Dengan lesu Leo melangkah menuju ruang ganti. Ia sudah berusaha menemukan semangatnya ketika mandi air dingin selama hampir lima belas menit, berharap pikirannya akan kembali segar. Akan tetapi tak ada yang berubah dari semangatnya atau apa yang ia rasakan.
Masih kacau.
Hafalan!
Alya benar-benar mengatakannya, memintanya, dan bahkan sepertinya sudah marah duluan saat Leo menawarinya hal lain. Ya, mahar memang hak Alya. Ia bisa meminta apa saja, bahkan bulan jika perlu, tetapi Leo hanya bisa memberi sesuatu semampunya, dan apa yang mampu ia lakukan. Tak kurang dan tak lebih.
Jadi apakah semua mahar perempuan tidak logis dan berat begitu? Atau hanya Leo saja yang merasa demikian karena ia memang... katakanlah tidak memiliki kemampuan untuk menghafal. Lebih tepatnya ia sama sekali tidak terpikir tentang hal itu hingga Salma membahasnya.
Dan... hafalan itu... sepertinya sangat-sangat mustahil... untuk dilakukan, setidaknya bagi Leo. L
Laila membelai lengan serta dada sang suami, ia cukup percaya diri bahwa tindakan kecilnya itu mampu meredam kemarahannya. "Bang?" Omar melirik Laila sekilas lalu menyerahkan ponselnya kembali. "Abang tidak tahu apa yang dipikirkan Alya," keluh Omar. "Alya memikirkan akan seperti apa nanti pernikahannya dengan Leo." Omar cemberut, "Jangan membahasnya, Laila. Pernikahan itu tidak akan terjadi, setidaknya sebelum mereka berdua menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," tegurnya, kejengkelan itu tampak sangat jelas dari suaranya saja. Laila hanya memutar bola matanya, sambil menyeret sang suami duduk, masih ada beberapa puluh menit sebelum mereka berpisah. Omar akan pergi ke kantor sementara Laila akan mengunjungi Rara sebelum bergabung dengan ketiga buah hatinya di rumah mertuanya. "Bang, jangan terlalu keras sama Al, Alya udah dewasa, Bang. Dia udah punya pemikiran sendiri, Abang nggak bisa larang dia ini-
Suasana di ruangan konferensi, ruangan yang biasanya digunakan untuk meeting itu sunyi senyap ketika Alya dan Leo menginjakkan kaki di sana. Laki-laki yang mengaku sekretaris Omar mengantar dan membukakan pintu untuk mereka. Mempersilakan mereka masuk dan menunggu dengan sopan. Laki-laki yang memakai setelan jas rapi itu pergi setelah menawari keduanya minuman. Alya dan Leo kompak menjawab kopi, dan sang sekretaris pun berlalu dengan minuman pesanan mereka. Alya melangkah lebih dalam, sementara Leo mengekor di belakangnya. Bukannya ia takut, hanya saja tak nyaman berada di sana. Dan lagi,untuk apa Omar ingin menemuinya? Mereka tidak mekiliki bisnis apapun. Jadi apa masalahnya? Leo terus bertanya-tanya, pernyataan yang tak akan terjawab kecuali Omar membeberkan alasannya mengundangnya. "Apa Omar mengatakan sesuatu?" Leo bertanya santai, ia menarik kursi secara asal lalu menjatuhkan diri di atasnya. Alya tampak gugup sejak pertama
Bulu kudu Alya meremang bersamaan dengan berlangsungnya debat panas antara calon suaminya dan saudara-saudara sepupunya. Tanpa Alya sadari punggungnya basah oleh keringat dingin bahkan tangannya seolah-olah baru dicelupkan ke dalam bak berisi air dingin. Padahal kenyataannya, tangannya aman di dalam genggaman hangat Leo. "Bang.... " "Apa yang kamu katakan?" Suara Omar jauh sangat rendah mengancam. Laki-laki itu seperti singa jantan yang siap menunjukkan kejantanannya di hadapan lawannya. Alya mengalihkan pandang dari wajah Omar yang merah padam. Alya tahu benar, pembicaraan mereka tak akan mudah dan mulus, tetapi ia masih belum siap untuk menghadapi kemarahan Omar dan yang lain. "Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi dengarkan baik-baik. Memang benar, kamu telah menikah dan mungkin hidup bahagia dengan istri dan anak-anakmu," kata Leo santai, nadanya terdengar seperti ejekan di telinga Omar yang terlanjur tidak menyukai peragai Leo. Uc
Reno merasa Alya sedang marah atau setidaknya ada sesuatu yang menganggu pikiran bosnya itu. Ia yakin seratus persen.Sejak pertama kali memasuki kafe satu jam yang lalu, Alya terus bersembunyi di dalam kantornya. Bahkan tak ada permintaan tak masuk akal dan merepotkan seperti biasanya.Apa ada hubungannya dengan Bang Leo? pikirnya masih sibuk memikirkan Alya meski saat ini ia disibukkan dengan pesanan pelanggan yang berdatangan.Jam makan siang sudah dimulai. Kesibukan di kafe akan mulai lebih terasa dalam satu jam ke depan. Untuk saat ini, Reno dibantu oleh Mario hanya menyiapkan pesanan dua buah meja yang masing-masing diisi oleh seorang pelanggan. Total pengunjung yang datang ke kafe hingga detik itu baru sepuluh orang, sementara dua orang baru menunggu pesanan di sajikan, depalan yang lain hampir selesai dengan hidangan mereka."Kamu tahu apa yang terjadi sama mbak Alya?" Tanya Reno setenggah berbisik. Kali ini mereka hanya berdua saja ka
Leo sebenarnya tidak ingin datang ke kantor pagi itu, bahkan ia sudah meminta ijin kepada Haidar. Tetapi satu jam setelah Haidar menyetujui, laki-laki itu malah memintanya untuk datang ke kantor. Ada masalah penting yang hanya bisa diselesaikan olehnya.Sebenarnya Leo sudah curiga dengan sikap Haidar, tetapi ia tak menduga jika mereka akan menyerangnya, oke, bukan menyerang sebenarnya, tetapi apa yang mereka lakukan di ruangannya?Leo menaikkan alisnya saat pandangannya bertemu dengan Haidar. Haidar mendesah."Duduklah," kalimat perintah itu disampaikan oleh Omar. Suara laki-laki itu lebih tenang dari sebelumnya.Leo mengalihkan pandang dari Omar kepada Haidar yang kemudian mengangguk. Sambil mendesah, ia menuruti kemauan semua orang, ya, pastinya mereka semua ingin ia duduk di sana dan mendengarkan entah apa saja yang menganggu mereka. Entah itu ramalan, tuduhan atau apapun, sepertinya kali ini Leo harus mendengarnya hingga selesai. Ya,
Sore itu rumah kediaman orang tua Alya benar-benar tidak seperti biasanya. Sore yang biasanya diisi dengan obrolan ringan di ruang keluarga sambil menunggu makan malam disajikan oleh asisten rumah tangga, kali ini seperti restoran. Tidak mungkin lebih tepatnya hotel. Semua anggota keluarga Alya datang, mulai dari keluarga dari pihak ayah dan ibunya. Benar-benar sesak, apalagi anak-anak berlarian ke sana kemari sambil berteriak, entah apa yang membuat mereka begitu bertenaga. Padahal mereka sudah berlarian sepanjang hari. Hal yang Alya takutkan benar-benar terjadi. Keponakan-keponakannya itu nyaris mengacaukan semuanya. "Ya Allah!" keluh Laila yang mendengong, Islam sementara dua putra lainnya jatuh setelah menabrak seseorang yang membawa kue di dalam talam-talam bulat. Alya mendesah, seharusnya ia memang tidak memberitahu yang lain soal lamaran itu. Mereka, keponakan-keponakannya itu, belum kapok setelah mereka berhasil memecah
Assalamualaikum guys, Hai semua. Maaf ya, lama banget ya nunggu bab-bab selanjutnya. Well, sorry guys, been busy and yeah, got sidetrack here and there. So, maaf ya. Sesuai janji, buku pertama saya dan mungkin satu-satunya di GN ini tidak akan lebih dari 65 bab. Dan, setelah beberapa pertimbangan terutama setelah mendapat email teguran, xoxoxo... akhirnya saya memutuskan, let's end it here. Ya, jadi saya sudah memutuskan bahwa buku ini tamat sampai disini. Tapi jangan khawatir, yang berminat boleh cek buku saya di WP. Akun saya moonbhakushan. Xoxoxo. Promo nggak papa ya. Gimana-gimana? Ada pendapat soal cerita ini? Sejauh ini saya memang... well, cukup kecewa karena tidak mendapat respon yang baik, maksud saya, bahkan setelah hampir satu tahun, baru sekian dari user di GN yang mau mampir kesini. Ya, pardon, saya masih amatiran, so dont blame me for seeking attentions. Apalagi ini buku pertama dan harapannya bisa... you know...
Alya terpaku di tempatnya duduk, mamandang Caster yang tengah berteriak seperti orang kesurupan. Tidak. Seperti orang hilang akal. Apa ia sudah gila? Sebesar itukah rasa tidak sukanya kepada Leo hingga mau merusak kebahagian saudaranya sendiri. Alya merasa dunia berhenti berputar. Semua orang membeku. Duduk kaku di tempatnya masing-masing, menatap Caster horor. Tunggu apa yang dilakukan Caster di sana? Apa yang ia bicarakan? Bukan, kah, semua orang sudah sepakat? Leo sudah menandatangi surat kontrak itu, bukan? Atau ada yang tidak Alya ketahui? Apakah itu jebakan? Caster melempar sesuatu yang berbentuk seperti kertas foto ke udara. Kertas foto itu melayang-layang di udara sebelum berhamburan di depan matanya. Puluhan kertas itu berjatuhan tepat di depan matanya. Menampilkan sesosok laki-laki yang sudah sangat ia kenal dan seorang perempuan asing yang sedang bermesraan. "He is a cheating bastard !" Caster kembali be
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf