Pintu terbuka lebar. Udara dingin berembus menerpa kulit juga membuat api mati. Butiran salju tertiup masuk seperti ombak kecil di pantai menghias lantai kayu. Sosok besar berdiri di depan pintu menebar teror, membuat suara teriakan Aira dan Bayu semakin kencang tanpa koma atau titik.
Sosok itu bicara memakai bahasa aneh.
Aira semakin erat memeluk Bayu. "Jangan mendekat! Astagfirullah! Setan! Bayu, kamu hapal surat kursi?"
"Mana hafal!"
"Mampus, kita bakal diculik gendruwo!"
"Allahuakbar!" teriak Bayu, matanya melotot seperti hendak keluar.
"Do you speak English?" tanya makhluk itu, membuat teriakan Aira dan Bayu sontak terhenti.
"Mungkin mereka orang Arab," ujar sosok yang menunggu di depan, berucap memakai bahasa Inggris. Cahaya terang senter menyorot wajah Aira dan Bayu, membuat keduanya menyipit karena silau. "Mereka hanya sepasang muda-mudi, Josh."
Perlahan mata mereka mulai terb
Kedua pemuda bertukar pandang dingin seakan ingin saling menerkam. Mereka tidak mau mengalah, hingga Lukman dan Kevin memisahkan mereka. Kevin berkata, "Kai, cukup. Bayu sendiri juga cidera, lihat kakinya." Tongkat membantu Bayu berdiri tegak. Kakinya keseleo. Terdapat kantung panda di bawah mata tanda jika dia lelah. Kai melepas cengkeraman pada jaket Bayu. "Maaf. Aku khawatir pada kalian berdua. Mana Aira?" Dengan memakai bahasa Inggris Bayu meminta tolong Nenek untuk mengantar Kai menuju rumah. Ana memutuskan ikut Kai, sementara Bayu dan yang lain pergi menuju pub. Sesekali cahaya kuning keemas-emasan dari lampu penerangan menyinari trotoar berselimut salju. Udara dingin semakin terasa ketika mereka semakin jauh dari pub. "Banyak rumah kosong, ya?" tanya Ana sembari memandang banyak gedung gelap di sekitar mereka. Nenek tertawa kecil. Beliau menceritakan kepada Kai dan Ana apa yang dia ceritakan
Aira tidak bergerak dari duduknya di kursi makan. Bukan berarti dia tidak ingin pergi bersama Kai, bahkan sebenarnya dia sangat ingin. Banyak hal yang hendak dia tanyakan, hanya saja ia menjaga nama baik Bayu. Sebagai seorang istri walau kontrak sekalipun, bagaimana mungkin dia pergi dengan lelaki lain? Seorang Kru datang menaruh disk eksternal ke meja tamu dalam rumah. Ia memandang sekitar sambil bertanya pada Aira, "Kak Kai kok tidak kelihatan, pergi ke mana?" "Katanya tadi pergi mau cari angin. Bayu masih lama pulangnya?" "Masih lama banget." Raut wajah pemuda mulai nakal menggoda Aira. "Cie, kangen sama suami. Baru nikah sih, jadi hangat-hangat tai kucing." Mata Aira berputar." Bukan begitu. Aku tuh mengantuk banget, mau tidur, tapi menunggu dia pulang dulu." Dia menepuk-nepuk mulut yang menguap. "Kira-kira kapan dia pulang?" "Mungkin masih lama banget. Bayu sekarang sedang bertemu wali kota, mendiskusikan hal penting. Oh iya hampir
Beberapa jam yang lalu. Setelah mengambil konten Bayu bersama Aira, Lukman duduk di teras sambil menikmati sarapan bersama yang lain. Suara obrolan mendominasi. Asap tipis aroma cokelat keluar dari atas mug. Benda putih tebal itu memberi hangat pada telapak tangannya. Ia fokus mengamati sosok yang dia kagumi. "Man, lihat." Lukman menoleh. Busa cokelat menutup bagian atas bibir Kevin. Benda itu terlihat seperti kumis unik mirip kumis tokoh pak tua pria monopoli. Tetapi Lukman menanggapi datar. Kevin menyenggol lengan Lukman. "Bagus tidak?" "Bagus sih, tapi tidak sebagus yang di dalam." "Yang di dalam? Siapa?" tanya Kevin penasaran. Dia ikut memandang ke dalam rumah. "Maksudmua Aira?" "Ana." "Ana?" Lukman tersenyum. "Matanya sejernih air danau Swiss. Rambutnya hitam sehalus sutera tertiup angin. Suaranya selembut lantunan dawai. Gue ingin banget memeluk erat tuh cewek, gue memanjakan, gue taruh ke
Sepertinya semua akan berubah. Lukman yakin Ana gadis baik. Dia pasti akan melihat jauh ke depan. Buat apa bersama Kai, sosok yang dingin, sementara ada Lukman yang mencintainya dengan tulus. "Iya, aku suka dia!" Jawab Ana. "Aku suka Kai, karena dia tampan, dia spesial, dia baik sekali, dan dia dingin, tidak peduli padaku. Aku ingin dia peduli padaku!" Sontak cengkeraman lepas begitu saja. Bola mata Lukman mulai basah, bibir tebal sedikit cokelat itu bergetar. Suara hisak terdengar pilu. Cinta tulus tak terbalas, bahkan sosok seperti Lukman rapuh akan hal ini. Ana memandang sekitar. Para kru berbisik-bisik, sementara Kevin membuang wajah. Ia menggapai jempol tangan besar hitam milik Lukman. Tiada reaksi dari pemuda itu. Ana mengambil sapu tangan warna merah jambu dari dalam saku jaket, mengusap pipi Lukman. "Jangan menangis, kamu pria besar, pria kuat. Aku yang salah. Jadi, maaf ya, kita ... kita bersahabat saja--bukan, kita kakak-adik saja, ya.
Keadaan semakin liar dan tidak terkendali. Lukman dan Kai tak mau mengalah, keduanya bertukar tinju menggelepar di lantai. Kevin tak mampu memisah mereka. Para kru seperti setengah-setengah membantu. Bahkan salah satu kru film malah merekam kejadian ini. Aira kesal dengan apa yang terjadi. Dia menendang Lukman dan Kai, menjewer kedua pemuda secara bersamaan hingga keduanya berdiri. Baik Lukman dan Kai tidak melawan. Mungkin keduanya tidak ingin berbuat kasar pada wanita. "Kalian bersahabat, kenapa malah adu jotos!" Aira menarik kencang telinga kedua pemuda, lalu memandang judes pada para kru. "Dan kalian. Kenapa malah merekam? Apa ini settingan?" "Bukan mbak ini--" Lalu Aira beralih memandang Kevin. "Ada apa sebenarnya?" "Sebenarnya ini cuma salah paham," jawab Kevin. "Lepas Aira, sakit," pinta Kai, meringis. "Heh, lepas!" sentak Lukman, berusaha meronta, tapi gagal. "Barbar banget sih lo? Lepas tidak?" "Tidak!" Bentak
Semua menjadi malam petaka. Baru saja Bayu merubah penilaian terhadap Aira. Baru saja dia ingin mengerti jika gadis itu adalah gadis baik, tetapi berita yang dia dapat memutar balik semua itu. Malam terakhir di kota hantu Bayu dan Aira duduk berhadapan. Meja kayu bundar menjadi pemisah diantara mereka. Aroma coklat panas dari mug di atas meja tak mampu membuat hati keduanya tenang. Hening sudah rumah itu karena Mikhail terlelap bersama Nenek dan Josh masih asik di pub. "Katakan kenapa lo keluar sama Kai?" Suara Bayu terdengar dingin. Dia memandang Aira dengan tajam. Sementara gadis di depannya dengan lesu memandang tangan yang sedang memutar-mutar mug. "Gue tidak tahu, isi hati lo. Tapi lo harus tahu isi hati gue. Dengar. Kai sahabat gue, lo istri gue, jaga sikap!" bentak Bayu. "Lo istri gue! Jangan pergi berduaan ke tempat sepi sama lelaki lain, lo dengar?" Baru terengah. Beret urat muncul di lehernya. Dia benar-benar terbakar oleh aksi Aira. "
Sementara itu di konferensi pers. Para wartawan bagai tentara semut, berkumpul tertata rapi duduk manis di kursi lipat menghadap meja panjang. Ruang itu pun gaduh oleh arus bisik-bisik mereka. Papan raksasa berdiri gagah di belakang Raul dan Cecil. Terdapat tulisan Genrecorps di bawah lambang matahari bermata satu. Cecil duduk di sebelah Raul. Di sisi lain duduk beberapa pria berjas hitam. Cahaya flash kamera milik puluhan wartawan tak merubah senyum buatan Cecil yang nampak tulus. Suara obrolan ringan semakin meredup oleh suara tepukan pada kepala mic oleh pria berjas hitam, salah satu warga Genrecorps. "Test test," ucap pria berjas di sebelah Cecil, sekarang semua mulut wartawan tertutup rapat. "Konferensi kali ini akan dibuka dengan beberapa pernyataan dari Tuan Raul, CEO utama Genrecorps grup. Nanti akan ada sesi tanya jawab, jadi diharap teman-teman wartawan mengikuti aturan main yang ada, atau boleh angkat kaki dari sini sebelum diusir. Mari Tuan Raul, dipersil
Gemercik air kolam mendominasi. Kai melangkah masuk ke rumahnya, duduk di sofa dalam ruang tengah. Dia berselonjor kaki dalam remang cahaya teras menyinari taman kecil, kolam ikan, juga gazebo di tengah kolam yang menjadi pemandangan baginya. Dia merindu pada Aira. Dia khawatir pada gadis idolanya. Dia tak tenang. Bayu pasti marah pada Aira. Gadis itu tidak salah, semua karena dia yang memaksa untuk keluar melihat bintang. Semua kemesraan selama perjalanan pulang antara Bayu dan Aira pasti hanya tipu muslihat Bayu. Bukan tanpa alasan anggapan itu muncul. Kai mengenal lama pemuda atos itu dan tahu sikap, sifat, serta wataknya. Sekali lagi ia mengecek iphone di meja. Pesan singkat yang dia kirim belum dibaca. [Aira, apa kamu baik-baik saja?] Simpel, tidak berbelit, pasti bukan karena Aira tak bisa menjawab, mungkin karena dia tak boleh menjawab oleh suami culasnya. Tiba-tiba bel berbunyi, tanda jika ada tamu. Seorang gadis berpakaian maid me
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de