Azalia menarik guling, memeluknya kemudian terlihat dadanya naik turun dengan teratur, menandakan kalau dia sudah tertidur.Ah, tidak seperti biasanya dia seperti itu. Biasanya selalu bermanja ria sebelum memejamkan mata, menjalankan ibadah malam dan setelahnya dia akan terlelap dalam rengkuhanku."Sayang," panggilku pelan, kembali melingkarkan tangan di pinggang rampingnya. Hening. Hanya suara napas Azalia yang terdengar berhembus. Dia tidak meresponku. Sepertinya wanita itu memang sudah benar-benar terlelap mengarungi mimpi indahnya.***"Sayangku masih marah?" tanyaku pagi-pagi selepas pulang dari musala seraya menghampiri istri yang sedang melipat mukena serta sajadah."Marah? Untuk apa, Mas?" Seulas senyum tergambar di wajah cantik nan menawan Azalia."Semalam kamu bobok nggak mau peluk Mas!""Bosen peluk-pelukan melulu. Nanti yang meluk malah mbayanginnya sedang meluk mantan istrinya lagi!" Astaghfirullahaladzim...Fiks! Dia masih ngambek. Mengerikan juga Azalia kalau sedang c
"Lim, lagi ngapain sih? Abi panggil-panggil dari tadi nggak nyaut. Salam Abi juga tidak dijawab!" Aku berjingkat kaget ketika Abi menepuk pundakku pelan."Lagi melamun?" tanyanya lagi."Enggak, Bi. Aku cuma sedang memikirkan bagaimana supaya rumah tanggaku tetap adem ayem tanpa masalah."Abi terkekeh mendengar jawaban dariku."Mana ada rumah tangga yang adem ayem tanpa masalah. Nggak ada, Salim. Pertengkaran dalam rumah tangga itu bumbu, karena rumah tangga tanpa ada pertengkaran itu bagaikan makan sayur tanpa garam. Hambar.""Tapi aku lihat Bunda Efita dan Ayah tidak pernah bertengkar. Mereka terlihat selalu akur." "Bukan tidak pernah, Salim. Tapi mereka sudah sama-sama dewasa dalam menyikapi masalah. Jadi, walaupun sedang ada selisih pendapat, mereka tidak menunjukkannya di depan orang lain." Aku mengangguk paham."Apa kamu sedang bertengkar sama Azalia?" "Dia cemburu karena aku masih terus menguru
#AzaliaLamat-lamat terdengar suara sang muadzin mengumandangkan azan subuh. Mas Salim sudah duduk bersila memegang test pack, menyuruhku untuk segera melakukan tes kehamilan padahal belum yakin seratus persen kalau aku memang sedang mengandung. Usia pernikahan kami saja baru satu bulan dan kalau pun iya memang hamil sepertinya belum terdeteksi."Jangan dulu dites lah, Mas. Takut hasilnya negatif nanti malah kamu kecewa." Aku berujar seraya menatap wajah tampan suami yang tidak henti-hentinya menerbitkan senyuman."Sudah. Nggak apa-apa. Kalau hasilnya negatif berarti belum rezeki." Dia terus saja meyakinkan, sehingga mau tidak mau aku harus menuruti keinginannya untuk melakukan tes pagi ini.Ragu-ragu berjalan menuju kamar mandi, menampung air seniku kemudian mencelupkan benda pipih kecil tersebut ke dalam urine. Dadaku bergemuruh hebat ketika melihat satu garis terpampang, merasa kecewa karena belum diberi kepercayaan."Bagaimana, sayang
***Malam harinya. Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku masih menanti dengan gelisah kepulangan suam, karena tidak seperti biasanya dia pulang terlambat seperti ini, apalagi tanpa kabar sama sekali.[Assalamualaikum, Mas. Mas Salim marah sama aku? Memang salah aku di mana, Mas? Aku belum hamil itu takdir, bukan kemauanku juga. Lagian, usia pernikahan kita baru satu bulan, lho. Masa kamu langsung memperlakukan aku seperti ini gara-gara hasilnya negatif. Aku sedih banget, Mas.] Segera ku kirim pesan kepada suami. Centang dua, akan tetapi belum dibaca. Mungkin dia sedang sibuk, atau memang sengaja tidak mau membaca pesan dariku.Ah, sudahlah. Dari pada terus memikirkan yang justru membuat dada ini terasa seperti sedang dihimpit batu besar, mending lekas memejamkan mata walaupun nyatanya aku tetap saja terjaga.Selang beberapa menit, terdengar deru mesin kendaraan memasuki pekarangan rumah Bunda. Buru-buru memantas diri di de
POV Salim.Aku menatap bidadari hatiku yang tengah menangis. Ternyata egoku terlalu tinggi hingga membuat wanita yang paling disayangi menitikkan air mata juga terluka. Padahal, dulu sudah pernah berjanji akan selalu mencintai dia dan tidak akan menyakiti hatinya. Memang janji itu begitu mudah diucapkan, akan tetapi begitu sulit untuk ditepati.Diselimuti rasa bersalah, kuusap air mata yang berlomba-lomba lolos dari balik kelopaknya, menatap lamat-lamat wajah ayu istri yang sudah sembab serta kuyu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mungilnya ambruk dan tidak sadarkan diri."Li, Sayang. Astaghfirullahaladzim. Buka mata kamu, Sayang." Menepuk-nepuk pelan pipi istri seraya memeluk tubuhnya.Dia masih dia terkulai lemas serta memejamkan mata."Sayang, ya Allah. Maafkan Mas, sayang." Mengusap lembut pipi kemerah-merahannya."Ada apa, Salim?" Bunda berjalan tergopoh menghampiriku yang sedang memeluk tubuh Azalia."Lia pingsan, Bun!"
***Pukul sembilan pagi, mengajak Azalia ke sebuah rumah sakit untuk memeriksakan keadaannya. Sebab sudah berkali-kali menghubungi bahkan mendatangi rumah Dokter Maria, akan tetapi dokter berwajah oriental itu sepertinya sedang tidak berada di kediamannya. Rumah sang dokter terlihat sepi dan lampu ruangannya terlihat gelap, hingga akhirnya harus membawa Azalia ke rumah sakit yang letaknya lumayan cukup jauh dari rumah, karena tidak mungkin membawa dia ke rumah sakit tempat dulu dia bekerja. Bisa bahaya kalau sampai bertemu Dokter Fatih. Takut laki-laki berkacamata itu kembali berbuat macam-macam terhadap istri.Setelah kurang lebih dua puluh menit membelah kemacetan kota, mobil kutepikan di sebuah area parkir gedung berlantai tiga dan membukakan pintu serta membantu sang bidadari hati turun dari kendaraan roda empatku."Ayo Sayang, sudah sampai." Mengulurkan tangan dan segera disambut dengan senyum mesra oleh wanita shalehah yang sudah menemani
Dokter Fatih berjalan menuruni undakan, menghampiri kami berdua dengan gaya begitu congkaknya. Memangnya dia pikir Azalia bakalan mau dengan laki-laki yang sudah berani menyekapnya?Lagian, Azalia itu istriku. Wanita yang begitu aku cinta dan selamanya kami tidak akan terpisahkan kecuali oleh maut."Ayo, Azalia. Ikut dengan saya. Saya berjanji akan selalu menyayangi serta mencintai kamu dengan setulus hati. tidak akan ada yang namanya air mata jika kamu hidup dengan saya!" Dengan lancang pria berkemeja hijau telur asin itu menggengam pergelangan tangan istri dan mengajaknya pergi."Lepaskan saya, Dokter!" Tepis Azalia dengan kasar."Tolong jangan melecehkan saya seperti ini. Saya sudah berkali-kali bilang sama Dokter, kalau saya tidak mau disentuh oleh laki-laki yang bukan mahram saya!" sentaknya terlihat begitu emosi. "Tapi, Li. Saya tidak bisa melihat kamu menangis seperti tadi. Saya mencintai kamu, dan kamu tahu itu, Azalia!
Dering ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja menjeda aktivitasku di depan layar komputer. Gegas kuambil benda pipih persegi itu, melihat siapa yang menghubungi dan ternyata dari rumah sakit tempat dimana Safina sedang dirawat. Ada apa lagi?"Selamat siang, Pak Salim," sapa seorang wanita dari ujung sambungan telepon."Siang, ada apa ya, Mbak?" "Maaf mengganggu waktunya. Kami dari rumah sakit jiwa XX Jakarta, ingin mengabarkan kalau Bu Safina kembali mengalami perdarahan."Aku menghela napas berat. Kenapa sih, dia itu selalu saja menyakiti dirinya sendiri. Apa dia memang sengaja mencari perhatian?Astaghfirullahaladzim...Jangan berprasangka buruk seperti itu, Salim. Dia ini kan memang sedang mengalami depresi. Pasti dia juga sebenarnya tidak mau mengalami hal-hal tragis seperti itu."Iya, Mbak. Nanti saya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan istri saya. Terima kasih sudah mengabari saya," ucapku setelah berpi
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo