Dokter Fatih berjalan menuruni undakan, menghampiri kami berdua dengan gaya begitu congkaknya.
Memangnya dia pikir Azalia bakalan mau dengan laki-laki yang sudah berani menyekapnya?Lagian, Azalia itu istriku. Wanita yang begitu aku cinta dan selamanya kami tidak akan terpisahkan kecuali oleh maut."Ayo, Azalia. Ikut dengan saya. Saya berjanji akan selalu menyayangi serta mencintai kamu dengan setulus hati. tidak akan ada yang namanya air mata jika kamu hidup dengan saya!" Dengan lancang pria berkemeja hijau telur asin itu menggengam pergelangan tangan istri dan mengajaknya pergi."Lepaskan saya, Dokter!" Tepis Azalia dengan kasar."Tolong jangan melecehkan saya seperti ini. Saya sudah berkali-kali bilang sama Dokter, kalau saya tidak mau disentuh oleh laki-laki yang bukan mahram saya!" sentaknya terlihat begitu emosi."Tapi, Li. Saya tidak bisa melihat kamu menangis seperti tadi. Saya mencintai kamu, dan kamu tahu itu, Azalia!Dering ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja menjeda aktivitasku di depan layar komputer. Gegas kuambil benda pipih persegi itu, melihat siapa yang menghubungi dan ternyata dari rumah sakit tempat dimana Safina sedang dirawat. Ada apa lagi?"Selamat siang, Pak Salim," sapa seorang wanita dari ujung sambungan telepon."Siang, ada apa ya, Mbak?" "Maaf mengganggu waktunya. Kami dari rumah sakit jiwa XX Jakarta, ingin mengabarkan kalau Bu Safina kembali mengalami perdarahan."Aku menghela napas berat. Kenapa sih, dia itu selalu saja menyakiti dirinya sendiri. Apa dia memang sengaja mencari perhatian?Astaghfirullahaladzim...Jangan berprasangka buruk seperti itu, Salim. Dia ini kan memang sedang mengalami depresi. Pasti dia juga sebenarnya tidak mau mengalami hal-hal tragis seperti itu."Iya, Mbak. Nanti saya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan istri saya. Terima kasih sudah mengabari saya," ucapku setelah berpi
"Sudahlah, Bi. Lupakan saja masalah itu. Yang penting sekarang Abi sudah berubah dan menyesali perbuatan Abi. Nggak mungkin 'kan, aku menuntut dan mencebloskan ayah kandungku sendiri ke dalam penjara. Walaupun tidak dinasabkan dengan Abi, Abi tetap ayah biologisku dan Aisyah sangat membutuhkan Abi. Jangan sampai dia ikut juga merasakan seperti yang kakaknya rasakan ketika aku masih kecil. Tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandungnya." Sebenarnya tidak enak mengatakan hal itu kepada Abi. Tetapi mau bagaimana lagi? Mulut ini sudah terlanjur berkata demikian."Terima kasih. Maaf kalau Abi sudah membuat kamu menderita!" Pelan dia berujar dengan suara serak serta bergetar."Kata siapa aku menderita, Bi. Aku memiliki ayah dan bunda yang begitu menyayangiku. Mencintai diriku dengan setulus hati tanpa pernah membeda-bedakan. Aku juga berterima kasih karena sudah dilahirkan ke dunia ini, walaupun kehadiranku dulu tidak pernah diinginkan. Insya Allah aku ikhlas m
*Malam kian beranjak larut. Hanya keheningan yang menyelimuti, karena istri sudah sejak tadi terlelap memeluk guling yang akhir-akhir ini menjadi teman tidur favoritnya. Biasanya, dia tidak akan bisa tidur tanpa aku peluk. Tapi saat ini, dia lebih sering memeluk benda mati dari pada guling yang bisa bergerak.Tidak apalah. Mungkin bawaan bayi jadi seperti itu. Lagi pula Azalia juga suka sensitif dengan bau tubuhku, walaupun terkadang justru jika aku baru pulang dari tempat kerja dia akan selalu melarangku buru-buru untuk mengganti pakaian. Kata Bunda, memang kalau orang sedang mengandung itu tingkahnya suka aneh dan hidungnya begitu sensitif terhadap bau-bauan. Jadi, tidak mengapa jika akhir-akhir ini juga banyak perubahan yang ditunjukkan oleh istri."Mas, Mas Salim sudah tidur?" Tiba-tiba Azalia mengusap bahuku pelan."Belum, Sayang. Ada apa?" Memutar badan, berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala."Pengen mie ayam yang ped
"Diam kamu, Safina!" sentakku emosi.Tangan ini terkepal. Ingin sekali membungkam mulut wanita tidak waras itu, akan tetapi nanti justru akan menimbulkan banyak masalah. Lebih baik kutahan emosi walaupun kepala rasanya mulai berdenyut tidak karuan.Lagi. Safina tertawa nyaring kemudian menangis tergugu. Dia menghampiriku, mencoba meraih tangan ini akan tetapi aku segera beringsut menjauh darinya."Nggak usah pura-pura nggak maulah, Salim. Dulu saja kamu malu-malu, pura-pura nolak, tapi giliran sudah di dalam kamar kamu langsung kaya orang kesurupan, sampai bisa kubohongi. Kamu pikir dulu aku masih perawan, 'kan?" Dia terkekeh. Mengejek diriku di depan banyak orang. Malu, malu sekali."Jangan buat keributan di sini, Mbak. Sudah tengah malam!" Pak RT dan beberapa orang warga memegangi tubuh Safina dan menariknya masuk ke dalam mobil, berniat membawa dia kembali ke rumah sakit jiwa."Mas yang sabar ya!" Azalia mengusap lenganku, memberi duku
"Aku mencintai kamu, Safina!" bisikku pelan, tepat di telinga Safina."Tapi saya ini keponakan njenengan, Lik.""Tidak masalah. Hanya keponakan tiri!" Dari balik keremangan aku terus menatap wajah Safina yang kian memucat. Sepertinya dia sangat ketakutan. Padahal, wajahku tidak menyeramkan.Pelan-pelan menggeser tubuh lebih mendekat, menarik selimut yang menutupi tubuh mulus keponakannya Lastri dan melempar kain itu ke sembarang tempat.Safina menjerit. Akan tetapi dengan sigap kubekap mulutnya, mengikat kedua tangan gadis itu di sandaran ranjang besi lalu menyumpal mulutnya menggunakan kaus dalam yang baru saja aku lepas.Tanpa dikomando air mata gadis itu mengalir deras membasahi pipi, ketika aku mulai mengungkung tubuhnya dan mengambil mahkota paling berharga yang dia miliki. Wajah gadis itu memerah, keringat membasahi tubuh kami berdua hingga permainan itu selesai dan aku terlelap di samping Safina.*"Fin,
"Ada apa ini?" tanya Fahri yang baru saja datang entah dari mana."Zakira menunggu kamu di rumah. Temui dia, atau kamu juga akan mendapatkan ganjaran seperti ayah kamu!" tekanku seraya melenggang pergi.Aku mengangkat satu ujung bibir. Merasa puas sudah memberi hadiah tinju kepada ayahnya Fahri. Siapa suruh berani menghina anakku. Sekarang, tahu sendiri akibatnya 'kan?Suasana rumah Mas Wahyu terlihat begitu ramai ketika aku melitas. Banyak sekali warga menyemut, juga ada Pak RT sedang duduk di teras dan terlihat sedang berbincang dengan salah seorang tetangga. Ada apa ini? Apa jangan-jangan Safina menceritakan kejadian kemarin, atau dia malah bunuh diri?Ragu-ragu berjalan menghampiri salah seorang ibu yang baru daja keluar dari rumah Mas Wahyu. "Maaf, Bu. Di rumah kakak ipar saya kok ramai sekali. Ada apa ya?" tanyaku basa-basi."Safina kumat, Lik. Dia tiba-tiba teriak-teriak dan tertawa sendiri. Dia juga bilang ke orang-orang
Mataku menyipit ketika melihat siluet hitam berkelebat di depan kamar Zakira. Penasaran. Kuhampiri bayangan tersebut, berjalan mengendap-endap dan ketika ingin melayangkan pukulan ternyata Fahri lah yang sedang berada di depan kamar putriku."Sedang apa kamu di sini, Fahri?" tanyaku dengan suara sedikit meninggi."Sa--saya, saya kepengen ketemu sama Zakira, Pak!" jawabnya tergagap. Sorot matanya menunjukkan kalau dia sangat ketakutan luar biasa.Aku tersenyum menatap lelaki pemberani itu. Dia memang pantas menjadi pendamping hidup Zakira putriku. "Mari, silahkan masuk. Zakira ada di dalam kamar." Dia pun mengekor di belakangku, ikut masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu."Masuk ke kamar saja, Fahri. Zakira ada di dalam. Temui dia. Lepaskan rasa rindu kalian, dan bapak tidak akan melarang. Bila perlu, bermalamlah di sini karena kamu akan aman jika berada di rumah ini!" Fahri menatap ragu. Akan te
"Sayang, jangan capek-capek! Biar Mas yang ngerjain," ucapku seraya mengambil piring kotor yang ada di tangan Azalia dan segera mencucinya. Tidak tega melihat istri harus berjibaku dengan pekerjaan rumah sendiri, apalagi aku lihat tubuh Azalia semakin kurus sekarang ini."Mas, aku bisa kok. Nggak capek kalau nyuci piring doang," protesnya."Udah, nurut sama suami. Duduk saja. Bukankah tugas seorang istri itu harus menuruti apa kata suami?"Azalia memonyongkan bibir manja. Kalau suaminya sudah berkata seperti itu pasti dia akan menyerah serta menurut. Dia lalu duduk di meja makan, menatapku yang sedang mencuci piring sambil menikmati buah apel yang tergeletak di atas meja.Sudah dua hari ini kami menempati rumah yang baru dan belum mendapatkan asisten rumah tangga. Jadi, aku harus rajin-rajin membantu dia suapaya tidak terlalu capek. Bukankah tugas seorang suami itu harus memberikan sandang, papan serta pangan yang layak?"Mas, sudah belum? Kalau belum biar aku bantuin." Mata Azalia ti
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo