"Kenapa Ayah malah menamparku?" Mas Fahri berdiri. Menatap nyalang wajah Ayah mertua sambil mengusap pipinya."Karena kamu sudah kurang ajar. Kamu sudah mencoreng nama baik Ayah. Sudah mempermalukan ayah, juga mempermalukan keluarga pesantren!" "Kenapa Ayah lebih membela mereka dari pada aku? Aku ini anak Ayah, dan mereka ini orang asing!" Mas Fahri menunjuk ke arah kami."Karena kamu memang salah!""Memangnya kapan, sih. Ayah menganggap aku ini benar?!" Laki-laki yang terlihat penuh karisma itu melenggang pergi meninggalkan kami semua, menendang pintu begitu keras sambil mengumpat tidak jelas.Aku hanya bisa beristighfar dalam hati melihat reaksi pria yang masih menyandang status sebagai suami. Tidak menyangka dia memiliki sifat yang kasar seperti itu, karena wajah Mas Fahri terlihat begitu alim serta pendiam."Maafkan saya, Gus. Karena saya sudah mempermalukan keluarga njenengan. Maafkan Ayah, Nak Lia. Ayah sudah gagal mendidik suami kamu. Tapi Ayah janji akan membujuk Fahri supaya
"Mas Farhan. Sampean saja yang mengemudi. Saya sedang tidak bisa berkonsentrasi saat ini!" perintah pria dengan garis wajah tegas itu dan segera dijawab dengan anggukan oleh Ustaz Farhan."Astaghfirullahaladzim...," terdengar Paman beristighfar berkali-kali, mengusap wajah dengan kasar sambil menyandarkan tubuh di sandaran kursi mobil.Sesaat suasana menjadi hening. Aku hanya bisa mengikuti pemandangan dari jendela, dan sesekali ekor mata ini melirik paman yang duduk terdiam di sisiku. Sepertinya dia masih diselimuti rasa emosi. Mengambil napas berat. Menyandarkan kepala dengan mode masih tetap memandangi pemandangan di pinggir jalan raya. Hati ini bagai tercabik-cabik mengingat apa yang sudah dilakukan Mas Fahri. Dia telah menelanjangiku di depan banyak orang, melemparkan kotoran ke wajah keluargaku dengan cara keji seperti ini.Ya Allah...Berikan ketabahan serta kekuatan kepada hamba untuk menjalani semua ini. Semoga sa
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa!" tolakku secara halus.Spontan Mas Fahri menghentikan laju mobilnya, hingga terdengar suara decitan ban beradu dengan aspal. Wajah laki-laki yang sudah menjatuhkan talak satu kepadaku itu memerah padam, menunjukkan rasa marah yang begitu mendalam.Sungguh. Melihat raut wajahnya seperti itu aku benar-benar merasa takut. Apalagi keadaan di sekitar begitu sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas."Kamu tidak usah sok jual mahal, Azalia. Kamu itu perawan tua. Sudah ditolak sana sini, dan hanya aku yang mau menikahi kamu!" Dia mencengkram erat rahangku, hingga aku meringis kesakitan."Lepas, Mas. Sakit!" pekikku pelan. Namun, bukannya dia segera melepaskan. Pria berhidung tidak terlalu mancung itu malah terlihat begitu bersemangat menyakiti fisikku."Nangis aja, Lia. Kenapa kamu tahan. Saya suka liat air mata kamu. Merasa puas hati ini kalau berhasil membuat kamu menangis dan tersiksa. Sebab air matamu ini, aku anggap sebagai balasan dari apa yang telah
Dengan langkah memelan berjalan melewati orang-orang yang sedang menyemut, karena mereka semua berada di teras rumah Zalida. Ingin tahu apa yang terjadi dengan sahabatku itu.Mata ini memanas ketika melihat orang yang selalu ada ketika dalam keadaan suka maupun duka sudah berbaring kaku di atas pembaringan, dengan ditutup menggunakan kain jarik juga kerudung putih transparan menutupi wajah. Terlebih lagi ketika melihat Faza yang sedang menangis dalam pangkuan Bu RT. Dia masih terlalu kecil, akan tetapi sudah harus kehilangan sosok seorang ibu yang selalu memberi dia limpahan kasih sayang.Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.Kudekati tubuh itu. Membuka penutup wajahnya dan melihat ada banyak sekali luka lebam di wajah Zalida. Apa mungkin ini perbuatan Faisal mantan suaminya? Sebab tadi pagi aku lihat Zalida masih dalam keadaan baik-baik saja. Dia terlihat sehat dan t
"Ehem! Sudah sore, Li. Nanti kamu ketinggalan bus. Apa perlu Paman antar ke terminal?" Paman Fauzan mendekati sambil menggendong Faza dan kulihat ekor mata Paman melirik sekilas ke arah Mas Salim."Iya, Paman, aku...""Azalia ikut dengan saya, Gus. Saya juga mau pulang ke Jakarta," potong Mas Salim."Tidak usah, Salim. Dia biasa naik kendaraan umum. Nanti merepotkan kamu!" Air muka Paman terlihat berubah. Sepertinya dia masih belum bisa percaya kepada Mas Salim, karena dulu pernah mengecewakan kami semua."Nggak merepotkan, Gus. Kan kita satu arah. Faza, sini gendong sama Abi sebentar." Mas Salim mengulurkan tangannya, mengambil putraku dari gendongan paman seolah ingin menghindari negosiasi lebih lama dengan adik kandung Abah.Aku menghela napas dalam-dalam melihat keakraban Faza dan juga Mas Salim. Jika dia tahu Faza bukan putraku, apakah mas Salim masih memperlakukan Faza sebaik itu?"Li, kamu yakin ingin ke Jakarta dengan Sal
*Laju kendaraan yang dikemudikan oleh Mas Salim mulai memelan hingga perputaran keempat rodanya benar-benar berhenti. Pria berhidung bangir itu segera turun dan membukakan pintu untukku, seperti adegan di film-film yang pernah aku lihat. Hanya bedanya, kaki aku tidak keseleo sehingga Mas Salim harus menangkap tubuhku yang hampir terjatuh."Terima kasih, Mas," ucapku seraya menggantungkan tas di pundak."Sama-sama. Next time aku boleh main ke sini ya, Li? Kalau nggak mampir ke rumah sakit tempat kamu bekerja." "Monggo, Mas. Oh, iya. Ini, Mas. Buat tambahan beli bensin!" Menyodorkan dua lembar pecahan ratusan ribu, menyesuaikan ongkos travel dari Tegal ke Jakarta."Apa-apaan sih, Li. Memangnya aku ini supir angkot. Ambil balik. Buat beli susu Faza!" tolaknya secara halus. "Sekali lagi terima kasih!" Membungkukkan badan."Oke. Kembali kasih." Pria itu berjalan sambil tersenyum ke arahku, hingga dia tersandung b
Meletakkan ponsel di atas meja. Menimbang-nimbang apakah harus datang menemui Bunda ataukah mengabaikan permintaan perempuan berwajah teduh itu."Ngelamun mulu, Li. Ayo pulang. Udah sore!" Suster Sarah tiba-tiba saja datang mengagetkan."Duluan saja, Mbak. Saya masih ada urusan!" sahutku seraya mengembangkan sedikit senyuman.Wanita bertubuh gempal itu menautkan telunjuk dengan ibu jarinya membentuk huruf O, lalu segera keluar dari ruang ganti meninggalkan aku sendiri.Memantas diri di depan cermin, mengganti pakaian dinasku dengan gamis sederhana yang aku bawa. Tidak lupa menyapukan sedikit bedak di wajah, serta lipstik berwarna merah muda di bibir supaya tidak terlihat pucat. Cantik sempurna.'Kamu berdandan secantik itu untuk siapa, Li?' tanya hati kecilku ketika aku sedang memutar-mutar badan di depan kaca.Aku berniat datang ke rumah Bunda Efita dan sengaja berdandan cantik supaya jika bertemu dengan Mas Salim dia terpesona melihat wajahku. Astaghfirullahaladzim...Bukankah itu
"Sa--saya mau ketemu sama Bunda, Mbak." jawabku tergagap. Entah mengapa tiba-tiba rasa grosi menghinggapi hati."Ya sudah. Silahkan masuk. Kak Fita ada di dalam. Lagi nonton televisi sama Arjuna." Arjuna? Oh, iya. Aku baru ingat. Sepertinya ini Mbak Dewi adeknya Bunda Efita. Tapi, kenapa dia berada di rumah ini?Ah, sudahlah. Bukan urusanku juga dia mau tinggal di mana. Lagian, Mbak Dewi ini kan adiknya bunda. Jadi wajar kalau perempuan itu tinggal di sini.Dengan langkah sedikit ragu manaiki undakan teras, merasa dek-dekan karena ini pertemuan pertamaku dengan bunda setelah beberapa tahun kami tidak saling bertatap muka."Assalamualaikum, Bun!" Mengucap salam perlahan.Wanita dengan wajah cantik memesona itu menjawab salamku sambil berdiri. Riak wajahnya menunjukkan keterkejutan, akan tetapi aku melihat ada rindu begitu dalam di sorot matanya."Maa syaa Allah, Lia. Kamu apa kabar?" Dia berjalan mendekat, men
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo