Rena masih menutup mata, tapi ia dapat merasakan cahaya menyilaukan dan terpaan angin sejuk di wajahnya. Ia merasa damai dan berencana untuk terus terlelap. Hingga sesuatu yang terasa seperti rumput menyentuh wajahnya, Rena akhirnya terbangun.
Mata bermanik cokelatnya berpendar pada keindahan yang terasa tidak asing. Padang bunga daisy, ia kembali ke sini lagi. Tempat ini, tempat dimana ia mendapatkan tanda akan kepergian Luke. Tempat yang indah, tapi juga tempat yang membuatnya takut. Ia takut Luke akan benar-benar mengucapkan selamat tinggal padanya saat ini. Namun jika hal itu terjadi, Rena akan melakukan apa yang pria itu katakan sebelumnya. Ia akan menggenggamnya.
Kepala Rena menoleh dengan cepat saat mendengar bunyi gemerisik rumput di belakangnya. Kosong, tidak ada apapun di sana. Rena berdiri, bermaksud untuk mencaritahu karena apa bunyi itu muncul. Rena yakin itu bukan karena angin, suaranya terlalu kasar dan tidak mungkin dihasilkan kare
Ben mengusap wajah dengan lelah, di sebelahnya ada Jeffrey yang tampak lesu. Ini sudah dini hari, tapi tidak ada tanda-tanda Luke akan siuman. Mereka khawatir, meski Luke adalah pria yang kuat, tapi pria itu bahkan sempat hampir kehilangan detak jantungnya. Walaupun dokter mengatakan kondisi Luke telah stabil, mereka masih khawatir.Seharusnya mereka bersama dengan Bella dan Riana. Tapi dua perempuan itu pulang ke apartemen Ben di bawah penjagaan James. Mereka sempat menolak, namun kemudian menjadi penurut saat melihat kefrustasian Ben dan Jeffrey."Aku khawatir. Kenapa si berengsek itu belum juga bangun?" Jeffrey mulai menggerutu, merasa sedikit frustasi karena kesabarannya belum juga membuahkan hasil yang baik."Bersabarlah sedikit lagi. Ia baru saja melewati masa kritis." Jeffrey merasakan bahunya ditepuk-tepuk dengan ringan setelah perkataan itu menyahutnya. Itu Ben."Tapi tidakkah kamu pikir ini terlalu memakan waktu?" Jeffrey menuntut.
Sinar mentari telah menyapa bumi, menarik insan-insan yang masih bergelung dalam nyamannya pelukan mimpi. Tapi pria itu selalu siaga, mengartikan sinar mentari yang masuk melalui celah gorden adalah sebuah bel memulai pertarungan. Mata gelap segelap malamnya terbuka dengan perlahan dan setelah menemukan cahaya, ia sadar ia masih terbaring di bangsal rumah sakit. Luke menggeram sesudahnya, merasa ia begitu lemah setelah kembali tertidur di ruang rawat."Oh? Luke telah bangun." Ia mendengar suara seseorang di dekatnya, bukan suara yang asing karena ia sudah sangat mengenalnya. Itu Jeffrey, suara seseorang yang ia yakin telah menjalankan tugas dengan baik selama ia tidak sadarkan diri. Luke sungguh benci saat mengingat ia sempat hampir kehilangan nyawanya karena bajingan gila itu."Yah …, aku bangun lagi.” Luke menghela napas lalu tersenyum lucu sesudahnya.“Bagaimana perasaanmu? Lebih baik?” Seseorang itu mendekati r
"Sialan, Armstrong!" Jeffrey mengumpat sesaat setelah Luke melemparinya dengan pakaian rumah sakit yang tadi dipakainya."Urus semuanya, aku akan menemui Rena." Luke benar-benar akan mendapatkan sumpah serapah hati Jeffrey yang luar biasa kesal saat ia malah merapikan pakaian yang dikenakannya."Aku tahu kamu ingin menemuinya dan aku tahu aku adalah tangan kananmu. Tapi aku tidak menikmati uangmu sebagai seorang pembantu." Jeffrey menggeram, suaranya terdengar mengeras dan matanya menatap tajam."Ya, memang. Tapi aku ingin bertanya sesuatu ..." Luke mendekati Jeffrey dan meletakkan bibirnya sangat dekat dengan cuping telinga Jeffrey, membuat kerutan tidak suka makin memenuhi wajah tampan itu."Apa kamu pernah berpikir untuk menunda saat gairah memintamu untuk menderitkan ranjang? Saat rasa panas mulai berkumpul di satu titik dan meminta desahan dan pencapaian? Juga di saat imajinasimu mempertontonkan ingatan tentang teriakan tidak berdaya sa
"Tidurlah." Luke berbicara lembut saat mata Rena terlihat telah redup. Ia tahu Rena lelah. Ia masih belum pulih dan ia tengah mengandung, terlebih mereka baru saja melakukannya. Luke bisa mengerti kalau Rena merasa lelah."Ya. Tapi jangan tinggalkan aku." Rena berujar lirih dengan suara yang serak, matanya perlahan tertutup dan tidur lelap benar-benar menjemputnya. Tidur yang tiba-tiba nyenyak seakan mengganti seluruh lelahnya.Luke sedikit tersenyum. Entah apa yang membuatnya ingin tersenyum, tapi ia tiba-tiba saja tersenyum. Ia merebahkan tubuh perlahan di samping Rena, menatap langit-langit ruangan yang mewah. Ia tidak mengantuk karena telah tertidur terlalu lama, tapi ia juga tidak ingin pergi seakan sesuatu tengah menahannya. Bayinya, mungkin bayinya yang menahannya. Terdengar menggelikan. Tapi percaya atau tidak, Luke benar-benar merindukan bayinya."Ayah tidak akan meninggalkanmu." Luke bergumam kecil lalu memiringkan tubuh untuk menatap Ren
Rena mendesah lega sesaat setelah meminum minumannya. Masakan Riana adalah yang terbaik. Diam-diam dia jadi merindukan kakaknya itu."Sudah selesai?" Luke memasuki ruangan. Ia tampak baru saja selesai membuat panggilan. Terlihat ia yang masih menekan-nekan layar datar benda dalam genggamannya."Ya, sudah." Sedangkan Rena menyahut lirih dengan mata yang menatap setiap pergerakan Luke. Tapi kepalanya menunduk dengan cepat saat Luke mengangkat kepala dan menatapnya."Aku akan meminta sedikit waktumu, ya, Rena?" Kini Luke tampak lebih fokus, tangan kanannya memasukkan benda tadi ke dalam saku celananya."Tentu. Apa yang harus aku lakukan?" Suara itu masih menyahut dengan lirih meski nada suara ingin tahu terdengar jelas."Kudengar dari Jeff kalau kamu sering mual sejak aku tidak di rumah. Aku tidak tahu untuk pagi ini, tapi saat aku menyiapkan makananmu aku melihat teh jahe. Kamu juga mual pagi ini?" Luke berbicara dengan suara selembut m
"Tidak, ini bukan sesuatu yang buruk, bayimu tidak apa-apa. Ini hanya tentang mual tidak normal yang Rena alami, penyebab dan pencegahan agar tidak lagi sering terulang. Tenangkan dirimu dan pastikan kamu mendengar penjelasanku." Hongli berdehem sebentar lalu memperbaiki posisi duduknya. Dapat dilihat dari ekor matanya Luke sempat mengangguk kecil."Kejadian tidak normal ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Salah satu penyebabnya bisa karena seorang ibu mengandung anak kembar. Tapi kandungan Rena masih terlalu kecil untuk diketahui apakah janin yang berada dalam rahim Rena terdapat lebih dari satu bakal janin. Hal lain yang mungkin terjadi adalah bisa saja Rena pernah mengonsumsipapermintsebelum tidur sehingga memicumorning sickness. Apa kamu melakukan itu, Rena?" Hongli berbicara panjang lebar dan diakhiri pertanyaan pada Rena yang langsung berupaya mengingat."Kurasa tidak. Maaf, tapi aku tidak menyukaip
“Ah! Rena! Ben bilang Riana juga tidak akan ke sini.” Suara Bella berubah lagi menjadi tinggi dan ceria, membuat Rena yang tadi menunduk menjadi mengangkat kepala dengan wajah yang tampak kebingungan.“Kata Ben, Jeff membawanya pergi. Luke yang meminta seperti itu. Ia meminta Riana untuk pergi memilih beberapa furnitur untuk rumah maupun acara pernikahan kalian, karena ia tahu kamu dan Riana memiliki selera yang sama.” Bella mengatakannya dengan cara biasa ia berbicara, tapi entah mengapa itu mempengaruhi Rena. Pipinya tampak merona dan ia menunduk dengan senyum malu-malu.Pernikahan. Rena jadi sedikit melupakannya karena mereka tidak pernah membicarakan tentang hal itu dengan cara yang sangat serius. Tapi Rena tidak tahu kalau Luke benar-benar mengingatnya bahkan telah sampai mulai melakukan persiapan.“Astaga! Aku baru ingat sesuatu. Aku tidak boleh di sini terlalu lama. Aku akan pergi. Tadi aku ke sini hanya i
Berjalan dengan cepat dan menyambar kerah baju Hendry, Luke ingin langsung menamparnya. Tapi ia hanya bernapas beringas, berusaha mengendalikan diri. Jika Hendry memang menyakiti Rena, dia baru akan menampar.“Di mana Rena?” tanyanya dengan desis penuh kemarahan. Tapi dia menjadi lebih marah lagi saat Hendry malah terkekeh. Apa dia ingin mati?“Di mana dia?” Dia berteriak lebih marah, mengguncang tubuh Hendry kencang.“Kamu pikir aku akan di sini jika aku ingin mengganggunya?” Ucapan Hendry membuat rasa lega menyeruak dari dada Luke. Dia kemudian melepaskan cengkramannya kasar.Diedarkannya pandangan ke sekitar dan menemukan banyak mata menatapnya. Tapi dia tidak peduli karena rasa marah masih mengisinya. Dia kemudian berlari tergesa menuju lift setelah selesai menatap tajam orang-orang di sekitarnya.“Itu lebih baik untuknya segera pergi menemui Rena seperti ini.” Ben berujar s
Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah
Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k
Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l
“Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes
Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara
Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.
Meronta saat merasakan kulitnya dicengkram erat begitu tali-tali di tubuhnya dilepaskan. Ia berencana untuk melepaskan diri, tapi efek obat bius masih membuat ia cukup lemas. Sedangkan Jane hanya diam saat melihat Luke mulai berteriak frustasi. Ia memang mencintai Luke, namun ia tidak bisa diam saat rasa sakit menggigit hatinya. “Apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu lakukan?!” Luke berteriak marah lalu mencoba memberontak. BUG! “Sialan!” Luke berteriak marah pada Mark yang tiba-tiba memukulnya. Ia benar-benar marah pada mereka serta tubuhnya yang terasa seperti bukan tubuhnya sendiri. “Kamu hanya perlu diam dan nikmati apa yang kami berikan padamu. Saatnya kamu yang kalah, Phoenix. Saatnya kau yang merasakan dipermalukan. Saatnya kamu yang merasakan perasaan tidak berdaya.” Mark tertawa setelah itu, merasa puas melihat ketidakmampuan Luke membalas pukulannya. “Hentikan ini sekarang juga! Kamu pikir apa yang akan kamu la
Tubuh laki-laki itu terlihat lemas bersandar pada sebuah kursi di ruangan yang kumuh. Ia terikat oleh seutas tali tambang yang kasar. Posisi tubuhnya terlihat benar-benar tidak nyaman. Sementara orang-orang di sana hanya memandangnya dan menunjukkan wajah yang tenang. “Seberapa banyak dosis obat bius yang kamu berikan?” Seorang laki-laki bertanya pada seorang perempuan di sana. Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Bukan aku yang memberikannya, aku meminta dokter pribadiku. Kenapa kamu tidak bersabar sedikit?” Perempuan itu menyahut dengan kesal. “Jane, aku ke sini tidak untuk membuang banyak waktu. Jika aku tahu akan jadi sebegini terlambat, aku akan menunda untuk datang lebih dulu.” Tapi si laki-laki menyahut tidak kalah kesal. Ia memiliki banyak hal yang ingin ia jadikan pencapaian hingga menunggu seperti ini benar-benar terasa tidak berguna. “Lalu apa? Bukankah ini adalah apa yang juga kamu tunggu, Mark? Kamu ingin melihat dia
Cahaya bintang terlihat redup saat ditatap dari taman belakang yang berisi bunga-bunga yang ditanam seorang perempuan cantik belakangan hari saat ia masih mengandung. Udara mendinging dan suara menyepi. Hari telah berubah semakin larut tapi Luke masih terjaga. Rasa rindu pada Rena semakin tidak tertahankan sedangkan ia masih harus bertahan pada kesunyian yang sama demi meluluskan diri dari ujian kesabaran yang ia buat sendiri. Rena selalu pandai bersabar, maka ia juga harus bisa. Memiliki cinta seorang malaikat membuatnya harus merubah diri walau terasa menyakitkan.“Rena, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama?” Tangan Luke terangkat untuk mencengkram dadanya sendiri. Ia telah sekarat karena rindu yang mulai berkarat.Rasa rindu teramat dalam ini seperti akan merenggut kewarasannya. Oh Tuhan, jika iblis sepertinya boleh memohon. Maka ia memohon jika saat waktu memaksa mereka untuk berpisah, ia ingin ia