"Rindu adalah pisau bermata dua, di satu sisi ia bisa memotivasi seseorang untuk lebih baik. Namun, di lain sisi ia bisa mematahkan harapan seseorang."
Faiqa Eiliyah
Kayra sudah kembali bekerja, seperti hari-hari sebelumnya. Menyisakan Karina dan Ayub yang masih betah menumpang di rumah Kakek Sultan, menghabiskan waktu libur sekolah.
Setelah Kayra pergi, hari-hari Karina kembali sepi. Ayub kadang ikut Mama Ina ke rumah saudaranya, yang juga punya cucu perempuan dan laki-laki seusia Ayub.
Kadang mereka baru akan pulang setelah menjelang sore, Ayub sangat betah berlama-lama di sana. Karena di sekitar rumah mereka, tidak ada tetangga yang memiliki anak sebaya dengannya.
Untung ada Nayra, kalau tidak, mungkin mereka berdua bisa mati kebosanan di dalam rumah. Setelah ada Nayra, mereka bisa ke rumahnya buat karaokean, melihat kolamnya yang penuh aneka warna ikan-ikan cantik. Melihat tanaman
"Pertemuan kembali setelah lama terpisah, bisa jadi awal tumbuhnya benih-benih rasa yang baru."Faiqa EiliyahKarina turun dari ojek, menuntun Ayub. Membayar sewa ojek, lalu membuka pagar. Dedaunan kering telah menyambut mereka dengan pemandangan yang sangat tidak menyenangkan.Beberapa pohon bunga yang ditanam dalam pot pun mulai kering. Karina bergegas memutar keran dan menyiram semua tanaman. Sementara Ayub duduk menungguinya, pada kursi yang tersusun rapi di teras rumah mereka. Kursi yang sudah berdebu karena tak pernah disinggahi oleh siapa pun.Karina berjalan membuka pintu rumah, melirik ke arah Ayub. Berpikir jika dia mau masuk duluan, nyatanya Ayub bergeming di tempat. Menyapu seluruh pekarangan rumah dengan tatapan takjub."Kenapa?" tanya Karina sembari menoleh menatapnya."Baru seminggu ditinggal, sampah sudah sebanyak ini, tanaman Ibu juga sudah hampir mati!" c
"Dunia itu luas, tapi jika kau harus lagi dan lagi dipertemukan dengan orang yang sama. Mungkin takdir kalian ditulis dalam buku yang sama."Faiqa EiliyahJika harus memilih, sungguh Karina akan memilih pergi sejauh mungkin dari tempat itu sekarang. Ia tak bisa bernapas dengan tenang di ruangan yang sama dengan Adnan. Ucapan demi ucapan Nayra tentang suaminya beberapa bulan lalu kembali terngiang dalam ruang pikirnya.Membuat Karina menyadari satu hal tentang kebodohannya lagi, menyesal rasanya sudah sangat terlambat. Baru menyadari semuanya sekarang sungguh sangat menyakitkan! Akan tetapi, apa pun yang sudah terjadi di masa lalu, itu hanyalah bagian dari masa lalu. Cukup ia di sana, sebagai pelengkap dalam lembar demi lembar sejarah hidup."Mbak Karin! Itu wortelnya dikupas dulu, baru dipotong-potong. Ya, Allah!" pekik Nayra, membuat Karina tertarik secara paksa kembali ke alam sadarnya."Eh,
"Dahsyatnya ketajaman dari sebuah tatapan, adalah mampu menembus hati hingga dasar yang terdalam." Faiqa Eiliyah "Aku merindukan suara itu!" lirih Adnan tiba-tiba berhenti di depan Karina. Sontak langkah Karina pun ikut terhenti secara tiba-tiba. Menengadah menatap punggung di depannya, yang hanya berjarak setengah meter darinya. "Suara ...?" Karina mengulang ucapan Adnan barusan. Persis seperti anak TK yang mengikuti ucapan Ibu gurunya. "Ya, suara!" Adnan membalikkan tubuh menerjang Karina dengan sorot mata teduhnya yang telah berubah menjadi mata elang, tajam dan seolah siap menyambar Karina saat itu juga. Karina menunduk gugup, tak berani bergerak sedikit pun. Karina hanya mampu menatap jarak kaki mereka berdua, yang begitu dekat di bawah sana. "Saat pulang tadi siang. Aku bertanya-tanya sendiri, sejak kapan Nayra suka lagu-lagu slow rock seperti itu? Entah m
"Menjauhi mantan, adalah satu-satunya cara untuk lepas dari kutukan cinta lama bersemi kembali." Faiqa Eiliyah Karina dan Nayra keluar dari dapur setelah ritual bersih-bersih selesai. Karina berdiri mematung, menatap Adnan yang memeluk Ayub di sofa sambil mengajarinya main game. "Sayang, kita pulang sekarang! Ibu sudah mengantuk," bujuk Karina. "Ini lagi seru, Bu, tunggu sebentar, ya!" jawab Ayub dengan mata tetap pada layar HP milik Adnan. "Sayang, tapi ibu sudah ngantuk banget!" ajak Karina sedikit memaksa. "Ibu ...!" pintanya dengan tatapan memelas. "Pulang dan tidurlah! Aku yang akan mengantarnya pulang," saran Adnan. Bayangan Adnan menggendong Ayub yang sudah tertidur, pulang ke rumah. Melihat dirinya yang tertidur pulas di tempat tidur dan apa yang akan terjadi setelah itu membuat Karina geleng-geleng kepala.
Karina terjaga dengan kepala berat, membangunkan Ayub untuk salat Subuh bersama. Menyiapkan sarapan dan segelas teh hangat untuknya. Sementara Ayub menatapi dirinya sendiri, dari dada hingga kaki. Baju yang di pesankan Nayra pada Adnan sangat pas di tubuhnya."Kenapa?" tanya Karina menghentikan Ayub dari kesibukannya mengamati baju dan celana yang ia pakai.Ia mendongak menatap ibunya dan tersenyum dengan percaya diri menyahut, "Om Ganteng, pintar milih bajunya, Ayub suka!""Om ganteng? Bukannya Om Nandar?" Karina menyebut Adnan seperti Nayra memanggilnya."Namaku juga Ayub, tapi Om ganteng memanggilku dengan 'Ganteng'," balasnya tak mau kalah."Oalah jadi ceritanya balas dendam.""Enggak! Ayub nggak dendam," jawabnya polos membuat Karina geleng-geleng."Terserahlah, ayo sarapan!" ajak Karina sambil meraih tangan Ayub dan menariknya
Karina duduk sendiri di teras rumah Mama Ina, menengadah menatap langit malam yang bertaburan bintang tanpa purnama. Suasana langit yang akan selalu sukses menyeretnya ke dalam pusaran kenangan. Bersama dia yang tak pernah hilang dari ingatan meski sekarang tak lagi bersama.Karina mengulang kembali semua, memutar dalam ingatan setiap detik demi detik yang terjadi kemarin sore. Setiap kalimat pengakuan Adnan di sepanjang perjalanan saat menjemputnya semalam, hingga kalimat terakhir yang dia ucapkan di ambang pintu. Membuat Karina terjerembab dalam jelaga karena tak mampu memilah mana yang harus dan tak harus ia abaikan."Ah ... pergilah menjauh dari benakku, Ad!" pekiknya tertahan, meremas hijab berwarna maroon yang tengah ia kenakan.'Aku lelah jika tiba-tiba harus kembali mengingat dirimu yang kutau ini adalah dosa untukku. Aku seorang Istri yang seharusnya hanya memikirkan satu nama dan satu cinta dalam hatiku. Bukan
"Menyesallah sekarang, sebelum semuanya terlanjur terjadi. Karena jika kau baru menyesal nanti, itu sudah sia-sia."Faiqa EiliyahAdnan melempar asal, buku diary biru milik Karina yang sampai saat ini masih dia simpan rapi dalam lemari apartemennya. Buku di mana kepingan-kepingan perasaan Karina ia untai dalam bait-bait puisi yang sangat indah. Buku yang selalu menjadi teman bagi Adnan ketika sepi itu datang merangkul. Mengajaknya berdiri untuk menentang dunia dan semua hal di dalamnya, yang sudah membuat dirinya terpaksa harus melepas cinta serta seluruh kebagiaan demi sebuah mimpi.Mimpi yang akhirnya menghancurkan hati dan kebahagiaannya sendiri. Mimpi yang membuat ia menuai begitu banyak pujian dan kebanggaan di mata dunia. Akan tetapi, membuatnya harus merawat luka di hati sepanjang sisa usia."Karina!!"Adnan meneriakkan satu-satunya nama yang pernah membuat dia memahami arti sebua
Senja itu ....Saat Adnan pulang dari rumah ibunya, dia sengaja lewat di depan rumah itu. Dia menghentikan motor tepat di depan rumah mereka, melihat sampah-sampah yang berserakan pagi tadi telah lenyap. Tinggal beberapa lembar yang mungkin baru saja gugur usai dibersihkan. Tanaman-tanaman layu pun sudah mulai menggeliat kembali. Akan tetapi, pintu rumah mereka masih tertutup rapat. Menandakan kalau mereka sudah pergi lagi, itu berarti harapan untuk bertemu dengan mereka pupus lagi.Adnan melangkah ringan setelah menyimpan mobil di bagasi samping rumahnya. Dari luar ia mendengar lagu-lagu slowrock mengalun indah dari dalam rumah. Adnan bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Nayra menyukai lagu-lagu seperti itu.Kemudian tersenyum sendiri setelahnya, siapa lagi kalau bukan Ayub dan ibunya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada Nayra belakangan dan itu semua karena tetangga baru mereka itu. Adnan terduduk cukup lama di ruang tamu, m
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke