“Ma–maksud saya Bunda!” Lelaki bermata bulat itu terlihat gugup serta salah tingkah.“Kita mampir ke supermarket dulu ya!” Fita mengulangi ucapannya, dan langsung dijawab anggukan oleh Salim.Malam semakin beranjak larut. Salim masih duduk termenung di atas pembaringan, sambil membayangkan saat dia tanpa sengaja memeluk tubuh wanita yang begitu ia cintai. Wangi tubuhnya, embusan nafas Efita yang menerpa kulitnya, masih ia rasa dan tidak dapat ia lupakan.“Allahu Akbar!” Salim mengusap wajah kasar.“Ampuni aku ya Allah. Ampuni hambamu yang tidak mampu melawan perasaan ini. Tolong cabut rasa cinta di hatiku, Tuhan. Dan jika Engkau menakdirkan diri ini tidak lagi jatuh cinta aku ikhlas. Asalkan aku tidak terus-menerus mencintai ibu tiriku” Pinta Salim, menadahkan dua tangan.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka dua dini hari. Salim memutar gagang pintu, berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudu dan melakukan salat
“Bun, ada telepon!” ucap Salim sembari menyodorkan ponsel Efita yang terus saja menjerit-jerit.“Dari siapa, Lim?” tanya Efita seraya menatap putra sulungnya.“Nggak tau. Nomor tidak dikenal!” Salim mengangkat bahu.“Kamu aja yang angkat, Lim. Saya males menerima panggilan dari nomor tidak dikenal!” “Lagian jadi perempuan terlalu cantik sih. Jadi banyak yang ngefans!” gumam Salim sambil mengusap tombol hijau di layar gawai ibu tirinya, tanpa menyapa orang yang berada di seberang sana.“Assalamualaikum, Fit,” sapa seorang lelaki di ujung sambungan telepon.Salim menyentak nafas kasar. Lagi-lagi Akmal menghubungi Ibunya.“Ada apa?!” jawab Salim, meninggikan nada bicara satu oktaf.“Efita, mana? Saya mau ngomong sama dia.”“Bunda lagi tidur!” Lelaki bertubuh tinggi itu langsung memutus panggilan teleponnya.“Siapa, Lim?” tanya Efita sembari mengambil gawainya dari
Aku menatap Irma yang sedang berbaring dengan wajah pucat seperti mayat. Kenapa wanita itu tidak dipanggil-panggil oleh Tuhan, padahal dia sudah sakit parah selama bertahun-tahun. Aku minta izin kawin lagi juga tidak dia izinkan. Sebenarnya maunya dia itu apa sih?Sudah wajahnya pucat, kulit keriput. Pokoknya nggak ada menarik-menariknya sama sekali. Mendingan aku jalan-jalan keluar, mencari daun muda yang bisa aku ajak kencan juga ngamar. Lumayan buat ngilangin jenuh dari pada melihat tubuh ringkih Irma terus.Kalau saja dia bukan sumber keuanganku, sudah aku tinggalkan sejak pertama dia divonis kena kanker serviks. Tapi aku tidak bisa menceraikannya karena aku masih membutuhkan uangnya. Apalagi, dia mengancam akan mengusirku kalau sampai berbuat macam-macam. Semua harta yang kami miliki juga sudah beralih nama. Rumah, mobil, toko, semuanya sudah atas nama Akmal putraku.Hampir setiap hari aku disuguhi pemandangan membosankan. Setiap detik, aku selalu berdoa semoga Tuhan lekas meng
Membuka jendela perlahan, keluar dari kamar Dewi karena sepertinya hari sudah beranjak pagi. Aku tidak mau kesiangan dan anak menantuku tahu kalau setiap malam aku berada di kamar Dewi. Dengan sangat hati-hati aku melompat dari jendela, takut terkena pecahan beling yang tersebar dimana-mana. Walaupun aku sudah antisipasi memakai sepatu saat keluar masuk dari kamar Dewi. Aku langsung bersembunyi ketika melihat bayangan seseorang sedang berjalan ke arah kamar Dewi. Dan tidak lama kemudian, aku mendengar suara erangan putraku.Ya Tuhan, pasti dia terkena pecahan beling itu. Aku langsung berlari menghampirinya, ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Karena biar bagaimanapun, Akmal adalah putraku satu-satunya. Aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan dia.Bukannya membantu, Efita malah berdiri mematung sambil terus menatap kaki putraku yang sudah bersimbah darah. Mungkin dia mengira kalau Akmalah laki-laki yang
POV Author.Salim masih duduk mematung di atas motor sambil terus menatap mobil sang ayah hingga tidak lagi terlihat. Ia menguyar rambutnya, meninju tangannya ke udara sambil terus menata perasaan yang berkecamuk di hati. Antara sedih, kesal, cemburu, bercampur menjadi satu membuat hatinya menjadi tidak karuan.Seperdetik kemudian, ia menyalakan mesin kendaraan roda duanya dan melaju mengikuti mobil laki-laki yang sedang membawa sang pujaan hati.Dari kejauhan, Salim terus menatap ayah serta ibu tirinya yang sedang bersenda gurau di sebuah restoran. Hatinya teramat panas ketika dengan lembut Kenzo membelai pipi Efita, mengunci netra perempuan berparas cantik itu dengan pandangannya.Salim membuang muka ketika melihat ayahnya mencium puncak kepala Efita. Dia mencoba menepis segala rasa yang ada di dada, namun rasa cinta juga cemburu itu selalu mengalir mengisi laju darahnya.“Huft!” Salim mendesah kecewa. Pria beralis tebal itu menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati lalu
“Si–siapa yang bilang kalau saya mencintai Bunda, Yah?” tanya Salim tergagap. Dia juga tidak berani menatap wajah teduh laki-laki yang paling ia hormati itu.“Salman yang bilang. Dia katanya mendengar doa kamu di tengah malam, ketika kamu meminta kepada Allah supaya mencabut perasan cintamu kepada Dek Fita. Salman juga melihat kamu menyimpan banyak sekali foto-foto Dek Fita di galeri ponsel kamu!” ‘Dasar tukang ngadu. Sejak kapan Salman berani membuka-buka ponsel saya!’ Rutuk Salim dalam hati.“Semuanya tidak benar, Ayah. Masa iya aku mencintai ibu tiriku sendiri. Mungkin Salman salah denger kali, Yah. Kan posisi dia lagi tidur. Apa dia jangan-jangan bermimpi mendengar doa-doaku?” Salim tertawa kecil untuk menutupi rasa gugup yang sedang dia rasakan.“Coba Ayah lihat ponsel kamu?” Kenzo menodongkan tangan.Ragu-ragu Salim menyerahkan gawainya, karena di dalam galeri ponselnya memang banyak sekali foto-foto Efita yang ia ambil s
"Ayah apa-apaan sih? Saya itu belum cukup umur. Baru mau dua puluh satu tahun. Kuliah aja belum lulus. Memangnya Ayah mau menanggung hidup saya, istri serta anak saya kelak?!" jawab Salim, sedikit meninggikan nada bicaranya. "Bisa kuliah sambil kerja, Salim!" timpal Kenzo seraya menatap dalam-dalam wajah lelaki yang sudah ia asuh selama hampir dua puluh satu tahun itu. "Ayah itu kenapa selalu memaksakan kehendak sih. Dulu, saya pengen kuliah ambil jurusan sastra, tapi Ayah maksa nyuruh saya ambil jurusan ekonomi yang bikin pusing. Sekarang, gara-gara curiga saya bakalan rebut istri barunya, maksa nyuruh saya buat nikah buru-buru. Memangnya nikah itu buat sehari dua hari, nggak cocok tinggal pisah kaya orang pacaran. Saya itu pengen nikah sekali seumur hidup Ayah. Jadi tolong jangan gara-gara rasa cemburu Ayah yang sangat berlebihan, Ayah memaksa saya untuk nikah juga! Sebenarnya aku anak kandung apa anak angkat sih?! Jangan-jangan kecurigaan istri baru Ayah itu benar. Kalau saya ini
***"Mas, Salim nggak sekalian makan?" tanya Efita sembari menoleh ke arah mobil yang terparkir di depan."Mungkin dia belum lapar, Dek!" jawab Kenzo sambil menyendok nasi dan menyantapnya."Aku panggil ya, Mas?" Efita beranjak dari duduknya, akan tetapi Kenzo langsung menahan wanita itu."Kalau lapar juga dateng sendiri, Dek!""Dia itu suka protes loh, Mas. Kalau kita itu kurang perhatian sama dia. Dia juga selalu bilang, katanya kita cuma sayang sama Quina dan Salman saja!"Kenzo langsung berhenti menyuap nasi ke mulut dan bangkit menghampiri sang anak yang masih berada di dalam mobil. Dia mengetuk pintu, meminta Salim untuk bergabung dengan dia serta istrinya. Namun, pria muda itu menolak dan tetap menunggu di dalam kendaraan."Saya tidak lapar, Yah. Lagian tadi pagi bukannya Bunda sudah masak. Nanti masakan yang ada di rumah mubazir karena nggak ada yang makan!" Jawabnya tanpa menoleh menatap wajah Kenzo."Sekali lagi Ayah minta maaf. Ayah nggak akan memaksa lagi kamu untuk menik
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo