Karina terjaga dengan kepala berat, membangunkan Ayub untuk salat Subuh bersama. Menyiapkan sarapan dan segelas teh hangat untuknya. Sementara Ayub menatapi dirinya sendiri, dari dada hingga kaki. Baju yang di pesankan Nayra pada Adnan sangat pas di tubuhnya.
"Kenapa?" tanya Karina menghentikan Ayub dari kesibukannya mengamati baju dan celana yang ia pakai.
Ia mendongak menatap ibunya dan tersenyum dengan percaya diri menyahut, "Om Ganteng, pintar milih bajunya, Ayub suka!"
"Om ganteng? Bukannya Om Nandar?" Karina menyebut Adnan seperti Nayra memanggilnya.
"Namaku juga Ayub, tapi Om ganteng memanggilku dengan 'Ganteng'," balasnya tak mau kalah.
"Oalah jadi ceritanya balas dendam."
"Enggak! Ayub nggak dendam," jawabnya polos membuat Karina geleng-geleng.
"Terserahlah, ayo sarapan!" ajak Karina sambil meraih tangan Ayub dan menariknya
Karina duduk sendiri di teras rumah Mama Ina, menengadah menatap langit malam yang bertaburan bintang tanpa purnama. Suasana langit yang akan selalu sukses menyeretnya ke dalam pusaran kenangan. Bersama dia yang tak pernah hilang dari ingatan meski sekarang tak lagi bersama.Karina mengulang kembali semua, memutar dalam ingatan setiap detik demi detik yang terjadi kemarin sore. Setiap kalimat pengakuan Adnan di sepanjang perjalanan saat menjemputnya semalam, hingga kalimat terakhir yang dia ucapkan di ambang pintu. Membuat Karina terjerembab dalam jelaga karena tak mampu memilah mana yang harus dan tak harus ia abaikan."Ah ... pergilah menjauh dari benakku, Ad!" pekiknya tertahan, meremas hijab berwarna maroon yang tengah ia kenakan.'Aku lelah jika tiba-tiba harus kembali mengingat dirimu yang kutau ini adalah dosa untukku. Aku seorang Istri yang seharusnya hanya memikirkan satu nama dan satu cinta dalam hatiku. Bukan
"Menyesallah sekarang, sebelum semuanya terlanjur terjadi. Karena jika kau baru menyesal nanti, itu sudah sia-sia."Faiqa EiliyahAdnan melempar asal, buku diary biru milik Karina yang sampai saat ini masih dia simpan rapi dalam lemari apartemennya. Buku di mana kepingan-kepingan perasaan Karina ia untai dalam bait-bait puisi yang sangat indah. Buku yang selalu menjadi teman bagi Adnan ketika sepi itu datang merangkul. Mengajaknya berdiri untuk menentang dunia dan semua hal di dalamnya, yang sudah membuat dirinya terpaksa harus melepas cinta serta seluruh kebagiaan demi sebuah mimpi.Mimpi yang akhirnya menghancurkan hati dan kebahagiaannya sendiri. Mimpi yang membuat ia menuai begitu banyak pujian dan kebanggaan di mata dunia. Akan tetapi, membuatnya harus merawat luka di hati sepanjang sisa usia."Karina!!"Adnan meneriakkan satu-satunya nama yang pernah membuat dia memahami arti sebua
Senja itu ....Saat Adnan pulang dari rumah ibunya, dia sengaja lewat di depan rumah itu. Dia menghentikan motor tepat di depan rumah mereka, melihat sampah-sampah yang berserakan pagi tadi telah lenyap. Tinggal beberapa lembar yang mungkin baru saja gugur usai dibersihkan. Tanaman-tanaman layu pun sudah mulai menggeliat kembali. Akan tetapi, pintu rumah mereka masih tertutup rapat. Menandakan kalau mereka sudah pergi lagi, itu berarti harapan untuk bertemu dengan mereka pupus lagi.Adnan melangkah ringan setelah menyimpan mobil di bagasi samping rumahnya. Dari luar ia mendengar lagu-lagu slowrock mengalun indah dari dalam rumah. Adnan bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Nayra menyukai lagu-lagu seperti itu.Kemudian tersenyum sendiri setelahnya, siapa lagi kalau bukan Ayub dan ibunya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada Nayra belakangan dan itu semua karena tetangga baru mereka itu. Adnan terduduk cukup lama di ruang tamu, m
Adnan tersenyum sendiri mengingat ucapan putra Karina, bocah sekecil itu sudah menyerap begitu banyak kebaikan dari wanita yang melahirkannya. Karina memang wanita yang special, dia akan selalu special menjadi apa saja. Menjadi seorang anak, saudara, teman, istri, kekasih, ibu, dan bahkan menjadi seorang mantan. Ia akan selalu jadi istimewa.Adnan menghela napas panjang, menoleh menatap punggung tangan kanannya yang masih berdarah.Berjalan ke kamar mandi membersihkan lukanya, menyapukan salep agar luka itu tak semakin meluas. Beranjak salat Isya dan berdoa. Semoga Allah mengampuninya jika sampai saat ini, dia masih selalu meminta Karina kembali padanya. Masih kerap meminta waktu sekejap saja untuk membahagiakan Karina. Meskipun kadang dia sangat tidak yakin kalau doa itu akan dikabulkan.Adnan meraih kembali buku diary Karina yang tadi telah dia lempar ke sudut ruangan. Membolak-balik buku itu dengan tatapan hampa
Sekali lagi Adnan mencoba menjawab kesalah pahaman Karina padanya di masa lalu. Sebelum akhirnya dia memilih melangkah meninggalkannya. Adnan tahu Karina tetap bergeming tak bergerak di tempat ia berpijak. Dia bahkan tak mendengar suara langkah wanita itu.Adnan meninggikan suara, mengingatkan Karina kalau saat ini Nayra dan putranya pasti telah menantikan kehadiran mereka. Terdengar Karina mulai melangkah setelahnya, membuntuti langkah Adnan meski dengan sangat perlahan.Malam itu mereka makan malam dengan lancar, meski ada beberapa keriuhan di meja makan saat Nayra terus saja mengoceh membuat Karina kadang tersedak. Adnan tak melewatkan sedetik pun waktu yang berlalu untuk encuri pandang pada Karina di seberang meja melalui ekor matanya.Andai Karina tahu, betapa Adnan mencintainya. Adnan bahkan bisa mengenalinya dari rasa masakan yang ia masak.Pria tampan berperawakan tegap dan macho
Karina menatap langit-langit kamarnya. Seperti biasa, Mama Ina dan Ayub sudah berangkat ke rumah tetangga, mencari teman main untuk sang cucu. Dan akan pulang nanti setelah senja, saat langit sudah mulai berwarna jingga.Karina menyembunyikan kepalanya di dalam bantal, mencoba menepis semua pikiran tentang Adnan yang silih berganti hadir seperti udara yang berputar. Bahkan air mata tak mampu membawa pergi semua kenangan itu.Setelah lelah bolak-balik tidak jelas di atas tempat tidur, Karina pasrah pada kehendak hati. Ia duduk di tepi tempat tidur, membenahi diri dan perasaannya. Turun dan merangkak di depan tempat tidur sembari meraba sesuatu jauh di bawah kolong.Menarik sesuatu dari bawah sana. Sebuah kotak usang yang berdebu. Karina membuka kotak itu, mengeluarkan isinya satu persatu. Sampai sebuah foto terjatuh dari lipatan sebuah buku yang ia pegang tadi.Dia meraih foto itu, menatapnya. Di sana
Hari ini Karina memilih pulang ke rumah sendiri. Dia ingin membakar buku diary yang menyimpan semua kenangan dirinya dan Adnan. Berharap jika buku diary itu sudah ia musnahkan, semua rasa itu akan ikut musnah bersamanya.Dia memilih menghindar, takut ketahuan Mama Ina atau Papa. Dia sudah memasukkan buku diarynya ke dalam tas. Melangkah keluar kamar seperti seorang pencuri. Jantungnya berdetak cepat, seolah akan melakukan sebuah kejahatan. Padahal tak satu orang pun selain dirinya yang tau, kalau dia akan membakar semua kenangannya bersama Adnan."Karin, mau kemana pagi-pagi begini?" Suara Mama Ina tiba-tiba membuat ia terhenyak kaget."Eh, Ma-mama, Ka-karina mau pulang ke rumah dulu, Ma. Ma-mau lihat-lihat." jawabnya tergagap karena kaget.Mama Ina mengernyit bingung, tidak biasanya Karina gugup seperti itu. Seperti menyembunyikan sesuatu. Mama Ina tersenyum, menepuk pundak Karina menenangkannya.
Nayra bergegas menuju motor, begitu keluar dari Bank mengambil uang transfer dari kakaknya. Saat motornya sudah melaju, dia nyaris saja ditabrak oleh dua orang pemuda yang membawa motor secara ugal-ugalan.Sesuatu jatuh dari tas kedua pemuda itu. Nayra berteriak memanggil, tapi laju motor mereka terlalu kencang hingga tak mendengarkan panggilan Nayra. Nayra menghentikan motor begitu dia sampai pada benda tadi. Turun dan mendekati benda itu secara perlahan.Ia mengamati benda itu yang ternyata sebuah buku diary, di sampulnya tertulis dengan indah dua nama 'Aska dan Kara'. Nayra tersenyum geli, dia mengingat buku diary-nya yang di Jawa. Nyaris sama seperti buku itu meskipun buku diarynya berwarna pink. Sementara buku diary yang dipegangnya sekarang berwarna biru.Nayra memasukkan buku itu ke dalam tas, lalu bergegas pulang ke rumah. Sebelum gumpalan awan hitam di langit, tumpah menjadi hujan deras. Petir dan kilat sudah mu
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke