"Nah, gua, kan, udah bilang, kita ambil proyek kecil aja, lo dengerin gua sebenernya nggak, sih?" Haidar berkata dengan tegas. Terkesan marah.
Leo menarik napas santai, "Man, kapan kita berkembangnya kalau kita mulai dari duri ikan? Kita butuh tulang!" Jawab Leo sama tegasnya. Ia tak sepakat dengan Haidar yang selalu mengalah terhadap Omar Corp., seharusnya mereka bisa bersaing secara adil, seandainya saja Haidar bisa diajak bekerjasama.
"Gua nggak peduli duri ikan atau tulang! Yang kita butuhkan sekarang itu membangun image dulu!" Haidar bersi keras.
"And, duri ikan bisa buat image kita bagus?" Tanya Leo sarkas. "Kalau masalah utamanya pendanaan, kita bisa ajukan loan dulu ke bank,"
"Lo tahu gua nggak suka ngutang ke bank!"
"Tapi kita butuh, dan mereka bisa bantu!" protes Leo. "or we can ask money in advance!"
"Pokoknya gua nggak setuju, gua pikir sebaiknya kita ambil proyek renovasi
"Lan, kenapa nggak kamu ambil, sih?" Tanya Alya penasaran. "Aku yakin kamu bisa dapat lebih banyak di sana, Lan, dan jenjang karirnya bagus, sepupu aku bilang, kamu bisa dapat promosi kalau kerja kamu bagus," Alya sudah dua kali menceramahi Lana soal pekerjaan baru yang ditawarkan Hamza. "Nggak, Kak. Aku lebih nyaman disini, kerjaannya juga santai, aku bisa lebih fokus kuliah," Lana menyahut, ia tak mungkin mengatakan alasan yang sesungguhnya mengapa ia tak mau menerima tawaran Hamza. Laki-laki sialan itu setelah memaksanya untuk kembali ke apartemen, sekarang kembali mengabaikannya. Entah apa yang ada di kepala besarnya itu. Ah, mungkin hanya perasaan iba yang tersisa di hatinya. "Tapi di sini gajinya juga santai, Lan," sahut Alya berlogika. Lana tersenyum, "Makasih, Kak. Tapi Lana lebih senang kerja sama Kakak," ia berkata, meyakinkan Alya. Andai saja dia bisa berkata jujur, ia pasti akan memberitahu Alya bahwa bekerja kepada mantan adalah hal
Alya pikir hari itu ia akan terbebas dari gangguan Leo. Ternyata ia salah besar. Meski sepanjang pagi, siang hingga sore hari tak ada gangguan dari laki-laki aneh itu, tetapi malam harinya. Ia datang. Membuat Alya tak bisa berkutik. Ia baru saja menikmati makanan sehat buatannya sendiri dan masih menikmatinya, semangkuk makanan lunak yang terbuah dari campuran buah pisang dan yougurt dan oat meal yang didiamkan di dalam freezer sejak pagi. Ketika Leo muncul di kafe dengan wajah datar. Ah, laki-laki itu memang selalu berwajah datar. Alya hampir tidak pernah melihat Leo santai atau tersenyum, kecuali senyum menjengkelkan. "Halo, Sayang," Leo dengan santainya merangkul bahu Alya sekilas lalu memberikan kecupan singkat di ujung kepalanya yang tertutup hijab. Sikapnya seolah-olah mereka adalah pasangan sah yang disaksikan oleh orangtua dan saksi. Oh, Leo harus berhenti bersikap romantis seperti itu atau ia bisa gila dalam waktu dekat. Demi makanan yang kesulitan Alya telan,
Alya masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ah, mungkikah telinganya salah menangkap informasi? Ataukah Leo memang mengatakan hal konyol bin tidak masuk akal itu? Di depan orangtuanya? Kemana perginya akal sehat laki-laki itu? Apakah ia menjadi bodoh setelah memasuki rumah orangtuanya? Yang dibuat takjub oleh pengakuan tidak berdasar Leo bukan hanya Alya tetapi juga kedua orangtuanya. Mereka tidak menyangka jika putra satu-satunya keluarga Thejakusuma menjalin hubungan dengan perempuan yang juga merupakan teman dekat Salma dan mengapa mereka tidak mengetahui hal itu sebelumnya? Bukan berarti mereka tidak senang dengan kabar bahagia itu, mereka hanya tidak menyangka jika calon menantunya adalah orang yang telah lama dekat dengan keluarganya. Alya! Dari semua perempuan yang dikencani Leo, mereka tidak menyangka jika Alyalah yang dibawa pulang ke rumah untuk diperkenalkan kepada orangtuanya sebagai kekasihnya. "Tante senang sekali mendengarnya,
Jantung Alya masih memburu ketika ia menaiki lift menuju lantai apartemen miliknya bahkan hingga ia keluar dari lift, lebih buruk lagi ia merasa pipinya terbakar oleh sentuhan jari Leo, belum padam hingga kini! Ini gila! Pikirnya, mencoba untuk berpikir waras. Tidak masuk akal jika ia tersipu malu akibat hal kecil itu. Ia bahkan sering memeluk Reno, Mario maupun Hendra, editornya... Bahkan beberapa teman laki-laki lainnya tetapi dari semua laki-laki yang pernah ia peluk maupun kecup kedua pipinya, hanya sentuhan ringan Leo yang berhasil mengacaukan bukan hanya irama jantungnya tetapi juga mesin pemanas di tubuhnya. Langkah kakinya lemas bahkan ketika ia berhasil tiba di lantai apartemen miliknya. Beberapa langkah lagi dan ia akan menemukan pintu apartemen berwarna putih itu. Ia tak sabar, ingin segera bersembunyi. Ia merasa tatapan Leo terus mengikutinya. Membuatnya merasa was-was. Hanya selang beberapa detik, langkah malas itu berhenti ketika pandangannya jatu
Yakin, ya? Awas lo kalo sampe berubah pikiran! Jangan bikin malu gue, Al!" Rara memperingatkan dengan nada serius dan tegas. "Iya, aduh... lo berisik banget, sih!" Potong Alya jengkel. "Lagian, kan, cuma kenalan! Nggak ada kewajiban buat nikah, 'kan?" "Iya, tapi kenalannya serius! Kalo cocok kalian langsung nikah aja!" saran Rara terdengar memaksa. Alya kembali memutar bola matanya, seandainya semudah itu, mungkin saat ini ia sudah menyandang status istri seseorang! "Ra, namanya kenalan, ya, kenal dulu!" Bantah Alya. "Mana bisa ketemu sekali langsung nikah?" "Ya bisa lah!" Sahut Rara berapi-api. "Gue buktinya, gue cuma sekali ketemu mas Iman sebelum dia ngelamar gue!" Rara berkata dengan kepercayaan diri penuh. Jangan abaikan nada sombong saat ia mengatakan hal itu. Oh, semua orang tahu bahwa Rara beruntung dalam pernikahannya dengan Iman meski awal perjalanan pernikahan mereka tidak begitu mulus tetapi justru itulah yang membuat mereka se
Alya tidak bisa tidur nyenyak semalam, terima kasih untuk Rara yang berhasil membuat kantung hitam di bawah mata Alya semakin ketara.Semalam tadi ia sudah menawarkan kamarnya untuk Rara dan ia bisa tidur ala kadarnya di sofa ruang tamu karena apartemennya hanya memiliki satu kamar tetapi Rara dengan beribu alasan berhasil menjebak Alya untuk tidur seranjang dengannya. Hasilnya? Ia hampir terjaga sepanjang malam karena ulah Rara. Perempuan hamil itu benar-benar mengusik tidurnya, ia tak bisa memejamkan matanya dengan tenang, ditambah lagi ia masih kepikiran Leo berserta ucapannya.Lalu apakah mereka sekarang sepasang kekasih? Alya terus terganggu oleh pemikiran itu. Ia masih belum bisa mempercayai ucapan Leo begiti saja. Lagipula laki-laki itu adalah salah satu playboy cap kakap yang mungkin saja memiliki banyak teman perempuan."Al, bangun, Al! Udah subuh!" Teriak Rara entah sudah yang keberapa kalinya. Keberadaan Leo di dalam tidur Alya membu
Leo menepati janjinya, ia datang pagi harinya untuk menjemput Alya dan mengantarnya ke kafe. Sebenarnya ia memang merupakan laki-laki yang memegang teguh perkataannya. Mereka bahkan sempat sarapan bersama. Tentu saja dengan menindas Reno. Laki-laki muda yang malang itu bukan hanya merasa dimanfaatkan oleh Alya, tetapi kecemburuannya terhadap keduanya mulai memancar dari tubuhnya saat dengan mata kepalanya sendiri ia melihat betapa Leo memanjakan Alya. Demi Tuhan, Alya bisa menggunakan tangannya sendiri. Selama ini Alya tak pernah bersikap semanja itu. Reno mengambil sepotong paha ayam yang sudah dibumbui dengan berbagai macam bumbu termasuk juga lemon dan memasukkan ke dalam mulutnya dengan kesal. Ia sengaja berpura-pura membuat kopi untuk mengintai sepasang kekasih dadakan yang sedang menikmati sarapan paginya. Namun setelah merasa tidak tahan dengan kekesalan tanpa alasan itu akhirnya ia bersembunyi di dapur. Menyiksa potongan paha ayam yang ia beri na
Leo tiba di kantornya, oh, gedung itu bukan miliknya, jadi rasanya mengatakan kantor miliknya kurang tepat. Ia dan Haidar hanya menyewa satu lantai sebagai markas mereka. Jam tangannya menujukkan tepat jam sembilan lebih tujuh belas menit pagi. Terlalu pagi sebenarnya karena biasanya ia datang setelah jam sepuluh tepat sejak Haidar kembali aktif setelah cuti honeymoonnya selesai.Lobby kantor seperti biasa sudah dipenuhi oleh banyak karyawan yang memang masuk lebih awal, ada yang masuk jam tujuh pagi, jam delapan pagi hingga jam sepuluh siang. Entah apa yang dipikirkan Omar hingga ia membuat jadwal demikian. Sepertinya ia tak ingin kantornya sepi.Ia berjalan lurus, seperti biasa, mengabaikan perempuan yang berdiri di belakang meja resepsionis yang selalu menyapanya dengan keakraban yang berlebihan mengingat ia bukanlah siapa-siapa disana.Saat melihat pintu lift yang mulai menutup, ia mempercepat langkahnya dengan harapan tak akan
Sudah seminggu sejak pasangan pengantin baru itu pulang dari honeymoon di Eropa. Keduanya kembali beraktivitas normal. Alya menjalani harinya sebagai seorang penulis dan pemilik kafe. Tak ada yang banyak berubah, hanya saja ia harus menjadi lebih disiplin terutama soal kebersihan rumah. Seperti hari ini sang suami komplain lagi.Alya yang terbiasa hidup sendiri tidak pernah melakukan bersih-bersih rumah apalagi memasak. Ada asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan rumah. Sementara tugas memasak Alya bergantung penuh kepada Reno. Dan tidak ada yang berubah. Kecuali kini ia tinggal berdua bersama sang suami di apartemen sang suami. Masih sama. Ia hanya menunpang tidur.Alya tak ingin menyewa asisten rumah tangga karena sudah menikah. Ia takut ada rahasia rumah tangganya yang bocor ke khalayak umum. Atau bahkan menimbulkan fitnah."Baby, kau tahu dimana kemeja navy milikku?" Tanya Leo keluar dari wardrobe hanya dengan memakai handuk yang dililitkan di pingga
Ketika mereka sudah tiba di hotel tujuan, tepatnya di kota London. Keduanya langsung lelap begitu pipi mereka menyentuh bantal. Mereka tidak sempat sarapan tetapi sempat membersihkan diri sebelum menikmati tidur pertama di hotel itu."Baby," bisik Leo sambil menepuk pelan pundak sang istri. "Hmmm," Alya hanya mengerang karena terganggu dengan suara Leo. Ia masih sangat lelah dan butuh tidur hingga beberapa jam ke depan. Ia selalu tidur tidak kurang dari delapan jam sehari. Sementara beberapa hari belakangan, bahkan sejak persiapan pesta pernikahan hingga kemarin waktu tidurnya berkurang drastis.Ia pikir setelah menikah bisa tidur dengan tenang, ternyata tidak semudah itu apalagi dengan keberadaan sang suami. Malam bukan lagi miliknya untuk dinikmati sendiri tapi harus rela dibagi dengan sang suami. Jadi jangan salahkan Alya jika ia sangat-sangat mengantuk, apalagi perjalanan panjang mereka yang sangat melelahkan."Ayo sayangku, wake up! Rise and shine!" Leo membuka selimut tebal ya
Leo memesan tiket pesawat kelas kelas utama maskapai Qatar airways. Perjalanan yang panjang dan lama itu membuat Alya tidak nyaman bahkan cenderung gusar. Entah karena ia masih terpikir oleh ucapan Rara atau yang lain. Kenyataan lainnya, yang juga sangat ia sayangkan bahwa ia tak bisa memeluk sang suami sesuka hati apalagi hingga hatinya puas.Ia harus bertahan dengan berbaring di ranjang dadakan itu dan terpisah dari tubuh hangat Leo.Setelah menyadari sang istri tak bisa duduk dengan tenang Leo menawarkan diri untuk membantu Alya agar bisa tidur.Meski awalnya menolak akhirnya Alya menerima tawaran menggiurkan itu. Mereka berbagi kursi. Atau lebih tepatnya, Leo mendekap Alya di kursi bisnis mereka. Alya tidur sepanjang perjalanan hanya beberapa kali saja ia membuka mata untuk mencari posisi yang paling nyaman di pelukan sang suami.Kini, ia benar-benar bisa tidur dengan pulas dan tentu saya puas.Entah seperti apa nantinya, ia mengira tak akan bisa tidur selain dalam pelukan sang
Siang itu akhirnya, Alya hanya menemukan Rara dan sang suami, Iman saat turun untuk makan siang. Menurut pengakuan Rara, mereka berdua, ia dan sang suami akan tinggal di resort selama tiga hari ke depan. Berdua saja. Mereka telah memutuskan untuk menelantarkan satu-satunya putra mereka saat ini untuk kesenangan mereka sendiri. Alya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara memilih berlibur berdua saja dengan sang suami sementara Khai masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian? "Lo yakin Khai nggak apa-apa sendirian dengan baby sitter?" Alya bertanya dengan serius. Rara menyesap jus kiwinya dengan santai sambil melirik Alya sekilas. "Percayalah sama gue, Al. Itu adalah keputusan terbaik, bukan cuma buat gue sama suami tapi buat Khai juga. Gue udah enek sama Khai, sesekali gue pengen berduaan sama suami gue aja!" "Gila lo, ya! Lo tega banget ninggalin anak buat seneng-seneng sama suami?" Alya melotot tak percaya. "Gue nggak percaya bang Iman tega ninggalin anaknya cuma buat senengin
Leo mengerjap sekali. Lalu dua kali hingga ketiga kali sebelum sepasang matanya terbuka demgan sempurna. Ia merasa jauh lebih bugar, lebih bersemangat dan entahlah. Ia merasa berbeda pagi ini. Kegelapan menyambutnya. Rupanya hari masih gelap. Leo tersenyum begitu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Untuk pertama kalinya akhirnya ia bisa memadu kasih dengan istri tercinta tanpa ada gangguan maupun penghalang. Mereka berhasil menyatu bukan hanya dalam janji suci pernikahan melainkan menyatukan jiwa. Leo awalnya tak mengerti mengapa Haidar berubah drastis setelah menikah, namun sekarang ia bisa memahaminya. Karena ia sendiri juga merasa dirinya telah berubah. Entah perubahan seperti apa persisnya. Tetapi tentu saja hal itu adalah sesuatu yang baik. Senyumnya makin lebar ketika mendapati sang istri yang merangkulnya begitu erat dalam tidur seolah ia adalah sebuah guling kesayangannya. Hampir separuh tubuh Alya berada diatas tubuh Leo. Ia menyandarkan kepalanya tepat di jan
"Was it good?" Tanya Leo sambil menyuapi Alya sepotong cheesecake. Mereka sudah tiba di kamar hotel. Ranjang mereka dihiasi mawar merah yang membentuk hati, sayangnya hal itu sia-sia. Tetapi Alya cukup tersentuh dengan usaha sang suami untuk membuat malam mereka romantis. Alya duduk bersila di atas ranjang lembut berwarna putih itu, mengangguk puas, sambil tersenyum disaat mulutnya penuh dengan hidangan legit itu. Alya baru saja menghabiskan semangkuk yogurt dan segelas air putih. "Coba saja, ini sangat enak dan lembut. Mmm..." Ucap Alya setelah makanan di mulutnya lenyap, ia kembali membuka mulutnya. Leo mengangguk puas, "Kau yakin tidak ingin makan yang lain?" Tanya Leo seraya mengangkat garpu ke mulut sang istri. "Tidak. Ini saja sudah cukup. Mmm..." Alya mengerang kegirangan. Makanan manis membuat moodnya membaik seketika. "Can I try?" Tanya Leo lembut, menatap lekat mata sang istri yang berbinar-binar. Lalu pandangan turun ke arah bibir Alya yang sibuk mengunyah dengan an
Tiga Bulan Kemudian "Aaalll!!!" Rara dengan histeris memeluk Alya yang tengah tenggelam dalam lamunannya. Di benaknya, Alya memutar ulang semua kejadian sejak pertama kali ia melihat Leo di kafenya hingga detik ini. Saat ia menunggu di ruang tunggu pengantin. Di hotel saudaranya di pulau Bali. Proses Ijab kabul sudah dilaksanakan di Jakarta Jumat lalu, dan resepsi dilakasanakan dua kali. Pertama di Jakarta yang bersifat terbuka. Ada lebih dari seribu tamu undangan. Alya sendiri tidak tahu siapa saja tamu di pesta pernikahannya itu. Ia hanya mengenal beberapa wajah, tidak lebih dari dua seratus orang. Mereka adalah sahabat, rekan kerja, karyawan di kafenya, dan beberapa teman sekolah termasuk juga teman kuliah. Selebihnya adalah orang asing, tamu dari kedua keluarga besar yang menyatu itu. Dan sekarang, seminggu setelah pesta di Jakarta mereka, Leo dan keluarganya lebih tepatnya, mengadakan pesta kedua yang bersifat lebih private. Hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat yang diun
Sejak saat itu, Alya selalu menemukan dirinya bersama Leo. Tidak, bukan berarti mereka berkencan atau semacamnya. Sama sekali tidak. Hanya saja. Entah bagaimana, mereka selalu bertemu. Baik itu saat acara keluarga, atau hanya Leo yang sedang mengunjungi kafe untuk makan, acara kumpul-kumpul dengan saudara sepupunya. Alya menemukan laki-laki itu selalu ada di mana-mana dan menghantuinya. Awalnya Alya hanya berani melempar senyum sopan yang kurang tulus, tetapi kemudian mereka saling mengirim pesan meski hanya sekali dalam sehari. Itu pun, karena laki-laki bernama Leonardo itu sering menerornya melalui pesan-pesan singkat. Tak lama, kurang dari tiga bulan, Leo mulai berani mengajaknya pergi makan malam. Bukan di kafe miliknya, bukan juga di restoran mahal dengan suasana romantis, bukan juga di hotel dengan masakan kebarat-baratan, bukan pula restoran jepang. Dan tentu saja bukan warung tenda, meski sebenarnya Alya tak akan keberatan jika Leo yang mengajak. Sayangnya, tidak. Leo
Lima tahun yang lalu... Sejak mimpi aneh itu, Alya tidak lagi berani untuk tidur setelah Ashar atau maghrib. Jika sangat mengantuk, Alya akan memaksakan diri untuk membantu Reno di dapur alias memata-matai Reno. Atau Alya akan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang setelah jam makan siang berakhir. Namun, Alya paling tidak berani menunjukkan wajahnya saat jam-jam sarapan, makan siang atau makan malam. Ia akan berdiam diri, di ruangan kecil yang terletak di lantai dua, ditemani oleh laptop miliknya dan cemilan khusus yang disiapkan Reno. Setelah, dengan cerobohnya ia mengundang laki-laki asing untuk bekerja di kafe dan bahkan memimpikannya, Alya dengan jiwa pengecutnya berharap laki-laki itu tak akan pernah datang lagi ke kafenya. Ia terlalu malu, lebih dari itu ia sangat cemas. Cemas dengan mimpinya. Selama seminggu pertama sejak hari itu, hari Alya berbicara dengan laki-laki tampan berkunjung ke dalam mimpinya, Alya selalu datang terlambat. Ia baru akan tiba di kaf