkin Mas." Aku menggeleng. Mementahkan apa yang Mas Rayyan katakan.Pria itu masih tampak frustasi. Beberapa kali mengacak rambut. Lalu mengusap wajahnya. Baru ini aku melihat Mas Rayyan seperti itu. Lelaki yang bawaannya lembut dan tenang itu, sekarang sedang sangat gelisah. Mungkin karena ini bukan lagi hanya menyangkut pernikahan tapi juga bayi yang sudah lama ditunggunya."Jadi ... Mas gak jadi ceraikan Mbak Wenda?" Dia tampak ragu. Duh, kamu sangat bodoh kalau bayi itu alasan kalian batal nikah Mas. "Aku ....""Ceraikan, Mas! Wanita seperti dia tidak bisa diberi hati. Aku bahkan tak yakin kalau anak dalam kandungannya anaknya Mas Rayyan. Lalu kenapa Mas bisa ambil kesimpulan itu anak Mas?" Kutekan kakak iparku itu dengan pernyataan-pernyataan yang membuatnya mau membuka pikiran.Sudah jelas sekali, Mbak Wenda itu wanita jalang. Tidur bukan hanya d
Bayangan itu semakin mendekat, diikuti langkah kaki yang membuat buluku meremang. Takut. Tenang, Ri. Berpikir jernih. Jangan biarkan rasa frustasi dan takut aku membuatku tak bisa melawannya. Jalan satu-satunya bagi orang terdesak, adalah melawan penjahatnya. Aku terhenyak ketika sebuah tangan memegang pundak. Sontak tubuhku berbalik. Tanpa melihat siapa, kuayunkan kaki mendorong tubuhnya terjungkal di anak-anak tangga.'Dug!' Kepala orang itu menghantup dinding. Yang kemudian diikuti suara sakit."Auh!"Aku masih terpaku di tempat. Ingin berlari ke arahnya melihat siapa orang itu, tapi takut dia bawa senjata tajam. Akhirnya kuputuskan untuk naik ke atas. Memenggil satpam dari "Kamu gak papa?" Seorang pria berlari mendekati orang jahat itu. Tapi ... suaranya sangat kukenal.Akhirnya kunyalakan lampu untuk memastikan siapa yang datang dan dugaanku itu benar."Mas Rayyan?!" Mataku membeliak. Kenapa malam-malam dia ada di sini?Suara seseorang yang mengaduh kesakitan di bawah sana meng
"Apa Anda sudah menceraikan istri Anda?" tanya manajer Kafe. Dia tidak mengizinkanku pergi begitu saja. Kami harus bicara katanya."Begini Mas Doni. Ini sebenarnya urusan pribadi saya dan ...." Ucapanku terpotong. Doni menempelkan punggung ke kursi belakang. "Heh." Pria tampan itu menaikkan satu sudut bibir. Seolah meremehkan keputusanku yang menutup rapat kisah rumah tangga kami.Aku sudah pernah merasakan kejam dan fitnah banyak, bahkan dikhianati orang terdekat yang paling kupercayai di dunia ini. Tak ada kebaikan yang kudapat setelah mempercayai mereka. Justru mereka memanfaatkan keluguan dan kebaikanku.Begitu pun pemuda ini, mana bisa aku percaya padanya."Saya sebenarnya tidak tertarik pada urusan orang lain. Tapi pengecualian buat Mbak Ria." Doni menyilang tangan di dada. Entah, apa maksudnya? Aku memang menatap sesuatu yang berbeda dari tatapan pemuda pada wanita yang menjadi bosnya tersebut."Hem." Aku manggut-manggut. Menunjukan padanya, bahwa itu tak masalah bagiku."Ya.
Ayash meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jas koko yang ia kenakan. Sudah lebih dari tiga jam Fathan dan Hamidah pergi, tapi belum ada tanda-tanda keduanya akan pulang. Barusan Ayash menelepon Fathan, pria itu mengatakan bahwa kedua anaknya masih betah jalan-jalan menikmati suasana kota."Bagaimana Bi?" tanya Raudah pada Ayash."Fathan bilang mereka masih belum mau pulang terutama kedua anaknya," jawab Ayash."Oh ya sudah kalau begitu, mungkin mereka sedang ingin menghabiskan waktu dan mencoba sesuatu yang baru yang tidak mereka temui di Mesir," ucap Raudah sambil bangkit dan berjalan ke belakang guna membuatkan minuman untuk Ayash.Selang beberapa menit Raudah sudah kembali dan duduk di samping suaminya sambil meletakkan gelas di atas meja."Tidak usah khawatir, Bi. Toh mereka pergi bersama Ustadz Yusuf, jadi pasti aman dan baik-baik saja.""Iya juga, cuma Abi heran aja, mereka kok nggak mau diantar sama kita, ya?""Mungkin karena Fathan tahu bahwa kita punya kewajiban mengaja
"Jika anda menganggap ini hutang, maka kami akan mengembalikannya. Uang dibayar dengan uang, tidak ada perjanjian bayaran yang lainnya," jawab Ayash penuh penekanan. Pengasuh pondok pesantren Almujahid itu meradang karena Hendra mempermainkannya.Mendengar jawaban dari Ayash, Hendra sontak tertawa. Pria itu sepertinya sangat puas mendengarnya."Manis sekali Ustaz. Jadi anda akan tetap mempertahankan istri anda yang cantik itu dan rela kehilangan harta benda untuk mendapatkan uang sesuai jumlah yang tertera di sini " Hendra menunjuk surat tagihan yang dulu ia berikan pada Ayash."Tentu saja, bagaimana pun kehormatan pesantren dan kehormatan diri saya dipertaruhkan disini. Jadi setelah ini saya harap urusan kita selesai." Ayash mengeluarkan uang di dalam tasnya yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop lalu ia meletakkannya di hadapan Hendra.Sementara Hendra masih tersenyum menyeringai melihat benda yang disodorkan oleh Ayash."Bagaimana kalau saya tidak bisa menerima uang ini dan tetap m
"Eum ... ini ada tamu mencari Abi.""Tamu? Tamu siapa?""Dia bilang tidak boleh memberitahu dulu Abi. Pokoknya ini tamu dari jauh.""Oh, ya, baiklah. Abi akan segera pulang. Ini sedang dalam perjalanan." "Iya, Bi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon terputus. Ayash sedikit berpikir siapa tamu yang dimaksud oleh istrinya."Kita langsung pulang ke pesantren saja Ustaz, istri ana barusan menelepon katanya ada tamu yang sedang menunggu ana," ucap Ayash pada Ustaz Yusuf yang kali ini bertugas mengemudikan mobil."Baik Ustaz, awalnya juga kita tidak ada rencana mampir ke mana-mana 'kan" jawab Ustaz Yusuf."Iya juga, sih." Ayash terkekeh. Pikirannya sedikit kalut, pasalnya orang yang baru saja hendak dia temui dan bermaksud menyelesaikan permasalahan yang cukup menyita dan mengganggu pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ayash kira saat ini masalah dengan Hendra sudah selesai tapi nyatanya pria itu terlalu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Atau jangan-jangan sengaja men
Melihat pemandangan di hadapannya Ayash memalingkan wajahnya, ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat Gaza tahu siapa sebenarnya Gus Rofiq. Bagaimana kalau anak itu berpaling darinya. Ayash tidak ingin kehilangan Ghaza, walau bagaimana anak itu sudah dia urus sejak bayi. Bagaimana ia berusaha membagi waktu antara mengajar dan menjaga bayi itu. Ayash berusaha membagi waktunya untuk menghadirkan sosok Ayah dalam kehidupan Ghaza. Hingga anak itu seakan sudah menjadi bagian dari nafasnya.Ayash tersentak ketika Ghaza kembali ke dalam pangkuannya."Apa ana boleh pergi, Abi?" Ghaza mendongak menatap wajah Ayash"Sebentar lagi, ya, temani Abi di sini," ucap Ayash sambil mengelus kepala anak sambungnya. Ia mengerti bahwa Gus Rofiq tentu masih ingin bertemu dengan anaknya, makanya Ayash berusaha menahan Ghaza supaya tidak cepat pergi.Ghaza sendiri biasanya anteng ketika Gus Rofiq datang menjenguknya. Tapi entah apa yang terjadi, kali ini anak itu meminta izin untuk cepat pergi dari sana.
"Bude Atikah itu sedang sakit, kenapa Ghaza bertanya seperti itu?""Karena Bude Atikah memakai selimut, orang yang memakai selimut 'kan orang yang kedinginan." Ghaza yang menjawab dengan mimik lucu."Bude itu sakit demam, orang yang sedang demam itu menggigil dan kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas, jadi Bude harus ke selimut." Raudah mencoba menjelaskan karena sepertinya Ghaza belum mengerti tentang kondisi Bude Atikah."Sekarang Ghaza duduk disini, ya, jangan nakal. Berdoa supaya Bude cepet sembuh," lanjut Raudah meminta supaya Ghaza duduk di ruang tengah sementara dia pergi ke dapur membantu abdi dalam yang sedang membereskan dapur.Sementara Ghaza menurut apa yang diperintahkan oleh Uminya, anak itu mengangguk lalu duduk di sana. Hal inilah yang membuat Raudah selalu bersyukur memiliki anak penurut dan tidak pernah membantah.Itu tak lepas dari didikannya selama ini juga didikan Bude Atikah dan Abi Ayash yang selalu mengajari Ghaza dengan penuh kasih sayang. Lagi, Raudah m
"Sekali lagi terima kasih Ustadzah. Ayo Ghaza kita masuk." Setelah berterima kasih pada Ustadzah Nara, Ayash mengulurkan tangannya dan meminta Ghaza supaya masuk rumah."Umi di mana?" tanya Ghaza karena tidak melihat Uminya, biasa' ketika dia pulang maka yang pertama menyambutnya adalah Umminya."Umi sedang beres-beres di kamar, tunggu di sini, ya!" Ayash meminta Ghaza untuk duduk di ruang tengah, sementara ia kembali ke kamarnya dan mendapat Raudah sedang bersiap akan mandi."Umi mau mandi duluan,ya," kata Raudah seraya masuk ke kamar mandi. "Ah ya, siapa yang datang?" Wanita itu urung melangkah ke kamar mandi lalu menoleh ke arah suaminya."Ghaza bersama Ustadzah Nara, katanya anak itu bersikeras ingin pulang," jawab Ayash."Sekarang Ghaza-nya di mana?" Raudah menoleh lagi ke arah suaminya."Abi memintanya menunggu di ruang tengah," sahut Ayash enteng.Lalu tanpa sengaja Raudah melirik kancing jas koko Ayash yang tidak pas."Astagfirullah, Abi!" Mata Raudah terbelalak dan tanganny
Kemudian Raudah mengusap wajahnya yang berada dibalik cadar. Ia tidak mau terus larut dalam bayangan Gus Rofiq yang sudah tidak menjadi siapa-siapanya lagi, meskipun darah pria itu mengalir di tubuh anaknya tetapi tidak sepantasnya Raudah terus mengingat dia. Wanita itu berusaha menormalkan irama jantungnya sambil terus beristighfar dan berdzikir dalam hatinya. Raudah berharap Ayash akan segera datang untuk mengalihkan perhatiannya dari Gus Ubed."Apa Bude Atikah tertidur," tanya Ayash begitu sampai di depan orang wanita yang sangat ia sayangi itu.Kedatangan Ayash cukup mengagetkan Raudah, pasalnya ia masih menormalkan ingatannya terhadap pria yang baru saja ia lihat berjalan dari kejauhan."Sepertinya Mbak Atikah memang tertidur," jawab Raudah sambil melirik pada kakak iparnya."Afwan, jika lama menunggu. Di apotek sangat mengantri. Biar ana gendong saja," ucap Ayash sambil menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari apotek pada Raudah lalu meraih tubuh Atikah dan menggendongnya m
Melihat Masa LaluBeberapa tahun kemudian ...."Bude Atikah tadi pagi menelepon dan dia mengatakan kalau sedang tidak enak badan," ucap Raudah kepada Ayash yang baru saja pulang mengajar kelas pagi. Beberapa hari setelah mendapatkan surat tagihan dari Hendra wajah Ayash memang terlihat murung, pria itu lebih banyak diam."Oh ya, kebetulan tadi Abi tergesa-gesa masuk kelas jadi tidak sempet mampir ke kediaman Mbak atikah," jawab Ayash.Setelah patah hatinya, ia akhirnya memutuskan kembali ke Pesantren Pamannya dan memulai hidup baru dengan melupakan Salwa. Dia bahkan menikah dengan Raudah yang dulu adalah temannya di Mesir saat sama –sama study di sana. "Setelah ini disempatkan melihat beliau, kami juga belum pergi ke sana karena baru saja selesai membereskan rumah." Yang dimaksud kami oleh Raudah adalah dirinya dan Ghaza. Ghaza adalah putra sambung Ayash yang dibawa Raudah dengan pernikahan sebelumnya. Ayash sendiri sebelum ini juga sempat menikah, akan tetapi istrinya meninggal saa
Melihat pemuda yang baru saja menghalalkannya itu kesakitan, Salwa menjadi salah tingkah. Dia ingin mendekat dan mengurangi rasa sakit itu, tapi hatinya ragu. Akhirnya Salwa hanya berdiri dengan gerakan tangan yang tak menentu."Sakali lagi, saya minta maaf, Tuan. Sungguh, saya tidak sengaja." Salwa menangkupkan kedua tangannya.Elvis nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berbicara."Sepertinya sulit untuk dimaafkan.""Saya tidak sengaja. Salah Tuan sendiri main pegang tanpa permisi." Salwa agak meradang mendengar Elvis seakan menghukumnya karena ketidaksengajaan."Baiklah, jadi aku harus meminta izin dulu?""Eum ... nggak juga ... tapi ya .... " Salwa malah bicara gugup.Elvis berjalan mendekati Salwa yang terlihat semakin salah tingkah."Tu-tuan mau apa?" "Aku mau minta izin," ujar Elvis sambil terus mendekat dan perlahan tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu. Sementara Salwa semakin dalam menunduk. Ia mau melarang Elvis supaya jangan menyentuh pipinya tapi dia tahu ba