Genji menengok ke kanan kiri, mencari tempat parkir di kampus. Ia melajukan mobil dengan lambat sambil bergumam, "tumben ni parkir rame banget." Senyum terulas kala dilihatnya ada satu tempat kosong di samping mobil Alphard hitam."Anak jurusan apa nih ke kampus bawa Alphard," ucapnya pelan saat turun dari mobil. Ia mengunci mobil lalu berjalan menuju ruang dosen pembimbing.Saat menaiki tangga, seorang teman menyapanya. "Kapan sidang?""Masih dalam mimpi. Tiga bulan bolak balik revisi bab 5," jawab Genji pasrah.Temannya tertawa kecil, "kayaknya sih Pak Abdi gak tega lepasin mahasiswa telatan kayak kamu.""Sialan," umpat Genji sambil memukul pelan bahu temannya. "Kampus sebelah rame banget.""Pensinya arsitek ngundang artis.""Oh, penyanyi?"Teman Genji mengangguk, "penyanyi dan bintang film, Camilla Safea.""Gak kenal," jawab Genji cuek. Mereka tiba di lantai 2 ruang para dosen berada. "Aku bimbingan dulu, do'ain ya," ucap Genji bersiap memasuki ruangan Pak Abdi."Good luck," jawa
Suara musik menggema di setiap sudut ruang kamar bercat abu, padahal jam baru menunjuk angka lima. Masih terlalu pagi untuk membuat keributan. Untung saja, mereka memasang peredam suara sehingga tidak mengganggu penghuni lain dalam komplek.Zira menggerakkan tangan dan kaki mengikuti setiap alunan musik. Punggungnya sudah membaik, kali ini ia benar-benar bisa menikmati hidup. Hari ini, ia harus berangkat ke Surabaya untuk proses syuting film Aidan. Ia butuh menjaga mood karena itulah musik yang ceria menjadi andalannya."Saatnya bekerja," ucap Zira dengan senyum sambil mematut penampilannya dalam cermin.Ia mengambil topi, mematikan musik lalu menggeret koper keluar kamar. Menuruni anak tangga dengan perlahan karena beban koper yang cukup berat. Sampai di depan kamar sang adik, ia pun mengetuk pintu.Tidak menunggu lama, pintu terbuka. Wajah kesal Genji muncul menyambut Zira."Harus gitu aku ikut kakak syuting?" tanya sang adik lesu.Zira tersenyum mengangguk. "Kalau bukan kamu siapa
Zira melongo, melihat adegan adu mulut antara adiknya dengan Lala di depan kamar."Astaga mulutnya!" Genji menarik napas panjang."Kamu pasti buntutin aku! Stalker!" geram Lala. Matanya nyalang menatap Genji."Idih, kepedean banget," ketus Genji.Zira mendekati adiknya, berkata pelan, "sudah Gen, jangan bikin keributan!"Ia menatap sopan ke arah Lala, merasa tidak enak hati dengan situasi sekarang. "Lala, aku minta maaf jika adikku bikin salah tapi Genji ke sini untuk jadi asistenku," jelasnya.Cita ikut mendekat, berkata dengan pelan, "aku rasa ini cuma kesalahpahaman."Lala mencebik, melirik tajam ke arah Genji. "Oh adikmu? Ajarin dia sopan santun.""Kamu ...,"Zira menahan Genji yang ingin membalas perkataan Lala. Ia elus dada sang adik agar lebih tenang.Lala menatap Cita, berkata dengan wajah datar, "pesankan kamar lagi. Aku tidak mau berdekatan dengan orang luar.""Aku juga ogah deket-deket artis sok kayak kamu," tukas Genji sinis.Lala menggeram, menghentakkan kaki, lalu membuk
Zira tersenyum ketika melihat seorang pria masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dilihatnya pria itu bernapas lega ketika lift kembali tertutup. Saat sang pria akan menekan tombol lift, ia pun berkata, "dikejar penggemar?"David terkesiap lalu menoleh ke samping kiri, "astaga! Ternyata kamu."Zira tertawa kecil menatap David yang terkejut. "Dari mana?" tanyanya lembut.David mundur, berdiri di samping Zira. "Mau ke bar, eh malah ketemu fans gila.""Superstar memang beda, fans ada di mana-mana."David merapikan kerah sambil berkata dengan sombong, "ya gimana ya ... punya wajah tampan memang merepotkan."Zira geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Tapi ... wajah tampan tidak luput dari kritikan Aidan juga, ya."Pria itu menghela napas pendek, menatap kosong lift. "Menyedihkan, hari ini aku take ulang sebanyak 7 kali." David, aktor kenamaan yang sudah berakting sejak usia 7 tahun, selalu berhasil hanya dengan satu kali take. Namun, kesempurnaan yang dituntut oleh sutradara Aidan memb
Zira memperhatikan Aidan yang sedang menjelaskan emosi tokoh Alexa yang akan diperankannya nanti. Duduk berdekatan di satu sofa yang sama, dengan kulit yang bersentuhan membuat hatinya berdebar-debar dengan degupan jantung seperti bunyi genderang perang."Fokus, Zi!" ucap Zira dalam hati sambil memukul pelan kepalanya."Kenapa?"Kedapatan bertingkah aneh, Zira menjadi salah tingkah. "Ti ... dak apa-apa," jawabnya tergagap.Aidan mengangguk lalu kembali melanjutkan penjelasannya.Alih-alih mendengarkan perkataan sang sutradara, fokus Zira malah ke wajah Aidan. Alis tebal yang rapi, mata sedikit sipit dengan pupil hitam legam, memancarkan aura dingin. Hidung mancung dan bibir tipis. Senyum terulas dari bibirnya, tidak dipungkiri ia mengagumi ketampanan pria itu."Sudah paham?"Pertanyaan dari Aidan membuat Zira terhenyak dari lamunan. "Iya, gimana?"Aidan tersenyum. "Fokus, Zi! ucapnya lembut sambil menyentil dahi wanita yang sedang tertawa canggung karena merasa sudah kepergok melakuk
Dengan tas punggung kecil berwarna krem, Zira berjalan dalam pesawat sambil melihat nomor bangku. Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan tempat duduknya, tapi tidak lama kemudian senyumnya pudar berganti dengan wajah masam. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi ia sangat mengenali pria yang sedang duduk dengan kacamata hitam di sebelah bangkunya. "Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang?" ucapnya dalam hati. Zira menarik napas dalam-dalam, menutupi kesedihan yang kembali menyeruak di hatinya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan orang yang pernah menyakitinya. Dengan tatapan tegas ia pun berkata, "permisi, bisa lewat sebentar?"Seorang pria dengan rambut yang diikat ke atas menoleh ke arah Zira. Ia melepas kacamatanya, menatap cukup lama tanpa kata hingga wanita itu berdehem. "Silakan!" ucapnya pelan sambil memberikan ruang pada Zira. Setelah menaruh tas dalam kabin, wanita itu melangkah menuju bangkunya. Saat itulah tanpa sengaja tangan mereka bersentuha
"Jika pihak kedua memutuskan kontrak secara sepihak maka harus mengganti denda sebesar 2M." Zira terbelalak dengan mata membola sempurna setelah membaca sanksi pembatalan kontrak. "Konyol. Ini namanya pemerasan," gumamnya kesal sekaligus tidak percaya.Aidan kembali ke meja makan dengan membawa dua gelas kopi, lalu menyerahkan satu gelas kepada Zira. "Apa ruginya kamu ikut filmku?" tanyanya dengan nada tenang namun penuh tantangan.Zira berdecih. "Tidak ada untungnya juga aku main filmmu.""Oh, jadi kamu lebih senang adikmu masuk penjara?" Aidan menatapnya dengan seringaian puas. "Dengan kamu ikut filmku, kamu bisa tinggal di sini dan juga menghasilkan uang. Kariermu juga bisa meningkat di Indonesia."Zira meremas map merah di tangannya lebih kuat. Hatinya berkecamuk antara marah dan putus asa. Apa yang ada di pikiran adiknya sampai-sampai bisa menandatangani perjanjian seperti itu?"Pikirkan baik-baik! Jangan lupa nanti siang kamu harus datang ke Studio AB," ucap Aidan lembut tapi t
Setelah rapat, Zira berpamitan dengan Braga dan yang lainnya. Ia berjalan ke lobby sambil memesan taksi online. "Jam padat seperti ini susah untuk memesan taksi, bareng denganku saja."Zira menoleh ke sumber suara yang sangat ia hafal. "Tidak, terima kasih," ucapnya ketus lalu kembali mencoba memesan taksi online."Zi ...," panggil Aidan pelan, tapi Zira tidak mendengarkan dan berlalu melewati pria tersebut. Ia berjalan keluar studio tanpa berpamitan pada Aidan.Saat Zira berdiri di depan Studio AB sambil memesan taksi online, sebuah mobil sedang mewah berhenti di depannya. "Zizi!" panggil seorang pria dari dalam mobil. "Sulit dapan taksi?"Zira menoleh ke arah mobil, sambil tersenyum canggung ia menjawab, "iya, sudah 3 kali cancel.""Ayo masuklah. Aku akan mengantarmu," ajak pria tersebut.Zira berpikir sejenak, melihat aplikasi taksi online yang tidak ada respon ia pun memutuskan menerima tawaran sang pria."Terima kasih, Braga," ucap Zira saat sudah duduk di sebelah pria itu. "Ak
Zira memperhatikan Aidan yang sedang menjelaskan emosi tokoh Alexa yang akan diperankannya nanti. Duduk berdekatan di satu sofa yang sama, dengan kulit yang bersentuhan membuat hatinya berdebar-debar dengan degupan jantung seperti bunyi genderang perang."Fokus, Zi!" ucap Zira dalam hati sambil memukul pelan kepalanya."Kenapa?"Kedapatan bertingkah aneh, Zira menjadi salah tingkah. "Ti ... dak apa-apa," jawabnya tergagap.Aidan mengangguk lalu kembali melanjutkan penjelasannya.Alih-alih mendengarkan perkataan sang sutradara, fokus Zira malah ke wajah Aidan. Alis tebal yang rapi, mata sedikit sipit dengan pupil hitam legam, memancarkan aura dingin. Hidung mancung dan bibir tipis. Senyum terulas dari bibirnya, tidak dipungkiri ia mengagumi ketampanan pria itu."Sudah paham?"Pertanyaan dari Aidan membuat Zira terhenyak dari lamunan. "Iya, gimana?"Aidan tersenyum. "Fokus, Zi! ucapnya lembut sambil menyentil dahi wanita yang sedang tertawa canggung karena merasa sudah kepergok melakuk
Zira tersenyum ketika melihat seorang pria masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dilihatnya pria itu bernapas lega ketika lift kembali tertutup. Saat sang pria akan menekan tombol lift, ia pun berkata, "dikejar penggemar?"David terkesiap lalu menoleh ke samping kiri, "astaga! Ternyata kamu."Zira tertawa kecil menatap David yang terkejut. "Dari mana?" tanyanya lembut.David mundur, berdiri di samping Zira. "Mau ke bar, eh malah ketemu fans gila.""Superstar memang beda, fans ada di mana-mana."David merapikan kerah sambil berkata dengan sombong, "ya gimana ya ... punya wajah tampan memang merepotkan."Zira geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Tapi ... wajah tampan tidak luput dari kritikan Aidan juga, ya."Pria itu menghela napas pendek, menatap kosong lift. "Menyedihkan, hari ini aku take ulang sebanyak 7 kali." David, aktor kenamaan yang sudah berakting sejak usia 7 tahun, selalu berhasil hanya dengan satu kali take. Namun, kesempurnaan yang dituntut oleh sutradara Aidan memb
Zira melongo, melihat adegan adu mulut antara adiknya dengan Lala di depan kamar."Astaga mulutnya!" Genji menarik napas panjang."Kamu pasti buntutin aku! Stalker!" geram Lala. Matanya nyalang menatap Genji."Idih, kepedean banget," ketus Genji.Zira mendekati adiknya, berkata pelan, "sudah Gen, jangan bikin keributan!"Ia menatap sopan ke arah Lala, merasa tidak enak hati dengan situasi sekarang. "Lala, aku minta maaf jika adikku bikin salah tapi Genji ke sini untuk jadi asistenku," jelasnya.Cita ikut mendekat, berkata dengan pelan, "aku rasa ini cuma kesalahpahaman."Lala mencebik, melirik tajam ke arah Genji. "Oh adikmu? Ajarin dia sopan santun.""Kamu ...,"Zira menahan Genji yang ingin membalas perkataan Lala. Ia elus dada sang adik agar lebih tenang.Lala menatap Cita, berkata dengan wajah datar, "pesankan kamar lagi. Aku tidak mau berdekatan dengan orang luar.""Aku juga ogah deket-deket artis sok kayak kamu," tukas Genji sinis.Lala menggeram, menghentakkan kaki, lalu membuk
Suara musik menggema di setiap sudut ruang kamar bercat abu, padahal jam baru menunjuk angka lima. Masih terlalu pagi untuk membuat keributan. Untung saja, mereka memasang peredam suara sehingga tidak mengganggu penghuni lain dalam komplek.Zira menggerakkan tangan dan kaki mengikuti setiap alunan musik. Punggungnya sudah membaik, kali ini ia benar-benar bisa menikmati hidup. Hari ini, ia harus berangkat ke Surabaya untuk proses syuting film Aidan. Ia butuh menjaga mood karena itulah musik yang ceria menjadi andalannya."Saatnya bekerja," ucap Zira dengan senyum sambil mematut penampilannya dalam cermin.Ia mengambil topi, mematikan musik lalu menggeret koper keluar kamar. Menuruni anak tangga dengan perlahan karena beban koper yang cukup berat. Sampai di depan kamar sang adik, ia pun mengetuk pintu.Tidak menunggu lama, pintu terbuka. Wajah kesal Genji muncul menyambut Zira."Harus gitu aku ikut kakak syuting?" tanya sang adik lesu.Zira tersenyum mengangguk. "Kalau bukan kamu siapa
Genji menengok ke kanan kiri, mencari tempat parkir di kampus. Ia melajukan mobil dengan lambat sambil bergumam, "tumben ni parkir rame banget." Senyum terulas kala dilihatnya ada satu tempat kosong di samping mobil Alphard hitam."Anak jurusan apa nih ke kampus bawa Alphard," ucapnya pelan saat turun dari mobil. Ia mengunci mobil lalu berjalan menuju ruang dosen pembimbing.Saat menaiki tangga, seorang teman menyapanya. "Kapan sidang?""Masih dalam mimpi. Tiga bulan bolak balik revisi bab 5," jawab Genji pasrah.Temannya tertawa kecil, "kayaknya sih Pak Abdi gak tega lepasin mahasiswa telatan kayak kamu.""Sialan," umpat Genji sambil memukul pelan bahu temannya. "Kampus sebelah rame banget.""Pensinya arsitek ngundang artis.""Oh, penyanyi?"Teman Genji mengangguk, "penyanyi dan bintang film, Camilla Safea.""Gak kenal," jawab Genji cuek. Mereka tiba di lantai 2 ruang para dosen berada. "Aku bimbingan dulu, do'ain ya," ucap Genji bersiap memasuki ruangan Pak Abdi."Good luck," jawa
"Kakak kenal mobil di belakang?" tanya Genji sambil melirik spion samping kanan.Zira menengok ke belakang, memastikan penglihatannya."Dari kita keluar rumah sakit, dia terus ngikutin," imbuh Genji.Zira duduk menghadap depan lagi. "Itu mobilnya Braga. Berhenti di minimarket depan aja."Genji mengangguk, sambil tertawa kecil ia berkata, "usaha sekali ya buat tahu rumahmu."Zira berdecak, melirik malas ke arah adiknya. "Dia bilang ada urusan di daerah Kenangan.""Terus kita ngapain ke minimarket?" tanya Genji bingung."Belanja lah. Kamu pikir kita lagi dibuntuti terus mengalihkan perhatian gitu? Ah, kamu kebanyakan nonton drama.""Gak seru," ucap Genji malas lalu membelokkan mobil ke minimarket.Zira melirik ke arah mobil Braga lewat spion, ia merasa Braga mulai curiga akan hubungannya dengan Aidan. Saat turun, sekilas dilihatnya mobil sang produser berhenti di tepi jalan. Namun, tak lama mobinya melaju kembali, Zira pun bisa bernapas lega.Setelah selesai belanja, Zira dan Genji mela
"Sudah semua?" tanya Zira saat keluar dari toilet setelah mengganti baju pasien dengan bajunya sendiri. Hari ini dokter sudah membolehkannya pulang dan menjalani rawat jalan.Aidan yang masih merapikan baju Zira di dalam tas berhenti sebentar lalu melihat sekeliling ruangan. "Iya, tinggal ini saja."Zira mengangguk, duduk di sofa menunggu Aidan menyelesaikan pekerjaannya. Tak lama, suara pintu terbuka. "Aidan! Di sini juga?" tanya Braga terkejut melihat Aidan merapikan barang pribadi Zira."Iya," jawab Aidan singkat.Braga mengangkat alis, bertanya dalam hati sejak kapan Zira dan Aidan menjadi dekat. Ia mendekati Zira, ikut duduk di sebelah wanita itu.Ia menoleh ke arah Aidan lagi dan memperhatikannya. Dengan tatapan heran ia pun berkata, "omong-omong sejak kapan kalian dekat?"Zira terkejut, "ha?" Ikut melihat ke arah Aidan. "Oh itu, apa aku tidak pernah mengatakan kalau Aidan teman SMA-ku?"Braga kaget, tidak menyangka Aidan sudah lama mengenal Zira. Pantas saja pria itu mudah mem
Zira memasang earphone di telinga, memutar musik lewat ponselnya. Ia Menoleh sekilas ke arah Aidan. Sambil mengangkat alis, ia berkata, "ngomong apa?"Aidan menghela napas, merasa sia-sia telah menyatakan keinginannya. Ia hanya bisa menggeleng lalu berkata, "ah, bukan apa-apa."Zira mengangkat bahu, lalu membaca naskah film yang diberikan oleh Cita tadi siang. Sedangkan Aidan membuka ponsel, bermain game sambil menemani Zira.Setelah membaca beberapa lembar, Zira mengernyit sambil berpikir. Ia pun menoleh ke Aidan lagi. "Dan, ini ada tambahan adegan romantis antara Alexa dengan Demon?"Aidan berkata tanpa menoleh, "iya, kemarin Cita sudah bicara, biar konflik Reina dan Alexa lebih intens.""Adegannya ciuman?" tanya Zira pelan.Seketika Aidan berhenti main ponsel lalu mengambil naskah dari tangan Zira. Ia membaca dengan teliti tambahan adegan yang disusun Cita. Tanpa ragu, ia menelpon Cita memintanya untuk menghapus adegan tersebut.Zira tersenyum tipis melihat sikap Aidan. Ia bisa mer
Genji menengok sekilas ke belakang sesaat keluar dari rumah dosennya. Ia berdecak kesal, menggerutu, berjalan menuju motor bebek yang ia parkir di halaman rumah sang dosen."Benar-benar dah, Pak Abdi! Kalau gak ingat berkah ilmu tergantung guru, udah keluar semua ini nama binatang."Ia menstarter motor, tapi seolah nasib sial menyertainya, motor tidak nyala juga. "Ah elah, kenapa juga ni motor pakai ngadat segala." Ia berusaha menstarter kembali sambil berdo'a. Saat motor hidup, ponselnya berbunyi. Dengan terpaksa, ia mematikan kembali mesin motornya."Siapa lagi ini yang telpon?" ucapnya sambil membuka ponsel. "Ah, tuan putri." Ia pun menekan tombol terima."Bakso akiw?""Sekarang?" Ia mematikan panggilan lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. "Demi kelancaran donasi, mohon kerja samanya, ya," ucapnya penuh harap sambil mengelus kepala motor lalu kembali menstarter motor. Bersyukur motor langsung hidup tanpa kendala.Genji melajukan motor menuju mangga besar, kawasan Ch