"Kak, apa boleh aku dan Arjuna tinggal di rumah peninggalan Emak di kampung?" tanya Dewi ketika aku pamit pulang.
Aku menatap netra hitam perempuan berusia delapan belas tahun itu."Aku sudah nggak betah tinggal di rumah Om Surya. Apalagi sekarang ada Mbak Hafizah ikut tinggal di sana. Aku mau pisah sama Om Surya dan menjalani hidup berdua dengan Arjuna anakku." Suara Dewi terdengar serak dan berat.Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Aku tahu pasti semuanya terasa berat buat Dewi."Ya sudah kalau kamu memang mau tinggal di sana Kakak izinkan. Kamu juga berhak bahagia, Dewi. Kamu bisa mencari laki-laki yang lebih baik dari Papa Surya!" Aku berujar sambil membelai lembut rambut Dewi."Siapa yang mau sama perempuan tanpa rahim kaya aku, Kak?!" Kini mata adikku sudah dipenuhi kaca-kaca."Insya Allah ada, Wi. Kamu minta sama Allah, supaya Allah menjodohkan kamu dengan laki-laki yang mau menerima kePOV Salim.Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil sesekali menoleh ke belakang, berharap Bunda Fita mengejar serta mencegahku. Tapi rasanya tidak mungkin. Dia tidak mungkin mengejarku dan melarangku untuk pergi, karena aku bukan siapa-siapa di hatinya. Aku Cuma anak angkat yang kebetulan memiliki perasaan khusus kepada istri ayahku.Come on, Salim. Berharapnya jangan terlalu tinggi. Kamu sudah jatuh berkali-kali dan merasa sakit meskipun tidak berdarah. Kamu harus melupakan Bunda Efita dan membiarkan seseorang masuk, menyelam ke dasar hatimu supaya lekas bisa melupakan cinta pertamamu.Aku duduk di kursi panjang yang ada di halaman rumah sakit sambil menunggu Azalia muncul, ingin mengajak dia bicara empat mata dan memintanya untuk tidak menunggu. Tapi, sudah hampir setengah jam aku menunggu, wanita itu tidak kunjung muncul dan akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah menggunakan ojek online yang sudah aku
Ya Allah, jika dia memang jodohku, tolong dekat dia denganku. Tapi, jika cinta ini tidak terbalas tolong hapuskan rasa ini. Aku sudah tidak sanggup menahannya. Aku sangat tersiksa. Bahkan dengan cara menjauhkan diri dengan dia, justru menambah besar rasa cinta ini. Cinta macam apa ini, Tuhan.“Maaf, Mas. Sudah sore, sudah mau tutup!” Aku mendongak menatap wanita berhijab panjang menjuntai bersuara lembut seperti Bunda Efita itu.“Oh, iya. Saya juga sudah mau pulang,” jawabku sembari bangkit dan melenggang keluar dari agrowisata kampung Krisan Clapar tersebut.Aku menoleh memastikan kalau wanita itu benar-benar ada dan aku tidak sedang berhalusinasi, dan ternyata dia sedang menatapku hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut. Dia mirip sekali dengan Bunda Efita. Postur tubuhnya, senyumnya, suaranya, bahkan cara dia berjalan pun persis seperti istri ayahku.Apakah Allah sengaja mengirim dia sebagai penawar lukaku?
Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan sedang membelah hujan yang terus saja mengguyur kota Semarang. Mataku menyipit ketika melihat seorang wanita berhijab sedang berdiri sendirian di trotoar, sementara jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Gegas aku menepikan mobilku karena ternyata dia perempuan yang aku temui di kaki gunung Ungaran.“Assalamualaikum, Mbak. Ngapain malam-malam sendirian di sini. Bahaya loh. Apalagi sedang hujan seperti ini?” sapaku sembari menelisik tubuhnya yang sudah setengah basah karena tertimpa air hujan.“Waalaikumussalam, Mas. Saya sedang menunggu angkutan umum. Tapi sudah hampir satu jam menunggu, tidak ada satu pun angkot ataupun tukang ojek yang melintas,” jawab si wanita sambil terus memeluk buku di dada.“Pulangnya ke mana? Biar saya antar.” “Ke Ngalian, Mas. Tidak usah, takut merepotkan.” Dia menatapku curiga. Mungkin karena tidak saling kenal jadi dia takut aku berbuat macam-macam kepadanya.
Aku memperlambat laju kendaraanku dan menepi sebentar di rest area untuk menjalankan salat Zuhur, juga menenangkan hati yang kian dilanda gelisah.Berkali-kali aku menghubungi Ummi dan juga Abi, tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Pun dengan nomor Salman dan juga Ayah. Ingin menghubungi Bunda Efita rasanya tidak mungkin. Aku belum siap kembali mendengar suara indahnya.‘Lindungi semua keluargaku dari mara bahaya ya Allah. Lindu aku juga yang sedang dalam perjalanan menuju pulang,’ batinku seraya kembali memacu mobil membelah kemacetan jalan tol.Jantungku semakin mengentak kuat ketika mulai memasuki komplek perumahan dimana keluargaku tinggal. Banyak sekali orang lalau lalang di halaman rumah Nenek dan ada bendera kuning juga di depan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku. Siapa yang meninggal?Aku memarkirkan mobilku jauh dari pekarangan rumah dan menerobos masuk ke dalam. Semua orang menatapku, tidak terkecuali Pak
Bunda Fita langsung menyuntikkan insulin di perut Ayah, menghubungi dokter langganan dan terus menyeka air mata yang berlomba-lomba lolos dari netra wanita itu.Terkadang aku merasa iri sendiri jika melihat dia memperlakukan Ayah seperti itu. Ayah sakit. Memberi nafkah batin secara sempurna pun mungkin tidak mampu karena memang kata dokter Ayah sudah tidak bisa memuaskan Bunda di atas ranjang. Tapi, Bunda Fita itu selalu menerima Ayah apa adanya dan terlihat begitu menyayangi Ayah. Cinta sejati itu memang selalu melengkapi. Tidak peduli dengan kekurangan pasangannya, karena mereka selalu melihat dari segi kelebihan yang dimiliki si pasangan.Perlahan-lahan mata Ayah terbuka. Dia tersenyum kepada Bunda dan mengusap lembut pipi istrinya.“Maaf ya, Sayang. Lagi-lagi aku merepotkan kamu,” ucap ayah pelan, hampir tidak terdengar.“Nggak, Yah. Ayah tidak pernah merepotkan Bunda.” Wanita berhijab biru itu mengusap lembut kepala Ayah.S
“Salman, kenapa kamu malah menangis?” Mengguncang tubuh adik lelakiku.“Baca Yasin, Kak!” jawabnya sambil tergugu.Seketika lulutku lemas tidak mampu menopang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku mengambil kain panjang yang ada di dalam lemari dan menutup tubuh lelaki yang paling aku sayangi itu dengan kain tersebut hingga ke wajahnya.“Apa-apaan ini, Salim. Kenapa kamu tutup wajah Ayah kamu. Nanti dia tidak bisa bernafas bagaimana?” Bunda Fita kembali membuka kain yang menutupi wajah Ayah, sambil menangis meraung memeluk tubuh sang suami.“Ikhlaskan Abang, Mbak. Abang sudah nggak ada.” Ummi mencoba menenangkan Bunda Fita, walaupun dia sendiri sangat terlihat syok dengan kepergian Ayah.Mengusap pipi Ayah yang sudah sedingin es, menatap lekat wajahnya yang terlihat sangat damai serta dihiasi indahnya senyuman di bibirnya.Ya Allah, Ayah. Kenapa Ayah tega meninggalkan kami semua. Kasihan Syabil masih terl
Aku menelan saliva yang terasa getir, sekaligus malu karena ternyata Bunda Efita malah menolakku.“Maaf ya, Salim. Aku tidak bisa menjadi istri kamu. Kamu itu masih muda, masih bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, dan aku yakin banyak perempuan di luaran sana yang mau menjadi pendamping hidup kamu.”“Tapi aku maunya sama Bunda. Bunda tahu kan, Sejak dulu aku memang sudah menyimpan rasa kepada Bunda, bahkan jauh sebelum Bunda menikah dengan Ayah.” “Aku sudah tidak mau mencari pendamping hidup lagi, Salim. Karena aku sangat mencintai Ayah kamu. Aku sudah pernah gagal menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Akmal. Dan ketika aku sedang terpuruk, Ayah kamu datang menjadi penawar luka di hatiku. Dia mau menerimaku walaupun saat itu aku belum bisa move on dari mantan suamiku. Dia begitu sabar menghadapi sikapku, dia sabar menunggu hingga akhirnya aku benar-benar bisa jatuh cinta kepadanya. Ayahmu itu laki-laki paling baik. Dia ti
Menggenggam hendel pintu, memutarnya perlahan sambil mengucap salam pelan. Abi dan Ummi sedang duduk di ruang tengah sambil bercengkerama. Hatiku mencelos melihat kebahagiaan mereka berdua saat ini. Jika aku nekat menikahi Bunda Fita, aku yakin senyum yang terkembang di bibir manis Ummi akan berubah menjadi air mata.Ya, aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh memikirkan kebahagiaanku sendiri dengan menukar kebahagiaan orang lain. Sudah lebih dari dua puluh tahun Ummi menahan luka, kini ketika dia sudah merasa bahagia, aku tidak mungkin dengan tega mematahkan kebahagiaannya.“Ada apa, Salim?” tanya Ummi seraya tersenyum menatapku.“Aku mau bicara penting sama Abi dan Ummi,” sahutku sembari duduk di samping dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu.“Kamu mau bicara apa, Lim? Apa kamu akan menikah?” Ledek Abi.Aku tersenyum samar menanggapinya.“Iya, Abi. Aku berniat melamar Safina temanku di Semarang. Jika Abi dan Ummi
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo