Wira membetulkan posisi duduk Kenza supaya menjadi lebih nyaman. Merebahkan jok mobilnya, mengganjal kepala wanita yang sudah ia hancurkan hidupnya dengan bantal.
Pria berkumis tipis itu menatap lekat-lekat wajah perempuan berhidung mancung tersebut. Air matanya kini tidak bisa ia bendung, mengingat apa yang telah ia lakukan dua puluh dua tahun yang lalu, hingga membuat Kenza mengalami trauma, bahkan enggan mengakhiri masa lajangnya.“Abang sangat menyesal, Dik. Tahukah Adik, selama beberapa tahun ini Abang tidak bisa tidur dengan tenang. Abang selalu di hantui rasa bersalah, juga dosa karena Abang sudah menghancurkan masa depan Adik!” Wira berujar sambil sesekali menghapus air matanya.Salim terus berjalan berputar-putar mengelilingi halaman kantor polisi mencari keberadaan Umminya. Berkali-kali dia mencoba menghubungi nomer sang Ibu, akan tetapi nomer Kenza selalu tidak aktif. Salim akhirnya memutuskan untuk mencari Kenza di tempat dimana sang Ayah“Waalaikumussalam, hati-hati!” Kenzo melambaikan tangan sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah di depan anak istrinya.“Assalamualaikum!” Suara bariton seorang lelaki mengagetkan Kenzo yang sedang menutup pintu kamar.“Waalaikumussalam, Wira?” Kenzo menatap wajah laki-laki yang ada si hadapannya.“Apa kabar, Zo?”“Seperti yang kamu lihat, Wira. Saya baik-baik saja! Kamu mau ngapain datang menemui keluarga saya lagi. Belum puas kamu menghancurkan kehidupan adikku, Wira!” Kilat kemarahan tergambar jelas di mata teduh laki-laki berusia empat puluh satu tahun itu.“Saya datang ke sini, hanya berniat membantu kamu keluar dari kasus yang sedang membelit kamu, Kenzo. Saya tahu kamu tidak bersalah, bahkan, saya dan anak buah saya sudah berhasil menemukan beberapa bukti yang mungkin bisa membuat kamu memenangkan persidangan pekan depan. Tapi saya menolong kamu secara pamrih, Kenzo. Saya minta imbalan, supaya keluarga kamu men
.“Kenapa kamu begitu membenci kakak, Wi?” Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Efita.“Karena kakak tidak pernah memberi kesempatan untuk aku bahagia!” sahut Dewi ketus.“Maksud kamu, Dewi?” Dahi Efita berkerut-kerut mendengar jawaban dari sang adik.Dia merasa heran kenapa Dewi bisa berpikiran seperti itu. Sementara dia sejak kecil selalu mengalah dan lebih mementingkan kebahagiaan si adik.Bahkan, dia rela putus sekolah asal Dewi bisa melanjutkan pendidikannya.“Semua orang yang ada di sekitarku selalu menyayangi kakak, sementara sama aku, mereka semua membenci aku. Nggak Akmal, nggak Emak. Semuanya nggak pernah suka sama aku!” desisnya kesal.“Kata siapa Emak nggak sayang kamu, Wi. Emak itu sayang banget sama kamu. Begitu juga kakak. Kalau kakak egois dan tidak menyayangi kamu, dulu kakak lebih memilih sekolah dan membiarkan kamu tidak mengenyam bangku pendidikan. Tapi
Efita duduk di bibir ranjang sambil terus menggenggam ponselnya menunggu kabar dari Salim. Dia sangat gelisah menunggu kabar tentang suaminya yang sedang mengikuti persidangan hari ini. Pun dengan segala doa yang tiada putus-putusnya ia panjatkan. Dia terus memohon kepada Allah, supaya lekas membebaskan sang suami sebab dia yakin kalau Kenzo tidak bersalah."Aku nggak mau nglahirin sendirian, Mas. Aku butuh kamu." Efita berujar sambil mengelus-elus perutnya.Perempuan berambut sebahu itu menyusut air mata ketika merasakan gerakan-gerakan kecil di dalam perutnya."Aku nggak boleh nangis. Mbak Kenza dan Salim pernah bilang sama aku, kalau orang lagi hamil itu nggak boleh stres dan nggak boleh sedih. Nanti dedeknya ikut merasakan hal yang sama dengan apa yang sedang Ibunya rasakan!" gumam Efita sambil berkali-kali menyusut air matanya yang tidak kunjung berhenti mengalir."Fit. Ibu boleh masuk?" ucap Fatimah sambil melongok dari
"Ummi, tolong dengerin Salim, Mi. Abi hanya mau meminta maaf sama Ummi. Ummi yang tenang, tarik nafas, istigfar Ummi, Istigfar." Salim terus saja memeluk ibunya."Kasih minum, Lim." Efita menyodorkan segelas air putih."Ayo, Mi. Minum. Bismillah, pelan-pelan," bimbing pemuda dengan garis wajah tegas itu.Setelah Kenza mulai sedikit tenang, Salim keluar menemui ayah kandungnya. Dia menyuruh Wira untuk bersabar karena mungkin trauma yang dialami Kenza terlalu dalam. Salim tidak mau memaksa ibunya untuk bertemu Wira."Salim, kalau kamu mengizinkan, Abi ingin membawa Ummi kamu ke psikiater. Abi punya kenalan di daerah Tegal. Dia bisa membantu menyembuhkan orang yang mengalami trauma seperti Ummi. Tapi tentunya atas izin Allah dan juga dari diri Ummi sendiri harus ada keyakinan untuk sembuh. Dia juga yang mengajarkan Abi banyak hal, sehingga Abi bisa berubah menjadi laki-laki yang lebih baik." Wira berujar tanpa berani menatap mata Salim.
Kembali Ke POV Efita.Aku membuka mata perlahan, mengedarkan pandang mencari suamiku. Tidak ada. Hanya ada Ibu yang sedang tersenyum manis kepadaku.‘Apa aku hanya bermimpi?’ tanyaku kepada diri sendiri dalam hati.Mataku kembali memanas. Buliran-buliran hangat kembali menyembul di sudut netraku dan tidak lama kemudian mengalir tanpa mampu aku bendung.“Kamu sudah makan, Sayang?” tanya Ibu dengan intonasi sangat lembut. Entahlah, walaupun perut ini terasa lapar, tetapi mulut ini malas untuk mengunyah. Aku ingin makan sepiring berdua dengan suamiku. Masa iya aku harus pergi ke sel melalui jalur khusus dan bermalam di sana. Biayanya juga kan cukup mahal. Mending uangnya aku kumpulkan buat usaha setelah Mas Kenzo keluar nanti.Pintu kamar terbuka lebar. Seraut wajah nan teduh menatapku dengan senyum terkembang di bibir, memamerkan cekungan di kedua belah pipinya. Dia menghampiriku sambil sesekali membetulkan pecinya. “Makan yuk, Mas suapin,” ucapnya sembari mengulurkan tangan dan lek
Salim, Ibu, Mbak Kenza serta anak-anak sudah duduk berkumpul di ruang tengah ketika aku keluar dari kamar. Ada Mas Kenzo juga sudah bergabung bersama mereka. “Kamu sudah bangun, sayang?” tanya Mas Kenzo seraya mengulas senyum. “Sini, duduk!” Titahnya sambil menepuk-nepuk sofa kosong di sebelahnya.Gegas aku berjalan mendekat, duduk di sebelahnya karena sepertinya ada hal penting yang mau mereka bicarakan kepadaku. Tapi, ada apa? Semoga saja bukan kabar buruk yang hendak mereka sampaikan.“Dek, besok Kenza akan dibawa terapi ke Tegal. Mungkin hingga beberapa bulan ke depan dia akan tinggal di sebuah pesantren, sampai traumanya benar-benar hilang dan dia bisa menjalani hidup tanpa dibayang-bayangi masa lalu kelamnya. Menurut adek bagaimana? Kami tinggal menunggu jawaban dari kamu, Dek. Kalau kata kamu Oke, kita akan bawa dia,” ucap Mas Kenzo membuat aku sedikit kaget.“Mendadak sekali, Mas?” Tatapan mataku tidak lepas dari Mbak
Aku duduk di bibir ranjang kamar Salim dan memangku buku tersebut.Pelan-pelan kubuka lembar pertamanya, hanya ada tulisan S, simbol hati lalu huruf E. Aku ingin tertawa melihatnya, karena dia begitu kekanak-kanakan. ‘Aku selalu mencintaimu walau kita tidak ditakdirkan untuk bersatu. Aku hanya mampu mencintaimu dalam diam. Merasakan teririsnya hati ketika kamu sedang bermesraan dengannya di depan mataku. Sakit, sungguh tak terperi di sanubari. Aku juga berharap kepada Tuhan, supaya ada keajaiban yang mampu menyatukan cinta kita berdua, Muhammad Salim Hafidz.’ Aku mengulum senyum membaca tulisan itu. ‘Kasihan juga Salim!’ bhatinku.Aku menutup buku milik Salim, karena merasa terlalu lancang membuka-buka barang pribadinya. Lekas kuletakkan buku itu ke dalam laci, menutupnya kembali dan keluar dari kamar pria itu kemudian menghampiri Saquina yang sedang mewarnai di ruang tengah.“Kakak sudah kelar belum mewarnainya?!”
Kuabaikan panggilannya karena masih merasa kecewa dengan kelakuannya, yang diam-diam ikut andil dalam kehancuran rumah tanggaku dengan Mas Akmal. Walaupun sebenarnya, aku juga merasa tidak nyaman jika harus terus-menerus mendiamkan sahabatku.[Fit, tolong angkat telepon aku. Aku mau ngomong penting sama kamu. Cuma kamu yang bisa menolongku dan mau mendengar keluh kesahku, Fit.] Dia mengirimku pesan.[Kamu datang ke rumah saja, Nit. Kita bicara di rumahku.] Balasku, mengirimkan alamat rumah.Tiga puluh menit kemudian Anita datang sambil menangis tergugu dan memelukku. Aku bingung harus berbuat apa, karena aku juga tidak tahu permasalahannya. Kucoba memenangkan perempuan berusia tiga puluh tahun itu, menyuruhnya duduk lalu membuatkan teh hangat untuknya.“Ada apa, Nit?” tanyaku setelah dia berhenti menangis.“Mas Haris mau bawa Damian pergi, Fit. Dia mau menceraikan aku dan membawa anak bungsuku,” terang Anita me
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo